We’ve Got Our Arsenal Back!

NLD Double Winners 2022/2023

Yes, we’ve got our Arsenal back! North London Derby musim ini diakhiri dengan kemenangan tandang 2-0 Arsenal atas Spurs, melengkapi kemenangan di kandang 3-1 di bulan Oktober. Dengan demikian Arsenal melakukan derby league double musim ini atas Tottenham, pertama kalinya sejak 2014, sembilan tahun lalu ketika Mikel Arteta masih bermain untuk Arsenal. Saat itu Arsenal hanya menang 1-0 di kedua pertandingan home and away, dengan gol dari Giroud dan Rosicky.

Dibandingkan musim 2013/14, derby league double atas Spurs musim ini dicapai dengan lebih meyakinkan, lewat permainan yang sangat dominan dari Arsenal. Bila hanya melihat dari statistik jumlah possession dan peluang yang diciptakan, maka terlihat seakan-akan kedua tim bermain imbang. Namun mereka yang menonton penuh pertandingan ini pasti punya satu kesimpulan: “Tottenham get battered (everywhere they go)”. Babak pertama pertandingan ini adalah 45 menit terbaik dari sebuah tim sepakbola di Premier League. Spurs tidak berdaya dikurung Arsenal di paruh lapangannya sendiri, setiap kali tembakan atau operan Arsenal gagal, counterpressing terjadi dan pemain-pemain Arsenal kembali mendapatkan bola entah lewat tackle ataupun interception dan gelombang serangan pun dimulai kembali. Setiap operan Arsenal memiliki tujuan, setiap gerakan pemainnya mengikuti pola tertentu, mengisi ruang yang ditinggal rekannya, dengan jarak antar pemain yang tetap dijaga berdekatan, tak lebih dari 5 meter. Inilah Positional Play ala Pep yang digabung dengan Counterpressing ala Klopp, Artetaball 3 years in the making. Tiga tahun lamanya kita menanti, setelah perombakan skuad besar-besaran yang mengikuti filosofi sepakbola Arteta, akhirnya sekarang kita mulai bisa melihat dengan jelas pantai seberang – destinasi yang diinginkan semua klub sepakbola di Inggris: gelar juara Premier League.

Kunci dalam dominasi Arsenal atas Spurs di malam itu ada pada tiga pemain: Thomas Partey, Martin Odegaard, dan Oleksandr Zinchenko. Ketiga pemain ini menjadi technical leaders Arsenal dalam hal build-up play maupun pressing. Heatmap ketiga pemain tersebut bisa dilihat di grafik di bawah ini.

Zinchenko menjadi pemain build-up fase 1 yang mampu menganulir pressing lawan lewat pergerakan dan operan bolanya yang kreatif, mengejutkan. Menonton bola lewat layar kaca, kita diuntungkan dengan pemahaman posisi-posisi pemain lewat bird-eye view yang tidak dimiliki pemain-pemain di lapangan. Namun Zinchenko tetap dapat mengejutkan penonton dengan operan dengan sudut yang tak terduga. Operan yang hanya bisa dilihat olehnya. Bila penonton saja tidak mampu melihatnya, apalagi pemain lawan. Berulang kali ia melepas bola diagonal, operan ke samping, atau through ball ke depan tanpa bisa diantisipasi lawan. Kemudian ia bergerak ke tengah dari posisi leftback-nya, mengacaukan marking lawan dan sesukanya bergabung dengan pemain-pemain tengah Arsenal untuk mendominasi lapangan tengah (tentunya saat itu terjadi biasanya Xhaka akan mengisi posisi kosongnya, atau Gabriel yang maju ke depan). Bila pemain-pemain City mengatakan Zinchenko adalah pemain dengan technical skill terbaik di tim mereka yang penuh bintang, saya rasa pemahaman taktiknya juga yang terbaik di tim ini. He’s the best inverted fullback cum CM in this league, bar none.

Thomas Partey telah menjadi complete midfielder yang saya bayangkan sejak awal ia bergabung. Dua tahun yang lalu, saya menulis artikel tentang dirinya yang berakhir dengan pernyataan: “Mari kita tunggu apakah Partey bisa menjadi Vieira Mk II.” Thomas Partey menjawab pernyataan/pertanyaan itu musim ini dengan “Yes, I can.” Ia mampu memerankan tugas single pivot di formasi 4-3-3 yang membutuhkan penampilan konsisten dalam hal build-up maupun break-up play. Ia melakukan 92% operan akurat (dan terbanyak di pertandingan ini), memenangkan 83% duel, selalu berada di posisi yang tepat untuk merebut bola kembali (8 recoveries, 2 tackles) dan mendistribusikannya dengan akurat kepada pemain penyerang Arsenal. Gol pertama Arsenal terjadi setelah umpan lambung terobosan Partey kepada Saka. Dan jangan lupa tendangan geledeknya yang sayangnya masih menghantam tiang gawang.

Odegaard, kapten Arsenal yang bagi banyak pengamat saat ini sedang memimpin perebutan gelar Player of The Season, menyumbangkan satu gol lewat tendangan jarak jauh. Aksi yang efektif karena pemain-pemain Spurs bermain sangat dalam. Bersama Saka, Odegaard menjadi pemain Arsenal yang menyumbangkan Goal dan Assist terbanyak di liga (13 G+A). Tinggal 2 gol lagi ia akan mencetak dua digit gol di liga untuk pertama kalinya dalam karier pro-nya. Selain perannya sebagai poros kreativitas Arsenal, Odegaard juga menjadi mesin pressing Arsenal. Pemain ini perlahan-lahan membuktikan dirinya pantas menjadi pewaris tahta sejati The Perfect Ten, walaupun ia mengenakan kostum bernomor 8. Angka delapan bagi saya pribadi adalah angka yang sempurna (kebetulan lahir di tanggal 8), Infinity.

Di babak kedua, Spurs memberikan perlawanan dengan lebih banyak menyerang (kebanyakan lewat umpan crossing). Arsenal sudah mengantisipasi hal itu dan bertahan dengan sangat baik. Gabriel dan Saliba menjadi tembok kokoh di belakang dan ketika bola lolos dari mereka, ada Ramsdale yang telah kembali ke permainan terbaiknya. Selain itu ketiga pemain depan Arsenal: Nketiah, Saka dan Martinelli terus mengancam lewat counterattack yang cukup berbahaya. Nketiah sendiri melakukan tiga tembakan di babak kedua.

Three Years In The Making

Penampilan Arsenal saat melawan Spurs bukan penampilan unik di musim ini. Di semua pertandingan liga musim ini, Arsenal selalu tampil dominan sejak babak pertama. Hanya satu kali Arsenal gagal mencetak gol di liga musim ini, yaitu saat melawan Newcastle. Walaupun demikian di pertandingan tersebut Arsenal mendominasi total pertandingan dan membuat Newcastle terlihat seperti tim papan tengah (walaupun duduk di top four klasemen). Bahkan saat kalah melawan MU sekalipun (damn VAR), pertandingan tetap didominasi oleh Arsenal. Konsistensi inilah yang membawa Arsenal ke puncak klasemen (hampir) paruh musim, memimpin 8 poin di atas Manchester City dengan jumlah pertandingan yang sama.

Tidak ada pundit dan mungkin juga fans Arsenal di awal musim ini yang berani memprediksi Arsenal bisa berada di posisi seperti ini sekarang. Dengan posisi di peringkat lima liga musim lalu, Arsenal yang tidak lolos ke Champions League melompati empat tim di atasnya hanya dalam jangka waktu beberapa bulan. Bagaimana mungkin? Apa sebabanya? Mari kita lakukan flashback sedikit sambil refreshing ingatan kita.

The Light at The End of The Tunnel

Tiga tahun lalu, ketika Arteta ditunjuk menjadi head coach Arsenal (20 Dec 2019), ia menemukan kondisi dressing room yang toxic, stadion yang fans-nya terbelah dan disconnect dari tim, dan value Arsenal yang sedang mengalami tererosi dengan cepat (sudah diingatkan oleh Wenger di perpisahannya). Arsenal mengalami krisis identitas dan kepercayaan diri dan ia mewarisi tim yang sedang terjun bebas ke dasar klasemen (peringkat ke-11 saat itu). Arteta menyadari itu dan hal pertama yang ia katakan di konferensi pers adalah ia ingin menanamkan 4 hal penting sebagai pondasi dasar timnya: komitmen, akuntabilitas, agresi dan gairah untuk bermain sepakbola mewakili klub ini (silakan baca The Arteta Way).

Di 10 match pertamanya, Arteta introduksi ulang Mesut Ozil yang disingkirkan Emery sebelumnya, ke dalam tim. Bermodal hubungannya dengan Ozil sebagai pemain di Arsenal, Arteta mencoba mengembalikan Ozil ke permainan terbaiknya. Penampilan Arsenal menjadi lumayan, mendekati form tim top four (lihat grafik di bawah ini – garis merah adalah semenjak Arteta pegang tim).

Grafik Performa Arsenal 2019/2020

Namun kemudian Covid-19 outbreak melanda Premier League dan liga ditunda selama 3 bulan. Selama break tersebut terjadi clash antara Arteta dan Ozil. Yang kita tahu Ozil tidak mau mengikuti usulan Arteta dan klub untuk memotong gaji pemain sebagai bagian dari program menolong klub untuk dapat melewati masa pandemi karena saat itu penonton dilarang ke stadion sehingga pemasukan klub akan berkurang drastis. Selain itu, selama break Arteta dan coaching staff memberikan tugas khusus yang harus dijalankan oleh semua pemain yang berlatih masing-masing di rumah mereka sendiri dan online meeting reguler untuk mengecek progress latihan mereka. Kemungkinan Ozil juga tidak mengikuti penuh instruksi ini.

Dampaknya, saat Premier League dimulai kembali di bulan Juni, Ozil tidak pernah lagi bermain untuk Arsenal, termasuk ketika Arsenal menang di semua pertandingan sisa di FA Cup. Inilah demonstrasi pertama non-negotiables Arteta, 4 tiang pondasi dasar (komitmen, akuntabilitas, agresi dan gairah) yang dirasakan tidak lagi dimiliki oleh Ozil sehingga ia tidak pantas dimasukkan ke dalam skuad. Absennya Ozil tentunya berdampak terhadap gaya bermain Arsenal. Arteta harus mengubah formasi timnya ke 3-4-3 dan lebih mengandalkan counter attacking football. Arsenal hanya mampu finish di peringkat delapan, padahal sebelum Covid break mampu mendekati form tim top four (lihat grafik performa Arsenal di atas). Trofi FA Cup akhirnya menjadi pelipur lara musim tersebut dan terang di ujung terowongan gelap itu mulai terlihat.

Formasi dan Starting Line Up Arsenal 2019/2020

First Full Season (2020/2021)

Di musim berikutnya, Arsenal memulai dengan mendapatkan trofi lagi, kemenangan penalti atas Liverpool di Community Shield. Ozil tetap dikucilkan dari skuad, Arsenal tidak berhasil menjualnya karena gajinya yang sangat tinggi. Arteta tetap mengandalkan formasi 3-4-3 di pertandingan tersebut dan lanjut di 3 pertandingan pertama liga. Willian, Gabriel dan Partey bergabung di musim tersebut. Liverpool membalas kekalahan di Community Shield dengan kemenangan di kandang Arsenal di GW3 yang membuat Arteta menyadari keterbatasan formasi 3-4-3 nya dan mulai “memaksa” timnya bermain 4-3-3. Eksperimen ini bisa dikatakan gagal karena dalam 11 laga liga berikutnya, Arsenal hanya menang 2 kali, seri 2 kali dan sisanya kalah, total 8 poin dari 11 match – formnya tim degradasi. Dan benar Arsenal jatuh ke peringkat 15 musim itu di GW14, peringkat terendah sepanjang sejarah Arsenal dalam 25 tahun terakhir (musim 1994/95 Arsenal pernah turun ke peringkat ke-15 selama satu minggu). Lini depan yang berisi Aubameyang, Lacazette, Willian dan terkadang Pepe hanya bisa mencetak 6 gol dalam periode 11 match tersebut.

Untuk menambah luka The Gunners, pemain kreatif dengan gaji termahal di Arsenal yang sedang diisolasikan Arteta membuat twit “mockingan” seperti di bawah ini. Dan tentunya Arsenal kemudian kalah 0-2 lawan Spurs di kandang sendiri.

Masuk ke bulan Desember melawan Chelsea-nya Lampard yang sedang naik daun, Arteta tetap tidak mau menggunakan jasa Ozil. Baginya Ozil’s is finished at Arsenal dan seluruh manajemen klub mendukungnya. Ia mengalihkan harapannya pada pemain-pemain muda Arsenal, mencoba formasi baru 4-2-3-1 dan memasang Emile Smith Rowe untuk pertama kalinya di starting line-up bersama Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli di belakang Lacazette.

Siapa sangka pertaruhan inilah yang kemudian membentuk timnya di kemudian hari karena tiga pemain ini menjadi poros utama tim Arsenal sampai sekarang. Arsenal menang 3-1 dengan gol dari Laca, Xhaka dan Saka (it rhymes). Dalam 24 pertandingan berikutnya, tim Arsenal dengan pemain-pemain muda ini meraih 1.96 PPG (point per game), form yang layak masuk ke top four Premier League, bahkan di atas tim peringkat kedua musim tersebut (lihat Grafik Performa Arsenal).

Grafik Performa Arsenal 2020/2021

Faktor penting dalam peningkatan performa ini adalah Arsenal berhasil membersihkan dressing room dari pemain-pemain yang tidak masuk lagi dalam planning Arteta seperti Ozil, Mustafi, Sokratis dan Kolasinac dengan rilis permanen atau loan out ke klub lainnya di bulan Januari. Guendouzi telah disingkirkan sebelumnya di bulan Oktober dengan loan out ke Hertha Berlin. Seluruh manajemen Arsenal all out di belakang Arteta, percaya dengan proses yang sedang dijalankannya, pada tim yang sedang dibangunnya. Bonusnya yang tidak kalah penting saat itu: mereka mendatangkan Martin Odegaard dalam bentuk loan dari Real Madrid.

Sayangnya performa di 14 match awal musim itu demikian buruknya (1.0 PPG) sehingga performa di dua pertiga akhir musim tersebut tidak mampu mengangkat peringkat Arsenal masuk ke zona Eropa, hanya bisa finish di peringkat ke-8, sama dengan musim sebelumnya. Namun, bagi fans Arsenal yang jernih, kita bisa melihat adanya progress dan tanda-tanda positif dari calon tim penantang top four yang sedang dibentuk Arteta. Trust the process, kata Arteta. Yes we do, kata fans yang bergairah terutama dengan penampilan pemain-pemain muda baru Arsenal. Emile Smith Rowe, pahlawan musim itu juga kemudian menandatangani kontrak barunya sebelum musim baru dimulai. Yes, we have a new No.10!

Formasi dan Starting Line Up Arsenal 2020/2021

Second Full Season (2021/2022)

Bila fans Arsenal belum semuanya masuk gerbong Trust The Process, pemilik Arsenal (KSE) telah percaya penuh dengan proses yang sedang dijalan Arteta tanpa ragu sedikitpun. Hal ini karena semua executive dan staff Arsenal bisa melihat dan merasakan proses di balik layar, transformasi tim secara mental maupun teknikal di training ground sehari-hari yang tidak bisa dirasakan fans, dan tentunya ini semua dilaporkan kepada The Kroenkes. Fans Arsenal baru bisa tahu sedikit apa yang terjadi di balik layar dan dressing room setelah menonton serial dokumenter All or Nothing-nya Amazon yang dirilis setelah musim tersebut berakhir.

Bentuk kepercayaan KSE itu diberikan dalam wujud transfer budget yang tidak tanggung-tanggung. Arsenal memecahkan rekor transfer di summer window tersebut (silakan baca series Transfer Window 2021/2022 untuk lebih jelasnya) dengan total pembelanjaan sekitar 145 juta pounds. Padahal Arsenal tidak berkompetisi di Eropa sama sekali yang artinya jumlah pemasukannya jauh lebih sedikit dibanding tim-tim besar lainnya. Manajemen memberikan Arteta semua pemain yang ia inginkan: Ben White, Ramsdale, Odegaard (yeah permanen!), Tomiyasu dan dua pemain muda Sambi Lokonga dan Nuno Tavares. Selain itu pemain-pemain yang tidak diinginkannya berhasil dijual atau dilepas seperti Guendouzi, Torreira, dan Willian. Secara internal, manajemen memasang target musim ini adalah musim di mana Arsenal bisa kembali ke Eropa (minimal top six). Saya menulis harapan saya dalam artikel Rebuilding Arsenal (total ada 3 bagian) dan mengakhirinya dengan kalimat: “Untuk saat ini, mari kita menikmati mendukung Arsenal tanpa beban.”

Namun Arsenal memulai musim tersebut dengan tiga kekalahan beruntun. Kombinasi absennya pemain inti karena kasus Covid, cedera, pemain baru yang belum bergabung dan mesti melawan Man City dan Chelsea dalam tiga match awal. Arsenal langsung terpuruk di dasar klasemen. Dari tanpa beban menjadi tanpa harapan dengan cepatnya… Untungnya ada international break selama 2 minggu yang memungkinkan pemain-pemain Arsenal yang cedera dan positif Covid untuk sembuh, dan pemain-pemain baru untuk berintegrasi dengan tim. Dan yang tak kalah penting, 2 minggu itu sangat berguna untuk Mikel Arteta evaluasi diri dan timnya, melakukan konsolidasi kemudian merencanakan comeback Arsenal ke tempat yang semestinya. Ia mengatakan 2 minggu tersebut adalah 2 minggu terbaik baginya dalam karir sepakbolanya, karena ia kemudian menemukan dukungan sejati di klub dan keluarganya.

Saya menulis bagaimana Arsenal kemudian tampil bak tim top four setelah break tersebut di artikel Race to Top Four ini. Arsenal melaju kencang dan meraih kemenangan demi kemenangan (masih ingat kemenangan 3-1 di kandang atas Spurs?). Chant baru pun berkumandang, Saka and Emile Smith Rowe dan Super Mik Arteta.

Namun ada sedikit setback dalam penampilan Arsenal setelah itu yang disebabkan oleh Aubameyang, sang kapten. Ketika teman-temannya tampil baik, Auba yang menjadi pemain dengan gaji tertinggi tidak mampu memberikan penampilan yang merepresentasikan gajinya itu di lapangan. Auba pun mulai terpinggirkan, ditaruh di bangku cadangan. Puncaknya adalah pelanggaran indisipliner yang kontroversial itu, saat ia telat kembali dari Perancis setelah diberikan izin untuk menjenguk ibunya yang sakit. Mikel Arteta mengeluarkannya dari skuad saat match day dan beberapa hari kemudian mencabut ban kaptennya dan menyuruhnya untuk berlatih sendirian. Non-negotiables yang dilanggar oleh Auba berdampak pada keputusan klub yang diambil tegas: Auba dilepas ke Barca gratis.

Setelah sempat flirting dengan posisi top four sebelum turun performanya, Arsenal post Auba mengalami peningkatan performa hingga masuk ke peringkat empat beneran. Laca menjadi kapten dan striker utama Arsenal di periode ini. Namun performa Laca pun juga menurun (gerakannya yang makin melambat karena faktor usia) dan Arsenal mengalami setback dengan tiga kekalahan beruntun (Crystal Palace, Brighton, Southampton). Nketiah diperkenalkan Arteta ke starting line up menggantikan Laca dan mulai mencetak gol-gol penting. Sayangnya cederanya beberapa pemain inti di penghujung musim dan gap level antara pemain cadangan dan inti Arsenal yang cukup besar, serta tekanan mental terhadap tim muda ini berakibat dua kekalahan Arsenal lawan Spurs dan Newcastle yang artinya Arsenal gagal lolos ke Champions League. Hal yang tentunya mengecewakan ketika Arteta, pemain dan fans sudah memiliki kepercayaan bahwa hal itu bisa dilakukan musim kemarin, terutama setelah sempat berada di zona Top Four (lihat grafik di bawah ini) cukup lama. Saya saat itu memprediksi Arsenal bisa finish dengan 73 poin namun Arsenal hanya bisa finish dengan 69 poin di peringkat lima.

Grafik Performa Arsenal 2021/2022

Blessing in disguise, tidak lolosnya Arsenal ke Champions League ini kemudian menjadi berkah untuk musim ini. Siapa yang menyangka…

Year 3 of Super Mik Arteta (2022/2023)

Top four adalah bonus untuk musim lalu bila tercapai, target utama adalah top six yang mana hal ini dicapai oleh Mikel Arteta dan tim dengan mudah. Setelah menonton All or Nothing Arsenal, kita sebagai fans jadi tahu lebih banyak dengan apa yang terjadi di belakang layar. Betapa kecewanya para pemain dan Arteta ketika mereka kalah tiga kali berturut-turut di periode pre-Nketiah tersebut dan kemudian kalah lagi dua kali lawan Spurs dan Newcastle di akhir musim. Kita juga bisa melihat drama seputar dihukumnya Auba oleh klub dan bagaimana mantan kapten ini mengecewakan manager yang memilihnya. Kita melihat bagaimana Tim Lewis, Vinai, Edu all out mendukung Arteta. Kita melihat proses tersebut dan seluruh supporter Arsenal sekarang percaya. Top four will be ours this season.

Untuk menyuntik mental juara ke dalam tim, Arteta dan Edu beralih pada pemain Man City yang menjuarai 4 gelar liga dalam 5 tahun terakhir ini: Gabriel Jesus dan Oleksandr Zinchenko. Selain itu penderitaan yang dialami tim muda Arsenal karena gagal ke Champions League bukannya mematahkan semangat malah justru memperkuat rasa lapar mereka untuk sukses di musim ini. Jesus dan Zinchenko memberikan contoh dan inspirasi bagaimana pemain dengan mental juara itu mestinya berlatih, mempersiapkan diri sebelum pertandingan, dan sikap tak mau kalah di lapangan. Dengan kualitas tim yang bertambah, skuad muda hanya akan makin membaik. Proyeksi perkembangannya adalah ke atas bukan ke bawah. Dengan pondasi yang kuat, Anda tidak perlu heran kalau struktur atas bangunan akan dibangun jauh lebih cepat (Civil Engineer pasti tahu hal ini).

Musim ini Arteta menyempurnakan formasi 4-3-3 Arsenal dengan Gabriel Jesus yang memerankan false nine dengan sangat baik dan Thomas Partey sebagai single pivot. Xhaka berubah peran menjadi free role left eight yang sering menjadi third runner dan Odegaard memantapkan posisinya sebagai poros kreatif Arsenal. Selain itu Arteta membuang ide left back sebagai bagian dari “5 penyerang” Arsenal dengan adanya Zinchenko yang sangat fasih memainkan peran inverted fullback dan beralih pada Martinelli. Struktur formasi yang disukai Arteta adalah 5 penyerang dan 5 pemain pendukung. Bila sebelumnya “5 penyerang” tersebut adalah LB – LW (drift inside) – CF – AMR – RW maka musim ini berubah menjadi LW – AML – CF – AMR – RW. Kita bisa melihat posisi Saka dan Martinelli yang simetris dan keduanya menjadi isolation player walaupun sedikit berbeda style-nya. Ini dimungkinkan karena peran Xhaka dan Zinchenko tersebut.

Sedangkan “5 pemain pendukung” itu ditempatkan dengan posisi:

LB – DM / LCB – RCB – RB (dengan kebebasan untuk naik ke lini depan untuk overlapping di sayap kanan)

Zinchenko dan Partey menjadi poros build-up Arsenal. Di sisi kiri, ketika Martinelli menusuk ke dalam, maka Gabriel Jesus akan pindah ke sayap. Ketika Zinchenko ke tengah, Xhaka akan cover space left back yang ditinggalinya. Di sisi kanan, ketika Saka masuk ke dalam, Ben White akan melakukan overlapping. Odegaard kemudian akan melakukan kombinasi dengan Saka dan Ben White untuk kemudian memberikan final pass ataupun shoot. Kelima pemain depan ini juga akan melakukan pressing tinggi ketika Arsenal kehilangan bola. Dan ketika pressing lini pertama ini lewat, Partey biasanya akan dapat melakukan tackle ataupun interception. Gabriel dan Saliba bermain dengan lini pertahanan yang tinggi tapi mereka nyaman karena percaya pada kecepatan mereka untuk marking ataupun recovery saat diserang counter attack. Pattern yang sama ini diulang-ulang dengan sedikit variasi taktik lawan tim yang berbeda. Penyederhanaan taktik menjadi sesuatu yang sangat efektif karena tim Arsenal ini menjadi “master” dalam eksekusi pola yang sama ini. Sepakbola protagonist yang dikenalkan oleh Wenger pun tercipta.

Lihatlah Grafik Performa Arsenal di bawah ini dan bandingkan dengan musim sebelumnya. PPG Arsenal musim ini berada di atas PPG juara liga musim lalu, selalu dan tidak pernah di bawahnya. Melampaui zona top four yang bahkan hanya disentuh Arsenal musim lalu sesekali saja. Peningkatan eksponensial ini tentunya mengejutkan semua pengamat sepakbola. Namun Arteta dan pemain-pemainnya percaya hal ini akan datang. Trust the process, katanya dan buah dari proses itu sekarang sedang memasuki masa panen.

Grafik Performa Arsenal 2022/2023

Dan bila kita bandingkan perolehan poin per minggu musim ini dengan 3 musim sebelumnya, maka kita bisa melihat jelas adanya “progress” dan betapa jauh lompatan progress di musim ini.

Grafik Perolehan Poin Arsenal 4 musim terakhir

Lebih impresif lagi bila kita membandingkan performa Arsenal ini dengan performa tim-tim terbaik Arsenal dalam sejarah. Tim dengan perolehan poin tertinggi sejak era Wenger adalah:

  1. Arsenal Invincible (2003/2004) – 90 poin,
  2. The Fab Four, yang berisikan kuartet Fabregas, Flamini, Hleb, Rosicky (2007/2008) – 83 poin,
  3. Mesut Ozil era (2013/2014) – 79 poin.

Tim Arsenal yang musim ini melampaui ketiga tim ini untuk perolehan poin di minggu ke-18 saat ini, dan on the track untuk mencapai lebih dari 90 poin di akhir musim. Musim ini, prediksi saya 90 poin sudah cukup untuk memberikan gelar juara (musim lalu Man City juara dengan 93 poin). Luar biasa bukan? Tim terbaik Wenger dilampaui oleh Mikel Arteta, sejauh ini. Semoga performa yang sama bisa dijaga sampai akhir musim.

Yang tidak boleh diabaikan juga: Arsenal saat ini bersaing dengan tim sepakbola dengan manager-manager sepakbola terbaik di dunia, dengan pemain-pemain kelas dunia yang berkualitas lebih wah dibanding musim-musim sebelumnya. Pep Guardiola, Klopp, Conte dan Ten Hag sudah pernah membawa tim mereka menjadi juara liga di sepanjang karier mereka. Sedangkan Arsenal adalah tim termuda di liga saat ini yang dipimpin oleh manager yang baru memegang tim utama selama 3 tahun. Sebuah tantangan besar tentunya. Apakah Mikel Arteta bisa membawakan gelar juara liga kembali untuk Arsenal setelah 19 tahun lamanya? Saya memilih mengikuti pesan sponsor: game by game, mari menikmati proses ini tanpa beban.

Fans Connection

Pep Guardiola baru-baru ini memberikan interview yang membingungkan pundit namun mencerahkan saya. Ia berkata tim City yang ia tangani sekarang terlalu nyaman. Sebagian besar pemainnya telah mengalami 4 gelar juara liga dalam 5 tahun terakhir dan sedang berada di zona nyaman. Drive, ambisinya sudah berkurang. Maka itu ia mengandalkan pemain-pemain muda yang ingin juara di Premier League seperti Rico Lewis dan Julian Alvarez untuk membangkitkan rasa lapar timnya. Ia bandingkan dengan Arsenal yang sudah dua dekade tidak pernah merasakan gelar juara liga. Ia merasa bila ia tak mampu mengubah mindset timnya, City tidak akan memenangkan apapun musim ini.

Hal ini ada benarnya. Status quo yang kelamaan menghasilkan stagnasi. Rasa lapar itu mendadak hilang karena kekenyangan. Fans menjadi complacent, take it for granted, merasa bahwa kesuksesan adalah milik mereka, dengan sendirinya, tanpa perlu berjuang. Kita saksikan atmosfer stadion di Manchester City yang terasa soulless, beda dengan apa yang sedang terjadi di Emirates Stadium sekarang. Atmosfer terbaik sepanjang sejarah stadion ini, ujar supporter Arsenal di sana. Hal ini bisa menjadi faktor positif Arsenal yang akan mendorong tim ini unggul atas juara bertahan. The fans connection with the team.

Tanpa membuang waktu untuk memanfaatkan euforia tersebut, Arsenal baru saja meluncurkan karya seni baru yang akan menghiasi delapan penjuru Emirates Stadium dalam satu dua minggu mendatang. Delapan artwork baru ini adalah hasil desain bersama artis lokal dan sekitar 100 orang supporter Arsenal (juga termasuk legenda Arsenal), sesuatu yang jarang dilakukan klub sepakbola yang berkompetisi di level elit Eropa. Yang membanggakan saya adalah adanya Indonesia di salah satu artworks stadion ini. Stadion sepakbola mana di Eropa yang seperti ini? Tidak akan ada.

Hari Minggu nanti, menjelang pertandingan melawan Manchester United, supporter Arsenal pasti akan datang lebih awal, mengagumi artwork baru stadion, berkumpul dan berfoto bersama sebelum kemudian bernyanyi bersama di dalam stadion, menyemangati tim yang sedang dalam jalur menjadi yang terbaik di dalam sejarah klub ini. We’re Super Mik Arteta’s Army and we are ready to go to war with him, 100% trusting his leadership.

We’ve got Super Mik Arteta,

He knows exactly what we need,

Kieran at the back, Gabi in attack,

Arsenal on the way to Premier League title.

Tambahan

Masih ada lagi ternyata. Manajemen Arsenal tidak ragu memperkuat tim agar peluang untuk menjadi juara liga ini tidak lepas karena cedera pemain inti. Leandro Trossard menjadi pemain pertama yang bergabung dengan Arsenal di transfer window Januari ini. Ini pemain Brighton yang sangat saya sukai selain Karou Mitoma. Yang bergabung dengan grup Telegram Arsenal Indonesia pasti tahu. Kemudian Jakub Kiwior (CB) dan Ivan Fresneda (RB) akan menyusul. Harga ketiga pemain ini kalau digabung hanya seharga seekor cumi-cumi… 😁

Welcome to North London, The Home of The Arsenal, Leo!

Advertisement

Race to Top Four – Part 2

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan Race to Top Four yang dimuat di tanggal 28 Februari 2022. Saat itu di GW 27 dan Arsenal baru memainkan 24 pertandingan dan bertengger di peringkat keenam klasemen. Delapan pertandingan kemudian, Arsenal sekarang bertengger di peringkat kelima dengan perolehan jumlah poin yang sama dengan peringkat keempat Spurs, namun dengan selisih gol yang lebih sedikit. Sama-sama masih memiliki 6 pertandingan sisa, top four race sekarang menjadi two horses race antara kedua klub North London ini. MU serta West Ham yang sebelumnya diperhitungkan bisa dikatakan out of the race.

Premier League Table GW 33

Di artikel sebelumnya, saya dengan percaya diri memprediksi bahwa Arsenal akan finish musim ini di peringkat keempat disusul oleh Spurs sedangkan MU akan finish di peringkat keenam dan West Ham di peringkat ketujuh. Perolehan poin masing-masing tim tersebut secara berurutan saya prediksi di angka 73, 67, 65 dan 62. Delapan pertandingan telah berlalu semenjak prediksi tersebut dibuat, mari kita bandingkan dengan hasil aktual pertandingan.

Tabel 1 – Perbandingan Prediksi dan Hasil Aktual

Kita bisa melihat prediksi saya berjalan baik sampai dengan 3 minggu dengan akurasi 100%. Kemudian di minggu ke-empat, Tottenham mematahkan prediksi itu dengan menang atas West Ham di kandang. Lalu prediksi saya tentang Arsenal di match minggu ke-5 dan seterusnya itu meleset semua, berkat cedera Tierney dan Partey. Arsenal menelan tiga kekalahan berturut-turut dan untungnya bisa menang atas Chelsea yang merupakan calculated loss versi saya. Secara total Arsenal drop 4 poin dibandingkan prediksi saya sementara Tottenham satu-satunya tim yang gain +1 poin dari prediksi tersebut. West Ham yang paling jelek performanya, drop 6 poin dari yang diprediksi. Tabel 1 menggambarkan dengan jelas perbedaan antara prediksi di Februari tersebut dengan hasil aktualnya sekitar 2 bulan kemudian.

Kemudian saya juga meng-update grafik Form Arsenal dan tim saingan Top Four lainnya seperti di bawah ini.

Dari grafik di atas kita bisa melihat bahwa hanya Arsenal dan Spurs yang sekarang berada di zona Top Four dan walaupun form Arsenal sempat menurun, Arsenal adalah tim yang memimpin Top Four Race ini paling lama di antara 4 tim ini, yaitu selama 8 minggu. Dengan poin yang sama, dan sisa pertandingan yang sama disertai dengan klimaks North London Derby, apakah Arsenal bisa akhirnya menutup Top Four Race ini sebagai pemenangnya?

Prediksi Baru

Maka saya pun membuat prediksi baru berdasarkan form keempat tim ini, yang sedikit berbeda dengan prediksi sebelumnya dalam hal perolehan poin tapi sama dalam hal peringkat di klasemen.

Tabel 2 – Prediksi Baru 5-6 Match Sisa

Arsenal harus menang 5 kali dan seri satu kali (lawan Spurs) untuk bisa tetap meraih 73 poin dan saya masih yakin Arsenal bisa melakukan itu. Sementara untuk Spurs sendiri saya prediksi akan kalah dengan Liverpool, seri dengan Arsenal dan menang sisanya. Spurs diuntungkan dengan match melawan Burnley dan Norwich yang notabene calon degradasi musim ini namun sedikit dirugikan dengan match melawan Liverpool sebelum NLD. Sementara itu MU dan West Ham akan drop poin semakin banyak karena form mereka belakangan ini yang sangat buruk. Secara total, dari prediksi awal saya, perbedaannya ada pada MU -5 poin, Spurs +3 poin dan West Ham -7 poin.

Kunci untuk Arsenal menyapu bersih sisa 6 pertandingan ada pada kemenangan melawan Chelsea kemarin. Arteta menemukan tim terbaiknya pasca cedera Tierney dan Partey. Nketiah dipasang di depan sebagai striker utama dalam dua pertandingan terakhir dan hal ini membuahkan hasil dengan dua golnya melawan Chelsea. Sementara itu Nuno Tavares dipercaya kembali di posisi LB, sementara untuk membantunya dalam bertahan (yang masih menjadi kelemahan Nuno), Arteta memilih duet Elneny dan Xhaka di tengah daripada percobaan menggunakan Sambi Lokonga yang belum berhasil.

Di luar perubahan di atas, kembalinya Tomiyasu (mudah-mudahan di bench malam ini lawan MU) bisa membantu boost moral dan penampilan tim muda ini. Kembalinya Tomiyasu memungkinkan Arteta kembali ke formasi 4-2-3-1 dengan Tomiyasu tuck in sebagai inverted RB sementara Nuno diberikan kebebasan untuk membantu serangan Arsenal. Form Saka dan ESR yang juga kembali saat melawan Chelsea menjadi booster lain yang diperlukan tim ini.

Saya memang memprediksi hasil seri di NLD, namun hati kecil saya merasa Arsenal bisa sapu bersih keenam pertandingan sisa jika kita menang melawan MU malam ini. Tim yang baru saja mengumumkan manager barunya musim depan, akan kehilangan beberapa pemain di akhir musim ini, sedang dihantam badai cedera, akan menghadapi tim yang sedang kembali percaya dirinya. Mari gunakan momentum ini tanpa ragu.

Let’s finish Manchester United tonight and start our winning streak until the end of the season. Chant ini adalah lagu wajib untuk malam ini.

We’ve got Super Mik Arteta, he knows exactly what we need, Kieran at the back, Gabi in attack, Arsenal on the way to Champions League!

Up The Arsenal!

Shrinking to Grow

Rebuilding Arsenal Part 3

Bila di artikel pertama mengenai Rebuilding Arsenal ini saya menuliskan tentang rangkuman strategi transfer Arsenal yang menjadi bagian pertama dari strategi rebuilding tim dengan merekrut dan mengembangkan pemain muda berusia di bawah 23 tahun dengan target panen jangka menengah dan jangka panjang, dan artikel kedua adalah mengenai kemungkinan besar Arsenal finish di top four musim ini, maka tulisan ini adalah tentang bagian ketiga dari strategi tersebut, mengenai formula rahasia dari progress Rebuilding Arsenal sejauh ini, yaitu Shrinking to Grow. Tulisan ini akan agak panjang, so bear with me...

Sometimes you have to shrink to grow. Just as losing fat while building muscle is the key to attaining peak physical fitness, companies need to shed underperforming brands while focusing on more promising ones.

David Harding and Charles Tillen

Strategi “shrink to grow” telah menjadi mantra yang umum di dunia bisnis. Menutup unit bisnis, anak perusahaan yang tidak menghasilkan pendapatan, menjual aset, mengurangi jumlah karyawan dengan tujuan agar kembali profitable adalah aksi yang beresiko, namun memungkinkan perusahaan untuk fokus ulang dan kemudian akselerasi pertumbuhan pendapatan setelahnya. Pendek kata, buang lemak sehingga yang tersisa hanya otot, dan bangun otot itu maka tubuh yang baru ini akan lebih sehat, bisa lari lebih cepat, angkat beban lebih berat.

Saya sendiri pernah menjadi karyawan yang merasakan strategi ini. Perusahaan kami adalah bagian dari grup holding yang cukup besar di Eropa. Sebelum pandemi, beberapa anak perusahaan yang beroperasi di beberapa negara sudah mengalami kerugian terus-menerus. Akibatnya profit yang dihasilkan dari beberapa anak perusahaan tergerus sehingga sebagai sebuah grup, perusahaan ini malah mengalami kerugian. Pandemi mengakselerasi keputusan perusahaan untuk kemudian melepas beberapa anak perusahaannya yang tidak perform, entah dengan dijual atau ditutup. Tentunya hal ini akan berdampak pada sejumlah karyawan yang harus dilepas juga, dan kompensasinya dibayarkan. Keputusan yang tidak mudah. Namun dalam 2 tahun kemudian grup perusahaan tersebut mulai menunjukkan sinyal “kembali sehat” dan laporan keuangannya mulai menunjukkan trend kembali ke “profitable”.

The Fall and Rise of SONY

Hal serupa juga dialami Sony. Siapa yang tidak kenal dengan pencipta Walkman yang terkenal di tahun 80-90-an sebelum kemudian ditaklukkan oleh iPod dan kemudian oleh smartphone. Di era tersebut kita mengenal Sony sebagai perusahaan elektronik besar dengan produk-produk terbaik. Dari televisi Trinitron, video recorder Betacam, CD player, sampai launching PlayStation di tahun 1994. Kemudian di pertengahan 90-an sampai awal 2000-an itu Sony ekspansi ke digital camera dengan produk Cybershot-nya, personal computer dengan VAIO, telekomunikasi dengan Sony Ericsson (handphone pertama saya), bahkan anime dengan Aniplex-nya. Ini melanjuti ekspansi mereka di awal 90-an ke dunia film dengan membeli Columbia Pictures dan di dunia musik dengan Sony Music-nya. Dengan ekspansi bisnis mereka, Sony menjadi grup besar dengan cakupan kelompok unit bisnis Electronics, Game, Pictures, Financial Services, dan Music. Namun unit-unit bisnis ini tidak terkoneksi satu sama lain, memiliki manajemen dan CEO-nya masing-masing.

Tahun 2009, untuk pertama kalinya setelah 14 tahun, Sony mencatatkan kerugian dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Berbagai faktor menjadi penyebab kerugian ini selain resesi ekonomi di tahun 2008: produk elektroniknya yang kehilangan pangsa pasar, TV Sony yang kalah harga dan pemasarannya dengan TV Samsung, demikian juga nasib mobile phone dan music player-nya yang ditaklukkan oleh iPhone dan iPod. PlayStation 3 adalah bisnis yang tidak menghasilkan profit karena harga produksi yang terlalu tinggi, dan untuk pertama kalinya console Sony tidak mendominasi pasar gaming (nomor 3 di bawah Nintendo Wii dan Xbox-360). Penjualan produk elektroniknya mengalami penurunan paling signifikan, dari kamera digital Cybershot, Handycam, sampai pada PC dan laptop VAIO. Sony yang dulunya adalah rajanya elektronik, produknya mulai ditinggalkan konsumer di pasaran, yang mulai mengadopsi produk-produk baru yang lebih murah dan lebih baik dari rivalnya (terdengar seperti Arsenal pasca Invincibles?).

Kerugian Sony tersebut berlangsung selama 4 tahun, lanjut ke 2010, 2011 dan 2012. Kemudian di tahun 2012 Sony mengganti CEO mereka dari Howard Stringer ke Kazuo Hirai (Kaz) yang sebelumnya menjabat sebagai CEO Sony Computer Entertainment Inc., yang mengurus bisnis console gaming Sony, PlayStation. Ia sukses membalikkan kondisi di PlayStation dari unit bisnis yang sangat terpuruk akibat blunder PS3 menjadi kembali profitable. Sebagai CEO Sony, Kaz kemudian bertindak tegas untuk mengembalikan buku Sony dari merah ke hitam dengan menjual aset Sony yang tidak menghasilkan profit, termasuk gedung headquarters mereka di US yang mereka banggakan. Kaz berkesimpulan bahwa untuk transformasi bisnis dan memposisikan Sony untuk pertumbuhan di masa depan, mereka harus bekerja sebagai “One Sony”, yang artinya kolaborasi, sharing aset, teknologi, konten dan pengetahuan di seluruh unit bisnis di dalam grup. Dengan demikian mereka bisa meningkatkan competitive advantage mereka. Hanya dalam setahun, berkat penjualan aset-aset Sony, laporan keuangan mereka yang diterbitkan di tahun 2013 untuk Fiscal Year (FY) 2012 menunjukkan keuntungan, untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir.

Sony operating income dari 2011 hingga 2020

Tentunya semua strategi perlu waktu dalam implementasinya sebelum mencapai sukses besar. Di tahun-tahun berikutnya, Sony kembali berkutat dengan masalah profitabilitas, sebagaimana grafik di atas yang menunjukkan profit minim di FY 2013 dan 2014. Kaz terus melakukan divestasi bisnis yang tidak profitable, re-grouping unit bisnis dalam kelompok yang sama dan fokus investasi di bisnis yang menjadi kekuatan Sony saat itu seperti imaging sensor dan PlayStation. VAIO, merk PC dan laptop mereka yang prestisius akhirnya dijual karena terus-menerus “berdarah-darah”. Pabrik pembuatan smartphone mereka dikurangi dan smartphone Xperia difokuskan ke market higher end. Televisi Sony di-rebranding dengan fokus pada merk Bravia, dengan harga yang lebih kompetitif dan segmentasi pasar yang lebih jelas. Di bidang Music dan Pictures, Sony lebih selektif namun juga agresif dalam mengembangkan bisnis mereka. Lalu sesama bisnis unit internal mereka mulai berkolaborasi. Teknologi Bravia dipakai di Xperia salah satu contohnya. Demikian juga eksploitasi teknologi imaging sensor dan sound mereka di Sony Pictures maupun Sony Music.

Sejak FY 2015, Sony kembali menjadi perusahaan yang profitable, dan kali ini tidak lewat penjualan aset lagi. PlayStation 4 sukses besar, menjadi console nomor satu di dunia, bisnis elektronik mereka kembali menguntungkan. Bravia TV mampu bersaing dengan Samsung, LG TV dan kembali menjadi brand nomor satu di televisi LCD maupun OLED. Image Sensor Sony dipakai di iPhone dan hampir semua smartphone Android premium. Kameranya juga menjadi raja di segmen mirrorles camera (Sony pionir untuk produk ini, mendahului Nikon dan Canon). Dan sejak FY 2017, Sony Pictures dan Sony Music juga memberikan kontribusi fantastis. Sekarang Sony Music adalah publisher musik terbesar di dunia dan demikian juga dengan Sony Pictures yang pendapatannya nomor satu di dunia dalam 2 tahun terakhir ini berkat film Spider-Man, Venom, dan lain-lain mengalahkan studio film besar lainnya.

Empat tahun terakhir ini, Sony mengalami masa kejayaan yang luar biasa, dengan pendapatan dan profit terbesar sepanjang sejarah Sony. Penyumbang terbesar profit dan pendapatan tetap adalah dari Gaming (PlayStation), unit bisnis yang dahulu diselamatkan dan dibesarkan oleh CEO-nya. Kaz Hirai kemudian pensiun di tahun 2019 dengan ukiran tinta emas, ia yakin penerusnya mampu mempertahankan dan terus mengembangkan bisnis Sony. Terakhir, Sony sekarang masuk ke bisnis mobil, memanfaatkan teknologi imaging sensor-nya, mereka akan launching mobil listrik Vision-S. Sungguh sebuah turnaround luar biasa yang menjadi inspirasi di dunia bisnis. Di sini kita saksikan pentingnya peranan seorang pemimpin yang visioner. One Sony tetap menjadi slogan mereka hingga saat ini, di samping Kando (the power of emotional connection) yang juga dipopulerkan oleh Kaz. Strategi Shrinking to Grow Sony berhasil membalikkan keadaan finansial mereka, menjadikan mereka pemimpin di market dengan tetap membangun potensi untuk grow.

Membedah Laporan Keuangan Arsenal

Nah sama dengan apa yang terjadi dengan Sony di tahun 2008-2012, Arsenal semenjak tidak masuk di kompetisi Champions League (2017 sampai sekarang), terus menderita kerugian akibat pendapatan yang menurun sementara biaya klub malah makin membengkak. Biaya bertambah karena pembelian pemain baru yang kemudian diberikan upah tinggi dan perpanjangan kontrak pemain bintang yang juga meminta upah fenomenal (Ozil dan Auba). Mari kita periksa dulu angka-angka finansial yang ditampilkan dengan cantik oleh @SwissRamble.

Arsenal Revenue 2012 – 2021 (click to zoom in)

Angka Tahun di atas mengacu pada tahun di akhir musim, jadi 2021 artinya musim 2020-2021 (musim kemarin). Kita bisa melihat dari grafik di atas bahwa pendapatan Arsenal menurun semenjak tahun 2018 di mana Arsenal tidak lagi bermain di Champions League. Pendapatan Arsenal selama 4 tahun terakhir ini bahkan tidak menyentuh angka 400 juta pounds lagi (mulai saat ini kita menggunakan mata uang poundsterling). Dan dua tahun terakhir ini faktor pandemi membuat Arsenal tidak mendapatkan pemasukan dari tiket di stadion terutama musim kemarin. Musim ini (2021/2022) pendapatan ini akan kembali karena satu musim penuh ada penonton di lapangan. Kita juga bisa melihat bagaimana Europe TV Revenue turun signifikan sejak tidak bermain di Champions League. Musim ini pendapatan ini bahkan akan menjadi nihil. Broadcasting Revenue di musim 2021 naik dibandingkan 2020 ini karena musim 2020 yang menjadi lebih panjang (sampai akhir Juli) sehingga sebagian pembayaran jatuh ke tahun fiskal 2021. Bagaimana kalau kita bandingkan dengan pendapatan klub-klub lain di Premier League di tahun 2021?

Kalau melihat grafik di atas, Anda mungkin melihat suramnya nasib Arsenal, pendapatan masih kalah dengan tetangga dan hanya berada di urutan keenam tertinggi. Sama-sama kena dampak Covid, namun City, United dan Liverpool masih bisa memiliki pendapatan mendekati atau bahkan di atas 500 juta. Hal ini karena broadcasting revenue yang tinggi karena bermain di Champions League dan hadiah finish urutan di atas di PL (selisih 80-100 juta dengan Arsenal) dan juga karena commercial revenue mereka yang lebih tinggi (juga dampak karena bermain di Champions League, lebih banyak sponsor). Daripada melihat ini sebagai hal yang suram, saya justru melihat ini sebagai kesempatan. Artinya Arsenal punya ruang untuk membesarkan pendapatan hingga di level 500 juta per musim. Luar biasa bila bisa direalisasikan.

Bagaimana dengan Biaya Arsenal? Seperti kita ketahui Laba/Rugi ditentukan dengan rumus sederhana Pendapatan dikurangi Biaya. Problem Arsenal adalah Pendapatan yang turun malah didampingi oleh Biaya yang naik. Demi kembali ke UCL dengan cepat, Arsenal membeli pemain-pemain bintang di musim 2017/2018 yaitu Lacazette dan Aubameyang, memberi kontrak baru kepada Ozil. Arsenal gagal lolos ke UCL, Wenger dilengserkan. Tahun berikutnya masih dengan misi yang sama, namun kali ini dengan head coach baru, Unai Emery, tim rekrutmen Arsenal Sven Mislintat dan Raul Sanllehi belanja 5 pemain baru yang tentunya makin membengkakkan biaya upah. Nyaris lolos ke UCL di minggu-minggu terakhir membuat manajemen Arsenal makin penasaran sehingga musim kedua Emery juga sama, dibeli pemain bahkan dengan transfer fantastis dalam bentuk seorang Pepe yang dibanderol 72 juta pounds. Di musim 2020/2021, Emery sudah berganti Arteta, Arsenal hanya menambah Thomas Partey dan Gabriel, namun karena gagal membuang banyak pemain di musim ini, biaya upah Arsenal membengkak hingga ke level 238 juta. Persentase biaya upah terhadap pendapatan Arsenal pun meningkat dari yang level sehat sekitar 60% ke 73% di musim lalu.

Selain upah, komponen biaya lainnya adalah pengeluaran lain-lain (other expenses) bisa berupa pengeluaran untuk logistik, biaya perawatan gedung, biaya operasional, intinya semua yang di luar biaya upah. Setelah itu ada non cash flow expenses berupa amortisasi pemain dan depresiasi (fisik gedung). Dari grafik di bawah ini kita bisa melihat bahwa Other Expenses menurun karena pertandingan di stadion diselenggarakan tanpa penonton, dan biaya amortisasi pemain yang terus naik. Apa itu biaya amortisasi?

Saya pernah bahas di tulisan sebelumnya bahwa prinsipnya amortisasi adalah depresiasi nilai seorang pemain seiring dengan berjalannya kontrak si pemain. Misal kita membeli Pepe 72 juta dengan kontrak 5 tahun. Maka biaya amortisasinya per tahun adalah sebesar 14.4 juta. Jadi angka 117 juta di grafik kanan atas tersebut mengandung 14.4 juta dari Pepe. Ketika pemain tersebut dijual, maka biaya amortisasinya akan di-balance dengan harga jualnya, selisih yang tersisa dimasukkan dalam Profit on Player Sales. Kita bisa melihat biaya amortisasi pemain semakin meninggi sejak 2018. Ini disebabkan Arsenal semakin banyak membeli pemain dengan harga transfer yang tinggi.

Arsenal Cost 2012 – 2021 (click to zoom in)

Ada satu grafik di sebelah kanan bawah yang mungkin mengundang pertanyaan, kenapa interest payable Arsenal meningkat signifikan menjadi 40 juta dari yang sebelumnya 14 juta? Hal ini adalah karena penalti untuk pembayaran utang stadion lebih cepat. KSE meminjamkan Arsenal uang sebesar 202 juta untuk membayar lunas utang stadion, kemudian utang ke parent company Arsenal ini bisa dilunasi kapan-kapan dan dengan bunga yang kecil. Untuk tahun depan, interest payable ini akan menjadi jauh lebih rendah. Dengan Pendapatan dan Biaya di atas, maka di bawah ini adalah Grafik Laba/Rugi Arsenal.

Arsenal Profit/Loss 2012 – 2021 (click to zoom in)

Mungkin Anda sekarang bingung, banyak sekali grafik Laba/Rugi-nya, pakai yang mana? Mudahnya begini:

  1. EBITDA = Revenue – Expenses (Upah + Other Expenses).
  2. Operating Profit = EBITDA – Exceptional Items – Biaya Amortisasi Pemain – Depresiasi
  3. Profit/Loss before Tax = Operating Profit + Profit on Player Sales – Interest Payable
  4. Profit/Loss after Tax = Profit/Loss before Tax + Tax credit (or minus Tax charge)

Kita melihat di tahun 2018 Arsenal mendapatkan Profit on Player Sales yang sangat tinggi sehingga Operating Loss bisa ditutupi dan menghasilkan Profit di akhirnya. Di musim itu Arsenal menjual Ox, Walcott, Giroud, Szczesny, Coquelin, Paulista, Gibbs dan swap Sanchez dengan Mkhitaryan. Dikarenakan sebagian besar pemain-pemain tersebut dibeli dengan harga murah dan sudah bermain lebih lama dari kontrak pertamanya, sehingga biaya amortisasinya bisa dikatakan nol, maka semua angka penjualannya akan dianggap sebagai profit (ingat Profit Player Sales = Sales dikurangi sisa amortisasi). Namun di tahun yang sama kita bisa melihat Arsenal mengalami Operating Loss (grafik kuning) tanpa memperhitungkan player sales tersebut karena pendapatan yang sudah menurun akibat hanya berpartisipasi di UEL.

Jika kita hanya mengambil angka 2 tahun terakhir, maka laporan Laba/Rugi Arsenal secara lengkapnya adalah sebagai berikut:

Arsenal Profit/Loss Account 2020 & 2021

Room to Grow

Kerugian signifikan selama 3 musim terakhir (total 182 juta) menyisakan cash yang hanya tersisa 18.8 juta dari yang sebelumnya 110 juta (akibat kerugian tahun 2021), Arsenal jelas berada di ambang kebangkrutan. Namun di awal musim ini kita belanja untuk transfer senilai 150 juta. Bagaimana mungkin? Ini karena KSE sebagai pemilik Arsenal menyediakan dana talangan dan Arsenal yakin bahwa dengan kembalinya penonton ke stadion musim ini dan cost saving yang dilakukan di musim ini, angka di laporan Laba/Rugi musim ini bisa kembali hitam atau paling tidak mendekati. Kita akan ulas di bawah ini bagaimana caranya.

Pertanyaan jangka panjangnya adalah bagaimana manajemen Arsenal dapat melakukan turn around ala Sony? Untuk Arsenal kembali menjadi klub yang profitable sehingga dapat membayar utang stadion (ke KSE) dan invest lebih banyak di aset fisik maupun skuad. Menumbuhkan pendapatan klub untuk mengejar ketertinggalan dari rival-rivalnya di Inggris. Hal termudah tentunya adalah dengan lolos ke Champions League sesegera mungkin. Pendapatan dari UCL bisa sekitar 80-100 juta semusim, sedangkan UEL sekitar 15-30 juta semusim. Namun seperti kata Per Mertesacker, Arsenal seperti mendapatkan tamparan keras ketika upaya untuk buru-buru kembali ke Champions League itu (dengan merekrut pemain bintang) gagal dalam 4 musim terakhir ini. Strateginya perlu diubah.

Mulai dari pertengahan musim lalu sebenarnya strategi Arsenal yang berbeda sudah dimulai. Seperti yang dilakukan Sony, Arsenal berpikir aset mana yang bisa dilepas? Aset yang membebankan dan tidak memberikan nilai tambah. Arsenal mengadopsi strategi shrinking to grow daripada adding to grow yang diterapkan 3 musim lalu. Perginya Raul (baca: dipecat) di awal musim lalu memudahkan hal itu. Vinai, Edu dan Arteta di bawah supervisi Tim Lewis meracik resep baru. Pertama, mereka mengidentifikasikan pemain (aset) yang bisa dilepas untuk mengurangi beban upah. Muncullah nama-nama seperti Ozil, Kolasinac, Sokratis, Mustafi, Mkhitaryan, Torreira, Guendouzi, Mavropanos. Namun karena masa pandemi dan sulitnya mencari klub yang berminat untuk membayar upah tinggi pemain-pemain tersebut, hanya Mkhitaryan yang berhasil dilepas free, sedangkan Torreira, Guendouzi dan Mavropanos yang ingin dijual hanya dapat loan ke klub lain. Empat pemain lainnya tetap tinggal di klub. Arsenal tidak putus asa, di musim dingin 2020/2021 tersebut, Ozil, Sokratis dan Mustafi dilepas gratis sedangkan Kolasinac dipinjamkan. Sayangnya karena upah Ozil demikian tinggi, Arsenal kabarnya masih harus membayar 90% upahnya hingga habis sisa kontraknya. Total saving upah pemain di musim itu kurang lebih sebesar 27 juta, angka yang cukup signifikan untuk menjaga biaya upah pemain Arsenal mengingat di musim tersebut Arsenal juga mendatangkan pemain baru yaitu Gabriel, Partey dan Willian.

Di awal musim ini, Arsenal lebih agresif lagi dalam strategi lepas asetnya. Willian bersedia dilepas gratis setelah dilobi Edu (puji syukur – alhamdulillah), David Luiz tidak ditawarkan kontrak baru. Willock dijual dan Bellerin, Saliba, Nelson, Torreira, Guendouzi, Runarsson dipinjamkan ke klub lain. Di musim dingin AMN dan Mari dipinjamkan, Chambers, Kolasinac dan Aubameyang dilepas gratis (kasus Auba dengan kompensasi sekitar 5 juta). Aksi agresif ini beserta dengan telah lepasnya Ozil, Sokratis dan Mustafi musim lalu dalam kalkulasi saya berhasil menghemat biaya klub sebesar 51 juta dari biaya upah musim lalu yang sebesar 237.7 juta (sesuai laporan keuangan 2021). Tentunya Arsenal juga mendatangkan 6 pemain baru dengan total upah sekitar 21 juta. Maka biaya net upah yang dapat dikurangi di musim ini dari musim lalu adalah sebesar 30 juta. Kita akan melihat di laporan keuangan 2021/2022 biaya upah Arsenal di kisaran 205-210 juta. Angka yang sangat sehat jika pendapatan Arsenal naik ke kisaran 360-380 juta musim ini (karena tiket stadion). Selain itu, dengan perginya Aubameyang, Kolasinac dan Chambers secara permanen, biaya upah di musim depan akan berkurang otomatis sekitar 18 juta dari musim ini, menyisakan ruang untuk pemain-pemain baru di musim depan.

Tidak hanya dari besaran upah pemain, Arsenal juga mengurangi headcount pemainnya. Dari total 27 pemain first team di awal musim dikurangi menjadi hanya 21 pemain setelah bursa transfer musim dingin. Dengan pemain yang lebih sedikit, Arteta akan lebih mudah menjaga tim agar tetap lebih solid apalagi hanya bermain di Premier League. Pemantauan individual setiap pemain akan lebih mudah dan setiap pemain akan mendapatkan perhatian yang lebih banyak dengan sendirinya. Baik dari sisi biaya maupun jumlah, Arsenal berhasil shrinking the team dalam tiga transfer window. Arsenal yang langsing dan ringan daripada yang gemuk dan berat. Sekarang tinggal masalah build up muscle-nya.

Selain pemain, staff juga dipangkas oleh Edu dan Vinai. Scouting tim yang dipimpin oleh Francis Cagigao yang meneruskan network yang sebelumnya dibangun oleh Steve Rowley dirombak total oleh Edu. Arsenal melepas hampir semua scout lama, kemudian perlahan-lahan membangun networking scout yang baru dengan basis regional, scout generasi baru yang akan dikombinasikan dengan data dan video analisis. Sebelumnya scouting tim Arsenal dan data tim Arsenal (StatDNA) seperti berjalan masing-masing. Hasil sementara perombakan ini sudah terlihat dengan 6 pemain baru musim ini yang semuanya bisa dikatakan sebagai pembelian yang bagus. Kata kuncinya adalah efisiensi dan kolaborasi (mirip dengan kasus Sony kan?). Kembali lagi ke strategi shrinking to grow.

Mari kita kalkulasi sekarang dampak dari strategi shrinking to grow di musim ini. Saya tuliskan angka dalam juta pounds di bawah ini estimasi posisi keuangan Arsenal di tahun 2022.

  • Pendapatan = 380 (328 – 28 (no Europa League) + 80 (tiket stadion))
  • Upah = 205 (hasil saving upah pemain dan scouting team)
  • Other Expenses = 70 (stadion fungsi kembali + biaya lain2)
  • Amortisasi = 117 + 30 (transfer 150 juta musim ini dibagi 5 tahun) – 12 (amortisasi Mustafi, Sokratis habis) = 135
  • Depreciation = 17
  • Profit on Player Sales = 25 (Willock) + 10 (Guendouzi) + 3.5 (Mavropanos)
  • Net Interest = 10 (pinjaman ringan dari KSE + interest loan baru)
  • P/L before tax = 380 – 205 – 70 -135 – 17 + 38.5 – 10 = -18.5 (dengan tax credit ini akan menjadi sekitar -16 juta)
  • Bila Torreira bisa dijual sebelum akhir musim ke Fiorentina sesuai harga option to buy-nya (15 juta euro), maka bisa dikatakan Arsenal break-even musim ini.

Arsenal hampir kembali ke break-even di akhir musim ini dengan kalkulasi di atas. Kita bisa melihat betapa pentingnya penghematan upah pemain dan profit dari penjualan pemain untuk finansial sebuah klub. Dan yang lebih penting lagi, angka-angka di atas tercapai tanpa Arsenal bermain di kompetisi Eropa. Arsenal sekarang menjadi organisasi yang lebih langsing dan ringan, tidak lagi “European League team with a Champions League budget” sebagaimana yang disebutkan Josh Kroenke beberapa tahun lalu.

Tanpa kompetisi Eropa pun di musim mendatang (worst case scenario) Arsenal bisa survive secara finansial sambil menyediakan ruang pertumbuhan yang sangat besar untuk penambahan personil first team, tergantung dari pencapaian Arsenal musim ini (Champions League atau Europa League). Matematika sederhananya, bila Arsenal lolos ke Champions League, tambahan budget sebesar 80 juta pounds bisa untuk membeli 5 pemain top dengan budget transfer 200 juta pounds dengan upah rata-rata 120K/minggu setiap pemainnya dan Arsenal masih tidak mengalami kerugian. Tentunya budget ini tak perlu langsung dihabiskan di satu bursa transfer. Sedangkan kalau lolos ke Europa League, tambahan budget sebesar 25 juta pounds tentunya hanya cukup untuk membeli maksimal 2 pemain baru yang bagus. Jomplang bukan? Tentu budget ini juga ditentukan oleh penjualan aset yang masih dimiliki Arsenal. Nelson, Bellerin, AMN and The Great Cedric Soares bisalah laku masing-masing 50 juta pounds bukan? 😉

bila Arsenal lolos ke Champions League, tambahan budget sebesar 80 juta pounds bisa untuk membeli 5 pemain top dengan budget transfer 200 juta pounds dengan upah rata-rata 120K/minggu setiap pemainnya dan Arsenal masih tidak mengalami kerugian.

@Jalanarsenal

Josh Kroenke’s Formula

Sebelum Super Bowl 2022 dimulai di mana LA Rams, klub American Football-nya Stan Kroenke berlaga untuk kedua kalinya dalam 4 tahun terakhir ini (bukan hal yang mudah), ada sebuah podcast interview menarik yang mendatangkan Josh Kroenke di US. Josh di masa mudanya adalah pemain basket NCAA, kompetisi basketball tingkat universitas di US. Pemain basket NCAA yang bertalenta kemudian akan di-draft untuk kompetisi NBA ketika mereka lulus kuliah. Karena keterlibatannya tersebut dengan basketball, ia memiliki dua sahabat karib yaitu Richard Jefferson dan Channing Frye yang dua-duanya adalah mantan pemain NBA. Mereka berdua juga hadir dalam podcast ini.

Karena keakraban ketiganya, interview berjalan dengan lancar dan Josh yang katanya lebih pendiam itu menjadi lebih terbuka dalam bercerita tentang masa lalunya, yang disambung dengan Super Bowl, LA Rams dan SoFi Stadium-nya yang megah, upaya ayahnya Stan dalam melawan kritik saat memindahkan The Rams dari St.Louis ke LA, hingga tentang Nikola Jokic (Denver Nuggets) yang menjadi MVP NBA musim lalu. Perlu diketahui Josh terlibat langsung dengan 3 tim yang di bawah franchise KSE yaitu Denver Nuggets (NBA), Colorado Avalanche (NHL) dan Arsenal sedangkan Stan lebih fokus ke LA Rams karena pembangunan stadion baru yang memakan sebagian besar kekayaannya dan juga karena ia tak boleh terlibat langsung dengan klub olahraga lainnya di US akibat aturan baru. Josh kemudian mulai membahas Arsenal di menit ke-48, bisa disimak di video di bawah ini.

Josh Kroenke’s Journey with Arsenal

Ada beberapa hal yang menarik dari cerita Josh tentang Arsenal. Pertama, ia menyadari betapa dalamnya perasaan memiliki fans sepakbola di UK terhadap klub bolanya yang sangat berbeda dengan bagaimana keterikatan warga US dengan tim olahraga di sana. Way deeper adalah istilah yang dipakainya. Sebagaimana yang kita ketahui, bagi supporter sepakbola di UK, memilih satu tim itu lebih-lebih daripada memilih istri/suami, satu pilihan untuk seumur hidup dan mereka ga akan berubah. Dan lebih-lebih daripada agama, seorang supporter akan juga “memaksakan” anaknya untuk memilih klub yang sama untuk didukungnya seumur hidup. Sepakbola menjadi bagian besar dari identitas diri. Josh merasakan itu selama ia berada di London, terutama tepat sebelum era pandemi dimulai.

Kemudian ia mengangkat nama Mikel Arteta secara khusus.

Mikel knows the culture that we want to have (as our ex player under The Great Arsene Wenger). He was the assistant manager of Pep Guardiola so Mikel has a very good idea of what elite coaching and culture looks like. But trying to implement it on the fly and getting the rug kind of pulled out from under you with Covid has been challenging.

Ketika Arsenal sedang mengalami transisi pasca Wenger, membuat struktur baru untuk menggantikannya yang memegang segala-galanya sudah merupakan tantangan. Ditambah lagi dengan kasus Covid, yang kemudian menciptakan masalah baru, hilangnya hampir sepertiga pendapatan. Bila di Amerika pendapatan dari sebuah kompetisi akan dibagi merata ke semua klub dan ada sistem yang dikenal sebagai pain/gain sharing sehingga ketika pandemi berdampak pada turunnya pendapatan, otomatis gaji pemain juga akan diturunkan. Demikian juga sebaliknya saat ada kenaikan pendapatan. Hal ini tidak ada di sepakbola Eropa. Mendengar Josh bicara soal ini, saya menduga kebijakan pay cut gaji pemain 12.5% di pertengahan musim 2019/2020 adalah ide darinya dan kita tahu Arteta menjadi pionir dalam menjalankan kebijakan itu kepada pemain-pemain Arsenal (yang kemudian memicu konfliknya dengan Ozil).

Klub-klub olahraga di US baik di NBA, NFL ataupun NHL semua menggunakan sistem salary cap, trade quota dan draft pick dalam kebijakan perekrutan pemain. Jadi setiap tim mendapatkan urutan draft pick untuk mengambil talenta baru yang terbaik yang tersedia di setiap awal musim. Nah urutan draft pick itu juga dapat ditukar dengan jatah trade pemain bintang misalnya. Umumnya draft pick digunakan jika sebuah klub butuh pemain muda dengan ceiling yang tinggi yang bisa mereka kembangkan untuk menuai hasil beberapa tahun kemudian. Sementara klub lainnya mungkin sedang membutuhkan pemain bintang saat ini juga dan bersedia melepas draft pick tersebut. Kebiasaan mem-balance antara pemain muda dan pemain bintang inilah yang menjadi formula KSE dalam menjalankan tim-tim olahraganya. Akhir-akhir ini mereka juga menggunakan formula baru di franchise-nya: mempercayakan pada pelatih muda (Sean McVay pelatih LA Rams direkrut saat ia berusia 30 tahun), membangun culture elite team, dan bergerak cerdas dalam strategi pembangunan tim dengan kombinasi draft pick dan trade, tentunya tanpa melebihi budget yang diizinkan. Saat ini franchise KSE rata-rata berprestasi sangat baik, entah memimpin klasemen (Colorado Rapids dan Avalanche) atau masuk ke playoff seperti Nuggets dan Rams.

Tahu kapan harus mendatangkan dan membuang pemain bintang, kapan harus membina pemain muda ini jugalah yang diterapkan di Arsenal secara efisien di musim ini. Formula KSE dipakai tanpa ragu. Sebanyak 6 pemain baru yang didatangkan Arsenal musim ini semua berusia tidak lebih dari 23 tahun (sebuah hal yang jarang terjadi di PL), sebuah strategi yang meletakkan keyakinan pada kemampuan membangun tim dengan pemain muda bertalenta sebagai porosnya. Arsenal juga tidak ragu untuk spend big money ketika mereka berupaya mendapatkan Vlahovic winter kemarin. Arsenal juga tidak ragu ketika harus melepas Ozil dan Auba karena dirasakan waktu keduanya sudah lewat. Keputusan-keputusan besar ini tentunya diambil bersama dan direstui oleh Josh. Tanpa dukungan owner, tidak ada manager yang berani “menyia-nyiakan” pemain bintang bergaji tertinggi di klub. Kalau melihat cara ia bercerita tentang Nikola Jokic, bagaimana perkembangannya dari pemain yang tidak dilirik di draft pick sampai menjadi MVP NBA, Josh tampaknya adalah tipe owner yang terlibat cukup dalam di klubnya sendiri sampai level memahami pemainnya. Saya yakin Auba yang diisolasikan oleh Arteta dengan tegas sejak kasus disiplinnya itu tentunya juga merupakan hasil konsultasinya dengan Josh.

Unity antara pemilik, Board of Directors, manajemen dan pemain adalah tema yang diusung Arteta musim ini. Terakhir adalah koneksi antara pemain dengan supporter di lapangan. Unity dan Trust The Process menjadi slogan Arsenal dan hal itu penting. Ketika arah sebuah organisasi itu off-track karena satu dan lain hal, slogan misi tersebut akan mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar. Saat Gabriel membuat blunder misalnya, Unity akan mengingatkan pemain-pemain lainnya untuk tidak menyalahkannya dan sebaliknya berusaha keras bersama untuk membalikkan keadaan. Saat Arsenal terpleset dengan kalah di kompetisi Cup domestik misalnya, Trust The Process mengingatkan fans dan pemain untuk lebih melihat big pictures daripada hasil saat itu yang mengecewakan. Melihat progress tim yang nyata telah terjadi dan tidak terlalu memusingkan tersandung batu satu-dua kali dalam perjalanan ini.

Unity dan Trust The Process menjadi slogan Arsenal dan hal itu penting. Ketika arah sebuah organisasi itu off-track karena satu dan lain hal, slogan misi tersebut akan mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar.

@Jalanarsenal

Ahead of Schedule

Dalam artikel pertama serial Rebuilding Arsenal ini, saya menulis tentang bagaimana Arsenal sengaja tidak menyebutkan target musim ini. Belajar dari musim-musim sebelumnya dan karena adopsi strategi shrinking to grow ini, sulit untuk memastikan berapa tahun yang dibutuhkan untuk menuai hasil. Sementara itu tekanan eksternal terhadap tim muda ini karena target yang tinggi tidaklah membantu. Namun dalam hati, saya yakin Arsenal memasang target minimal kembali ke Europa League (peringkat ke-6). Sekarang, tim ini bisa dikatakan ahead of schedule, memimpin persaingan untuk kembali ke Champions League langsung musim depan tanpa lewat jalur Europa League. Keyakinan tim ini dan Arteta semakin jelas bila kita membaca dan menonton wawancara pemain dan Arteta. Target top four sekarang tidak malu-malu lagi diutarakan. Mereka semua bisa merasakan dan melihat target ini sangat nyata saat ini.

Bila Arsenal bisa kembali ke Champions League musim depan, maka potensi grow tim ini sangat besar. Selain garansi pendapatan tambahan senilai 80 juta per musim, Arsenal juga memiliki biaya upah yang jauh lebih kecil daripada tim-tim Champions League sekarang. Lihatlah Grafik di bawah ini.

Dari segi upah, Arsenal masih 100 juta lebih rendah dari klub-klub besar lainnya yang merupakan langganan UCL. Selain itu upah pemain Arsenal tidak akan meningkat drastis dalam tahun-tahun ke depan karena pemainnya masih muda-muda dan dikontrak 5 tahun. Kenaikan gaji untuk pemain baru hanya akan terjadi setelah 3 tahun, saat sisa kontraknya 2 tahun. Menambah 5 pemain baru dengan rata-rata gaji 120K/tahun hanya akan menambah biaya upah Arsenal sebesar 31 juta saja. Dan 5 pemain baru itu bukan jumlah yang sedikit, hampir separuh dari starting line-ups. Bila pendapatan Arsenal bisa mendekati Liverpool dan Chelsea (500-an juta) lewat partisipasi di Champions League dan peningkatan pendapatan komersial, sedangkan biaya upah jauh lebih rendah, maka ruang yang tersisa antara pendapatan dan biaya itu dapat digunakan untuk amortisasi pemain alias transfer pemain baru. Ingat, rumusnya adalah budget transfer = nilai amortisasi per tahun dikali 5 (tahun). Jadi kalau ada ruang amortisasi sebesar 40 juta, sama dengan budget transfer 200 juta.

Namun Arsenal harus disiplin dalam penerapan strategi shrinking to grow ini. Serta merta melupakan prinsip dari strategi ini dan kemudian mengejar Haaland misalnya yang meminta gaji 30 juta per musim dan komisi agent yang gila-gilaan adalah strategi bunuh diri. Demikian juga misalnya Mbappe yang dapat dihadirkan dengan free transfer namun minta gaji 50 juta per musim. Kekuatan shrinking to grow ini ada pada efisiensi budgeting dan kolaborasi yang saling melengkapi, bukan pada fokus ke satu bintang. Pemain bintang bila sampai cedera panjang saja atau turun performanya (seperti Auba) maka uang puluhan juta going down the drain di musim itu juga. Value for money-nya tidak seimbang selain untuk gengsi-gengsian ala Real Madrid dan PSG.

Lebih menarik adalah membangun value dari pemain muda yang dimiliki Arsenal. Bukayo Saka misalnya. Ia sangat berpotensial untuk menjadi pemain pertama Arsenal yang menembus market value 100 juta pounds walaupun tidak untuk dijual. Martinelli adalah pemain lainnya. Emile Smith Rowe, Odegaard, Lokonga, Tomiyasu dan bahkan Tavares adalah pemain-pemain yang berpotensi memiliki market value di atas 50 juta dalam beberapa tahun mendatang. Ben White sudah terlihat jauh lebih berharga daripada Varane dan Ramsdale sudah berharga dua kali lipat dari harga belinya, apalagi saat ia menjadi kiper timnas nomor satu Inggris di Piala Dunia nanti.

Arteta baru saja berujar di wawancara terbarunya, “Every window has to be a way and form for us to take the club to the next level.” Setelah shrinking, kini saatnya Arsenal untuk grow, namun dengan konsistensi strategi yang sama yaitu efisiensi dan kolaborasi.

Up The Arsenal!