We’ve Got Our Arsenal Back!

NLD Double Winners 2022/2023

Yes, we’ve got our Arsenal back! North London Derby musim ini diakhiri dengan kemenangan tandang 2-0 Arsenal atas Spurs, melengkapi kemenangan di kandang 3-1 di bulan Oktober. Dengan demikian Arsenal melakukan derby league double musim ini atas Tottenham, pertama kalinya sejak 2014, sembilan tahun lalu ketika Mikel Arteta masih bermain untuk Arsenal. Saat itu Arsenal hanya menang 1-0 di kedua pertandingan home and away, dengan gol dari Giroud dan Rosicky.

Dibandingkan musim 2013/14, derby league double atas Spurs musim ini dicapai dengan lebih meyakinkan, lewat permainan yang sangat dominan dari Arsenal. Bila hanya melihat dari statistik jumlah possession dan peluang yang diciptakan, maka terlihat seakan-akan kedua tim bermain imbang. Namun mereka yang menonton penuh pertandingan ini pasti punya satu kesimpulan: “Tottenham get battered (everywhere they go)”. Babak pertama pertandingan ini adalah 45 menit terbaik dari sebuah tim sepakbola di Premier League. Spurs tidak berdaya dikurung Arsenal di paruh lapangannya sendiri, setiap kali tembakan atau operan Arsenal gagal, counterpressing terjadi dan pemain-pemain Arsenal kembali mendapatkan bola entah lewat tackle ataupun interception dan gelombang serangan pun dimulai kembali. Setiap operan Arsenal memiliki tujuan, setiap gerakan pemainnya mengikuti pola tertentu, mengisi ruang yang ditinggal rekannya, dengan jarak antar pemain yang tetap dijaga berdekatan, tak lebih dari 5 meter. Inilah Positional Play ala Pep yang digabung dengan Counterpressing ala Klopp, Artetaball 3 years in the making. Tiga tahun lamanya kita menanti, setelah perombakan skuad besar-besaran yang mengikuti filosofi sepakbola Arteta, akhirnya sekarang kita mulai bisa melihat dengan jelas pantai seberang – destinasi yang diinginkan semua klub sepakbola di Inggris: gelar juara Premier League.

Kunci dalam dominasi Arsenal atas Spurs di malam itu ada pada tiga pemain: Thomas Partey, Martin Odegaard, dan Oleksandr Zinchenko. Ketiga pemain ini menjadi technical leaders Arsenal dalam hal build-up play maupun pressing. Heatmap ketiga pemain tersebut bisa dilihat di grafik di bawah ini.

Zinchenko menjadi pemain build-up fase 1 yang mampu menganulir pressing lawan lewat pergerakan dan operan bolanya yang kreatif, mengejutkan. Menonton bola lewat layar kaca, kita diuntungkan dengan pemahaman posisi-posisi pemain lewat bird-eye view yang tidak dimiliki pemain-pemain di lapangan. Namun Zinchenko tetap dapat mengejutkan penonton dengan operan dengan sudut yang tak terduga. Operan yang hanya bisa dilihat olehnya. Bila penonton saja tidak mampu melihatnya, apalagi pemain lawan. Berulang kali ia melepas bola diagonal, operan ke samping, atau through ball ke depan tanpa bisa diantisipasi lawan. Kemudian ia bergerak ke tengah dari posisi leftback-nya, mengacaukan marking lawan dan sesukanya bergabung dengan pemain-pemain tengah Arsenal untuk mendominasi lapangan tengah (tentunya saat itu terjadi biasanya Xhaka akan mengisi posisi kosongnya, atau Gabriel yang maju ke depan). Bila pemain-pemain City mengatakan Zinchenko adalah pemain dengan technical skill terbaik di tim mereka yang penuh bintang, saya rasa pemahaman taktiknya juga yang terbaik di tim ini. He’s the best inverted fullback cum CM in this league, bar none.

Thomas Partey telah menjadi complete midfielder yang saya bayangkan sejak awal ia bergabung. Dua tahun yang lalu, saya menulis artikel tentang dirinya yang berakhir dengan pernyataan: “Mari kita tunggu apakah Partey bisa menjadi Vieira Mk II.” Thomas Partey menjawab pernyataan/pertanyaan itu musim ini dengan “Yes, I can.” Ia mampu memerankan tugas single pivot di formasi 4-3-3 yang membutuhkan penampilan konsisten dalam hal build-up maupun break-up play. Ia melakukan 92% operan akurat (dan terbanyak di pertandingan ini), memenangkan 83% duel, selalu berada di posisi yang tepat untuk merebut bola kembali (8 recoveries, 2 tackles) dan mendistribusikannya dengan akurat kepada pemain penyerang Arsenal. Gol pertama Arsenal terjadi setelah umpan lambung terobosan Partey kepada Saka. Dan jangan lupa tendangan geledeknya yang sayangnya masih menghantam tiang gawang.

Odegaard, kapten Arsenal yang bagi banyak pengamat saat ini sedang memimpin perebutan gelar Player of The Season, menyumbangkan satu gol lewat tendangan jarak jauh. Aksi yang efektif karena pemain-pemain Spurs bermain sangat dalam. Bersama Saka, Odegaard menjadi pemain Arsenal yang menyumbangkan Goal dan Assist terbanyak di liga (13 G+A). Tinggal 2 gol lagi ia akan mencetak dua digit gol di liga untuk pertama kalinya dalam karier pro-nya. Selain perannya sebagai poros kreativitas Arsenal, Odegaard juga menjadi mesin pressing Arsenal. Pemain ini perlahan-lahan membuktikan dirinya pantas menjadi pewaris tahta sejati The Perfect Ten, walaupun ia mengenakan kostum bernomor 8. Angka delapan bagi saya pribadi adalah angka yang sempurna (kebetulan lahir di tanggal 8), Infinity.

Di babak kedua, Spurs memberikan perlawanan dengan lebih banyak menyerang (kebanyakan lewat umpan crossing). Arsenal sudah mengantisipasi hal itu dan bertahan dengan sangat baik. Gabriel dan Saliba menjadi tembok kokoh di belakang dan ketika bola lolos dari mereka, ada Ramsdale yang telah kembali ke permainan terbaiknya. Selain itu ketiga pemain depan Arsenal: Nketiah, Saka dan Martinelli terus mengancam lewat counterattack yang cukup berbahaya. Nketiah sendiri melakukan tiga tembakan di babak kedua.

Three Years In The Making

Penampilan Arsenal saat melawan Spurs bukan penampilan unik di musim ini. Di semua pertandingan liga musim ini, Arsenal selalu tampil dominan sejak babak pertama. Hanya satu kali Arsenal gagal mencetak gol di liga musim ini, yaitu saat melawan Newcastle. Walaupun demikian di pertandingan tersebut Arsenal mendominasi total pertandingan dan membuat Newcastle terlihat seperti tim papan tengah (walaupun duduk di top four klasemen). Bahkan saat kalah melawan MU sekalipun (damn VAR), pertandingan tetap didominasi oleh Arsenal. Konsistensi inilah yang membawa Arsenal ke puncak klasemen (hampir) paruh musim, memimpin 8 poin di atas Manchester City dengan jumlah pertandingan yang sama.

Tidak ada pundit dan mungkin juga fans Arsenal di awal musim ini yang berani memprediksi Arsenal bisa berada di posisi seperti ini sekarang. Dengan posisi di peringkat lima liga musim lalu, Arsenal yang tidak lolos ke Champions League melompati empat tim di atasnya hanya dalam jangka waktu beberapa bulan. Bagaimana mungkin? Apa sebabanya? Mari kita lakukan flashback sedikit sambil refreshing ingatan kita.

The Light at The End of The Tunnel

Tiga tahun lalu, ketika Arteta ditunjuk menjadi head coach Arsenal (20 Dec 2019), ia menemukan kondisi dressing room yang toxic, stadion yang fans-nya terbelah dan disconnect dari tim, dan value Arsenal yang sedang mengalami tererosi dengan cepat (sudah diingatkan oleh Wenger di perpisahannya). Arsenal mengalami krisis identitas dan kepercayaan diri dan ia mewarisi tim yang sedang terjun bebas ke dasar klasemen (peringkat ke-11 saat itu). Arteta menyadari itu dan hal pertama yang ia katakan di konferensi pers adalah ia ingin menanamkan 4 hal penting sebagai pondasi dasar timnya: komitmen, akuntabilitas, agresi dan gairah untuk bermain sepakbola mewakili klub ini (silakan baca The Arteta Way).

Di 10 match pertamanya, Arteta introduksi ulang Mesut Ozil yang disingkirkan Emery sebelumnya, ke dalam tim. Bermodal hubungannya dengan Ozil sebagai pemain di Arsenal, Arteta mencoba mengembalikan Ozil ke permainan terbaiknya. Penampilan Arsenal menjadi lumayan, mendekati form tim top four (lihat grafik di bawah ini – garis merah adalah semenjak Arteta pegang tim).

Grafik Performa Arsenal 2019/2020

Namun kemudian Covid-19 outbreak melanda Premier League dan liga ditunda selama 3 bulan. Selama break tersebut terjadi clash antara Arteta dan Ozil. Yang kita tahu Ozil tidak mau mengikuti usulan Arteta dan klub untuk memotong gaji pemain sebagai bagian dari program menolong klub untuk dapat melewati masa pandemi karena saat itu penonton dilarang ke stadion sehingga pemasukan klub akan berkurang drastis. Selain itu, selama break Arteta dan coaching staff memberikan tugas khusus yang harus dijalankan oleh semua pemain yang berlatih masing-masing di rumah mereka sendiri dan online meeting reguler untuk mengecek progress latihan mereka. Kemungkinan Ozil juga tidak mengikuti penuh instruksi ini.

Dampaknya, saat Premier League dimulai kembali di bulan Juni, Ozil tidak pernah lagi bermain untuk Arsenal, termasuk ketika Arsenal menang di semua pertandingan sisa di FA Cup. Inilah demonstrasi pertama non-negotiables Arteta, 4 tiang pondasi dasar (komitmen, akuntabilitas, agresi dan gairah) yang dirasakan tidak lagi dimiliki oleh Ozil sehingga ia tidak pantas dimasukkan ke dalam skuad. Absennya Ozil tentunya berdampak terhadap gaya bermain Arsenal. Arteta harus mengubah formasi timnya ke 3-4-3 dan lebih mengandalkan counter attacking football. Arsenal hanya mampu finish di peringkat delapan, padahal sebelum Covid break mampu mendekati form tim top four (lihat grafik performa Arsenal di atas). Trofi FA Cup akhirnya menjadi pelipur lara musim tersebut dan terang di ujung terowongan gelap itu mulai terlihat.

Formasi dan Starting Line Up Arsenal 2019/2020

First Full Season (2020/2021)

Di musim berikutnya, Arsenal memulai dengan mendapatkan trofi lagi, kemenangan penalti atas Liverpool di Community Shield. Ozil tetap dikucilkan dari skuad, Arsenal tidak berhasil menjualnya karena gajinya yang sangat tinggi. Arteta tetap mengandalkan formasi 3-4-3 di pertandingan tersebut dan lanjut di 3 pertandingan pertama liga. Willian, Gabriel dan Partey bergabung di musim tersebut. Liverpool membalas kekalahan di Community Shield dengan kemenangan di kandang Arsenal di GW3 yang membuat Arteta menyadari keterbatasan formasi 3-4-3 nya dan mulai “memaksa” timnya bermain 4-3-3. Eksperimen ini bisa dikatakan gagal karena dalam 11 laga liga berikutnya, Arsenal hanya menang 2 kali, seri 2 kali dan sisanya kalah, total 8 poin dari 11 match – formnya tim degradasi. Dan benar Arsenal jatuh ke peringkat 15 musim itu di GW14, peringkat terendah sepanjang sejarah Arsenal dalam 25 tahun terakhir (musim 1994/95 Arsenal pernah turun ke peringkat ke-15 selama satu minggu). Lini depan yang berisi Aubameyang, Lacazette, Willian dan terkadang Pepe hanya bisa mencetak 6 gol dalam periode 11 match tersebut.

Untuk menambah luka The Gunners, pemain kreatif dengan gaji termahal di Arsenal yang sedang diisolasikan Arteta membuat twit “mockingan” seperti di bawah ini. Dan tentunya Arsenal kemudian kalah 0-2 lawan Spurs di kandang sendiri.

Masuk ke bulan Desember melawan Chelsea-nya Lampard yang sedang naik daun, Arteta tetap tidak mau menggunakan jasa Ozil. Baginya Ozil’s is finished at Arsenal dan seluruh manajemen klub mendukungnya. Ia mengalihkan harapannya pada pemain-pemain muda Arsenal, mencoba formasi baru 4-2-3-1 dan memasang Emile Smith Rowe untuk pertama kalinya di starting line-up bersama Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli di belakang Lacazette.

Siapa sangka pertaruhan inilah yang kemudian membentuk timnya di kemudian hari karena tiga pemain ini menjadi poros utama tim Arsenal sampai sekarang. Arsenal menang 3-1 dengan gol dari Laca, Xhaka dan Saka (it rhymes). Dalam 24 pertandingan berikutnya, tim Arsenal dengan pemain-pemain muda ini meraih 1.96 PPG (point per game), form yang layak masuk ke top four Premier League, bahkan di atas tim peringkat kedua musim tersebut (lihat Grafik Performa Arsenal).

Grafik Performa Arsenal 2020/2021

Faktor penting dalam peningkatan performa ini adalah Arsenal berhasil membersihkan dressing room dari pemain-pemain yang tidak masuk lagi dalam planning Arteta seperti Ozil, Mustafi, Sokratis dan Kolasinac dengan rilis permanen atau loan out ke klub lainnya di bulan Januari. Guendouzi telah disingkirkan sebelumnya di bulan Oktober dengan loan out ke Hertha Berlin. Seluruh manajemen Arsenal all out di belakang Arteta, percaya dengan proses yang sedang dijalankannya, pada tim yang sedang dibangunnya. Bonusnya yang tidak kalah penting saat itu: mereka mendatangkan Martin Odegaard dalam bentuk loan dari Real Madrid.

Sayangnya performa di 14 match awal musim itu demikian buruknya (1.0 PPG) sehingga performa di dua pertiga akhir musim tersebut tidak mampu mengangkat peringkat Arsenal masuk ke zona Eropa, hanya bisa finish di peringkat ke-8, sama dengan musim sebelumnya. Namun, bagi fans Arsenal yang jernih, kita bisa melihat adanya progress dan tanda-tanda positif dari calon tim penantang top four yang sedang dibentuk Arteta. Trust the process, kata Arteta. Yes we do, kata fans yang bergairah terutama dengan penampilan pemain-pemain muda baru Arsenal. Emile Smith Rowe, pahlawan musim itu juga kemudian menandatangani kontrak barunya sebelum musim baru dimulai. Yes, we have a new No.10!

Formasi dan Starting Line Up Arsenal 2020/2021

Second Full Season (2021/2022)

Bila fans Arsenal belum semuanya masuk gerbong Trust The Process, pemilik Arsenal (KSE) telah percaya penuh dengan proses yang sedang dijalan Arteta tanpa ragu sedikitpun. Hal ini karena semua executive dan staff Arsenal bisa melihat dan merasakan proses di balik layar, transformasi tim secara mental maupun teknikal di training ground sehari-hari yang tidak bisa dirasakan fans, dan tentunya ini semua dilaporkan kepada The Kroenkes. Fans Arsenal baru bisa tahu sedikit apa yang terjadi di balik layar dan dressing room setelah menonton serial dokumenter All or Nothing-nya Amazon yang dirilis setelah musim tersebut berakhir.

Bentuk kepercayaan KSE itu diberikan dalam wujud transfer budget yang tidak tanggung-tanggung. Arsenal memecahkan rekor transfer di summer window tersebut (silakan baca series Transfer Window 2021/2022 untuk lebih jelasnya) dengan total pembelanjaan sekitar 145 juta pounds. Padahal Arsenal tidak berkompetisi di Eropa sama sekali yang artinya jumlah pemasukannya jauh lebih sedikit dibanding tim-tim besar lainnya. Manajemen memberikan Arteta semua pemain yang ia inginkan: Ben White, Ramsdale, Odegaard (yeah permanen!), Tomiyasu dan dua pemain muda Sambi Lokonga dan Nuno Tavares. Selain itu pemain-pemain yang tidak diinginkannya berhasil dijual atau dilepas seperti Guendouzi, Torreira, dan Willian. Secara internal, manajemen memasang target musim ini adalah musim di mana Arsenal bisa kembali ke Eropa (minimal top six). Saya menulis harapan saya dalam artikel Rebuilding Arsenal (total ada 3 bagian) dan mengakhirinya dengan kalimat: “Untuk saat ini, mari kita menikmati mendukung Arsenal tanpa beban.”

Namun Arsenal memulai musim tersebut dengan tiga kekalahan beruntun. Kombinasi absennya pemain inti karena kasus Covid, cedera, pemain baru yang belum bergabung dan mesti melawan Man City dan Chelsea dalam tiga match awal. Arsenal langsung terpuruk di dasar klasemen. Dari tanpa beban menjadi tanpa harapan dengan cepatnya… Untungnya ada international break selama 2 minggu yang memungkinkan pemain-pemain Arsenal yang cedera dan positif Covid untuk sembuh, dan pemain-pemain baru untuk berintegrasi dengan tim. Dan yang tak kalah penting, 2 minggu itu sangat berguna untuk Mikel Arteta evaluasi diri dan timnya, melakukan konsolidasi kemudian merencanakan comeback Arsenal ke tempat yang semestinya. Ia mengatakan 2 minggu tersebut adalah 2 minggu terbaik baginya dalam karir sepakbolanya, karena ia kemudian menemukan dukungan sejati di klub dan keluarganya.

Saya menulis bagaimana Arsenal kemudian tampil bak tim top four setelah break tersebut di artikel Race to Top Four ini. Arsenal melaju kencang dan meraih kemenangan demi kemenangan (masih ingat kemenangan 3-1 di kandang atas Spurs?). Chant baru pun berkumandang, Saka and Emile Smith Rowe dan Super Mik Arteta.

Namun ada sedikit setback dalam penampilan Arsenal setelah itu yang disebabkan oleh Aubameyang, sang kapten. Ketika teman-temannya tampil baik, Auba yang menjadi pemain dengan gaji tertinggi tidak mampu memberikan penampilan yang merepresentasikan gajinya itu di lapangan. Auba pun mulai terpinggirkan, ditaruh di bangku cadangan. Puncaknya adalah pelanggaran indisipliner yang kontroversial itu, saat ia telat kembali dari Perancis setelah diberikan izin untuk menjenguk ibunya yang sakit. Mikel Arteta mengeluarkannya dari skuad saat match day dan beberapa hari kemudian mencabut ban kaptennya dan menyuruhnya untuk berlatih sendirian. Non-negotiables yang dilanggar oleh Auba berdampak pada keputusan klub yang diambil tegas: Auba dilepas ke Barca gratis.

Setelah sempat flirting dengan posisi top four sebelum turun performanya, Arsenal post Auba mengalami peningkatan performa hingga masuk ke peringkat empat beneran. Laca menjadi kapten dan striker utama Arsenal di periode ini. Namun performa Laca pun juga menurun (gerakannya yang makin melambat karena faktor usia) dan Arsenal mengalami setback dengan tiga kekalahan beruntun (Crystal Palace, Brighton, Southampton). Nketiah diperkenalkan Arteta ke starting line up menggantikan Laca dan mulai mencetak gol-gol penting. Sayangnya cederanya beberapa pemain inti di penghujung musim dan gap level antara pemain cadangan dan inti Arsenal yang cukup besar, serta tekanan mental terhadap tim muda ini berakibat dua kekalahan Arsenal lawan Spurs dan Newcastle yang artinya Arsenal gagal lolos ke Champions League. Hal yang tentunya mengecewakan ketika Arteta, pemain dan fans sudah memiliki kepercayaan bahwa hal itu bisa dilakukan musim kemarin, terutama setelah sempat berada di zona Top Four (lihat grafik di bawah ini) cukup lama. Saya saat itu memprediksi Arsenal bisa finish dengan 73 poin namun Arsenal hanya bisa finish dengan 69 poin di peringkat lima.

Grafik Performa Arsenal 2021/2022

Blessing in disguise, tidak lolosnya Arsenal ke Champions League ini kemudian menjadi berkah untuk musim ini. Siapa yang menyangka…

Year 3 of Super Mik Arteta (2022/2023)

Top four adalah bonus untuk musim lalu bila tercapai, target utama adalah top six yang mana hal ini dicapai oleh Mikel Arteta dan tim dengan mudah. Setelah menonton All or Nothing Arsenal, kita sebagai fans jadi tahu lebih banyak dengan apa yang terjadi di belakang layar. Betapa kecewanya para pemain dan Arteta ketika mereka kalah tiga kali berturut-turut di periode pre-Nketiah tersebut dan kemudian kalah lagi dua kali lawan Spurs dan Newcastle di akhir musim. Kita juga bisa melihat drama seputar dihukumnya Auba oleh klub dan bagaimana mantan kapten ini mengecewakan manager yang memilihnya. Kita melihat bagaimana Tim Lewis, Vinai, Edu all out mendukung Arteta. Kita melihat proses tersebut dan seluruh supporter Arsenal sekarang percaya. Top four will be ours this season.

Untuk menyuntik mental juara ke dalam tim, Arteta dan Edu beralih pada pemain Man City yang menjuarai 4 gelar liga dalam 5 tahun terakhir ini: Gabriel Jesus dan Oleksandr Zinchenko. Selain itu penderitaan yang dialami tim muda Arsenal karena gagal ke Champions League bukannya mematahkan semangat malah justru memperkuat rasa lapar mereka untuk sukses di musim ini. Jesus dan Zinchenko memberikan contoh dan inspirasi bagaimana pemain dengan mental juara itu mestinya berlatih, mempersiapkan diri sebelum pertandingan, dan sikap tak mau kalah di lapangan. Dengan kualitas tim yang bertambah, skuad muda hanya akan makin membaik. Proyeksi perkembangannya adalah ke atas bukan ke bawah. Dengan pondasi yang kuat, Anda tidak perlu heran kalau struktur atas bangunan akan dibangun jauh lebih cepat (Civil Engineer pasti tahu hal ini).

Musim ini Arteta menyempurnakan formasi 4-3-3 Arsenal dengan Gabriel Jesus yang memerankan false nine dengan sangat baik dan Thomas Partey sebagai single pivot. Xhaka berubah peran menjadi free role left eight yang sering menjadi third runner dan Odegaard memantapkan posisinya sebagai poros kreatif Arsenal. Selain itu Arteta membuang ide left back sebagai bagian dari “5 penyerang” Arsenal dengan adanya Zinchenko yang sangat fasih memainkan peran inverted fullback dan beralih pada Martinelli. Struktur formasi yang disukai Arteta adalah 5 penyerang dan 5 pemain pendukung. Bila sebelumnya “5 penyerang” tersebut adalah LB – LW (drift inside) – CF – AMR – RW maka musim ini berubah menjadi LW – AML – CF – AMR – RW. Kita bisa melihat posisi Saka dan Martinelli yang simetris dan keduanya menjadi isolation player walaupun sedikit berbeda style-nya. Ini dimungkinkan karena peran Xhaka dan Zinchenko tersebut.

Sedangkan “5 pemain pendukung” itu ditempatkan dengan posisi:

LB – DM / LCB – RCB – RB (dengan kebebasan untuk naik ke lini depan untuk overlapping di sayap kanan)

Zinchenko dan Partey menjadi poros build-up Arsenal. Di sisi kiri, ketika Martinelli menusuk ke dalam, maka Gabriel Jesus akan pindah ke sayap. Ketika Zinchenko ke tengah, Xhaka akan cover space left back yang ditinggalinya. Di sisi kanan, ketika Saka masuk ke dalam, Ben White akan melakukan overlapping. Odegaard kemudian akan melakukan kombinasi dengan Saka dan Ben White untuk kemudian memberikan final pass ataupun shoot. Kelima pemain depan ini juga akan melakukan pressing tinggi ketika Arsenal kehilangan bola. Dan ketika pressing lini pertama ini lewat, Partey biasanya akan dapat melakukan tackle ataupun interception. Gabriel dan Saliba bermain dengan lini pertahanan yang tinggi tapi mereka nyaman karena percaya pada kecepatan mereka untuk marking ataupun recovery saat diserang counter attack. Pattern yang sama ini diulang-ulang dengan sedikit variasi taktik lawan tim yang berbeda. Penyederhanaan taktik menjadi sesuatu yang sangat efektif karena tim Arsenal ini menjadi “master” dalam eksekusi pola yang sama ini. Sepakbola protagonist yang dikenalkan oleh Wenger pun tercipta.

Lihatlah Grafik Performa Arsenal di bawah ini dan bandingkan dengan musim sebelumnya. PPG Arsenal musim ini berada di atas PPG juara liga musim lalu, selalu dan tidak pernah di bawahnya. Melampaui zona top four yang bahkan hanya disentuh Arsenal musim lalu sesekali saja. Peningkatan eksponensial ini tentunya mengejutkan semua pengamat sepakbola. Namun Arteta dan pemain-pemainnya percaya hal ini akan datang. Trust the process, katanya dan buah dari proses itu sekarang sedang memasuki masa panen.

Grafik Performa Arsenal 2022/2023

Dan bila kita bandingkan perolehan poin per minggu musim ini dengan 3 musim sebelumnya, maka kita bisa melihat jelas adanya “progress” dan betapa jauh lompatan progress di musim ini.

Grafik Perolehan Poin Arsenal 4 musim terakhir

Lebih impresif lagi bila kita membandingkan performa Arsenal ini dengan performa tim-tim terbaik Arsenal dalam sejarah. Tim dengan perolehan poin tertinggi sejak era Wenger adalah:

  1. Arsenal Invincible (2003/2004) – 90 poin,
  2. The Fab Four, yang berisikan kuartet Fabregas, Flamini, Hleb, Rosicky (2007/2008) – 83 poin,
  3. Mesut Ozil era (2013/2014) – 79 poin.

Tim Arsenal yang musim ini melampaui ketiga tim ini untuk perolehan poin di minggu ke-18 saat ini, dan on the track untuk mencapai lebih dari 90 poin di akhir musim. Musim ini, prediksi saya 90 poin sudah cukup untuk memberikan gelar juara (musim lalu Man City juara dengan 93 poin). Luar biasa bukan? Tim terbaik Wenger dilampaui oleh Mikel Arteta, sejauh ini. Semoga performa yang sama bisa dijaga sampai akhir musim.

Yang tidak boleh diabaikan juga: Arsenal saat ini bersaing dengan tim sepakbola dengan manager-manager sepakbola terbaik di dunia, dengan pemain-pemain kelas dunia yang berkualitas lebih wah dibanding musim-musim sebelumnya. Pep Guardiola, Klopp, Conte dan Ten Hag sudah pernah membawa tim mereka menjadi juara liga di sepanjang karier mereka. Sedangkan Arsenal adalah tim termuda di liga saat ini yang dipimpin oleh manager yang baru memegang tim utama selama 3 tahun. Sebuah tantangan besar tentunya. Apakah Mikel Arteta bisa membawakan gelar juara liga kembali untuk Arsenal setelah 19 tahun lamanya? Saya memilih mengikuti pesan sponsor: game by game, mari menikmati proses ini tanpa beban.

Fans Connection

Pep Guardiola baru-baru ini memberikan interview yang membingungkan pundit namun mencerahkan saya. Ia berkata tim City yang ia tangani sekarang terlalu nyaman. Sebagian besar pemainnya telah mengalami 4 gelar juara liga dalam 5 tahun terakhir dan sedang berada di zona nyaman. Drive, ambisinya sudah berkurang. Maka itu ia mengandalkan pemain-pemain muda yang ingin juara di Premier League seperti Rico Lewis dan Julian Alvarez untuk membangkitkan rasa lapar timnya. Ia bandingkan dengan Arsenal yang sudah dua dekade tidak pernah merasakan gelar juara liga. Ia merasa bila ia tak mampu mengubah mindset timnya, City tidak akan memenangkan apapun musim ini.

Hal ini ada benarnya. Status quo yang kelamaan menghasilkan stagnasi. Rasa lapar itu mendadak hilang karena kekenyangan. Fans menjadi complacent, take it for granted, merasa bahwa kesuksesan adalah milik mereka, dengan sendirinya, tanpa perlu berjuang. Kita saksikan atmosfer stadion di Manchester City yang terasa soulless, beda dengan apa yang sedang terjadi di Emirates Stadium sekarang. Atmosfer terbaik sepanjang sejarah stadion ini, ujar supporter Arsenal di sana. Hal ini bisa menjadi faktor positif Arsenal yang akan mendorong tim ini unggul atas juara bertahan. The fans connection with the team.

Tanpa membuang waktu untuk memanfaatkan euforia tersebut, Arsenal baru saja meluncurkan karya seni baru yang akan menghiasi delapan penjuru Emirates Stadium dalam satu dua minggu mendatang. Delapan artwork baru ini adalah hasil desain bersama artis lokal dan sekitar 100 orang supporter Arsenal (juga termasuk legenda Arsenal), sesuatu yang jarang dilakukan klub sepakbola yang berkompetisi di level elit Eropa. Yang membanggakan saya adalah adanya Indonesia di salah satu artworks stadion ini. Stadion sepakbola mana di Eropa yang seperti ini? Tidak akan ada.

Hari Minggu nanti, menjelang pertandingan melawan Manchester United, supporter Arsenal pasti akan datang lebih awal, mengagumi artwork baru stadion, berkumpul dan berfoto bersama sebelum kemudian bernyanyi bersama di dalam stadion, menyemangati tim yang sedang dalam jalur menjadi yang terbaik di dalam sejarah klub ini. We’re Super Mik Arteta’s Army and we are ready to go to war with him, 100% trusting his leadership.

We’ve got Super Mik Arteta,

He knows exactly what we need,

Kieran at the back, Gabi in attack,

Arsenal on the way to Premier League title.

Tambahan

Masih ada lagi ternyata. Manajemen Arsenal tidak ragu memperkuat tim agar peluang untuk menjadi juara liga ini tidak lepas karena cedera pemain inti. Leandro Trossard menjadi pemain pertama yang bergabung dengan Arsenal di transfer window Januari ini. Ini pemain Brighton yang sangat saya sukai selain Karou Mitoma. Yang bergabung dengan grup Telegram Arsenal Indonesia pasti tahu. Kemudian Jakub Kiwior (CB) dan Ivan Fresneda (RB) akan menyusul. Harga ketiga pemain ini kalau digabung hanya seharga seekor cumi-cumi… 😁

Welcome to North London, The Home of The Arsenal, Leo!

4 thoughts on “We’ve Got Our Arsenal Back!

  1. Big thanks min, sudah menulis kembali
    Yee…fan ori akan kalem melihat penampilan Arsenal musim ini

    Enjoy the moment

  2. Mantap om Ben! sejak era Arteta ini kembali bergairah mengikuti detail progress dan percaya dg apa yg akan ia lakukan since Day 1 di Arsenal

    Kekecewaan terbesar musim lalu, kita semua yakin akan terbayarkan lunas dimusim ini, karena tidak hanya guaranteed kembalinya Arsenal berlaga di Champions League musim depan melainkan kesempatan besar yg mahal harganya, gelar bergengsi juara liga yg sudah 19 tahun lamanya dirindukan supporter Arsenal

    Dan semakin terasa spesial gelarnya kalau berhasil diraih karena Arteta berhasil mematahkan dominasi Pep-Klopp dalam 5 tahun terakhir ini, ditambah ia harus bersaing dg manajer2 yg terbilang top rekam jejaknya (Conte, Ten Hag) dibanding Arteta pengalaman karier manajerialnya

    Tulisan om Ben ini jadi membawa kita sebagai supporter Arsenal bernostalgia menapak tilas bagaimana memaknai proses yg berdarah-darah dan perjuangan yg sudah dilewati, serta mendukung penuh project rebuilding yg sudah dilakukan Arteta bersama manajemen selama 3 tahun ini

    Saatnya Arsenal kembali kemasa kejayaan dan semoga terus konsisten tiap musimnya challenge title sebagai penantang gelar! Thanks om sangat menginspirasi

Leave a comment