Memahami Artetaball

Tulisan singkat ini akan membahas foto yang satu ini dan sedikit soal Artetaball.

Atas: Gol ketiga Arsenal vs Fulham (Premier League 20/21, Bawah: Gol pertama Arsenal vs Liverpool (Community Shield 2020)

Tidak heran bila salah satu kelebihan Arteta sebagai pelatih sepakbola modern yang mengidolakan Marcelo Bielsa dan mendapatkan bimbingan langsung dari Guardiola adalah penguasaan taktik sepakbola yang dikenal dengan Positional Play (Juego de Posición).

Apa itu Positional Play? Mengutip dari Breakingthelines.com:

Positional Play is a style of play where the football pitch is divided into zones and each player is assigned to a zone. Each zone has a different role which means that each player has a different task to execute. If a player moves into another zone, a teammate has to take his place, which is what we call rotations.

The goal of Juego de Posición is that the zones and the tasks within them can be occupied and used by different players. Styles of play in football are like languages, and positional play, more than any other style of play, must be spoken in the same way by every player on the pitch.

Di artikel yang lain lagi, Positional Play bisa digambarkan dengan pola gerakan dan aksi yang dilakukan secara kolektif baik saat menyerang maupun bertahan, dengan tujuan menciptakan superioritas di lapangan dan kemudian mengeksploitasinya. Bagaimana sebuah tim bisa menguasai ruang yang menghasilkan superioritas di lapangan.

Untuk bisa mencapai superioritas di lapangan itu, semua pemain harus bergerak walaupun sedang tidak memegang bola. Off-the-ball movement menjadi sangat penting. Setiap gerakan akan membantu temannya yang sedang membawa bola ataupun yang akan menerima operan bola. Entah itu sebagai decoy untuk menjauhkan marking lawan, stretching formasi lawan untuk memberikan ruang kepada pembawa bola, positional play menciptakan “ruang” dan dengan sendirinya “waktu” bagi pembawa bola ataupun yang akan menerima bola.

Positional Play ini perlu dilatih sehingga para pemain dalam tim bisa mengerti tugas masing-masing ketika bola memasuki zone tertentu dan opsi-opsi operan yang akan dilakukan. Tentunya tidak mudah karena jarak dengan pemain lawan juga berpengaruh. Namun dari dua gol di bawah ini yang tergambarkan dengan baik dalam foto di atas, kita bisa melihat hasil latihan Positional Play Arsenal yang mulai sekarang kita namakan Artetaball.

Arsenal vs Liverpool – Community Shield, 1-0 gol Aubameyang.

Auba’s goal vs Liverpool

Gol tersebut dimulai dari Goal Kick setelah shoot Liverpool yang off target, melayang di atas gawang. Hanya butuh waktu 20 detik untuk bola meninggalkan kaki Emi dan bersarang di gawang Liverpool. Arsenal “menjebak” Liverpool dengan menarik pressing tinggi mereka ke dalam kotak penalti dan dengan cepat mengoper bola ke sayap kanan, dari Bellerin ke Saka yang kemudian mengumpan cross field ke Aubameyang di kiri yang mendapatkan posisi hotspot untuk melakukan tendangan kaki kanan akurat andalannya. Perhatikan juga gerakan lari Maitland-Niles dan Tierney untuk membingungkan lawan.

Fulham vs Arsenal – Premier League, 3-0 gol Aubameyang

Auba’s goal vs Fulham

Gol ini juga dimulai dari goal kick setelah serangan Fulham yang gagal. Kali ini butuh waktu 32 detik karena butuh waktu lebih lama untuk Fulham terpancing melakukan pressing tinggi di kotak penalti Arsenal. Xhaka memancing mereka dengan gerakan tangan yang mengisyaratkan bola akan dioper ke mana. Kemudian dengan cepat Bellerin mengoper ke Elneny yang first time pass-nya berhasil disambut Lacazette dengan two touches flick yang disamber Willian lagi-lagi dengan umpan cross-field ke Aubameyang di sisi kiri jauh. Perhatikan pergerakan Aubameyang, Maitland-Niles dan Tierney di dua gol yang mirip dalam dua pertandingan yang berbeda. Identik!

Kedua gol ini adalah hasil positional play dengan pola yang sama. Crossfield dari kanan ke kiri dengan target Aubameyang menemukan posisi idealnya untuk mencetak gol tanpa lawan bisa melakukan blok karena terlambat dalam transisi dari pressing tinggi ke bertahan.

Ada satu lagi Positional Play favorit saya yang tidak menghasilkan gol namun layak ditonton berulang kali. Play ini terjadi di menit ke-77. Dalam waktu 22 detik sejak bola meninggalkan Leno, Aubameyang berada di kotak penalti lawan dan mestinya bisa melakukan first time shoot hasil umpan terobosan cantik Bellerin. Sayangnya ia memilih menggiring bola jauh dari kiper tanpa menyadari pemain belakang Fulham telah menjaga di garis gawang. Tembakannya berhasil diblok dengan sundulan lawan.

Auba’s chance vs Fulham

Build-up play kali ini sedikit berbeda. Leno mengoper ke kiri dan setelah beberapa operan di sayap kiri, Lacazette dan Elneny mengubah arah bola ke kanan dan Bellerin yang berlari kencang mampu mengoper bola ke tengah dengan sangat baik ke Auba.

Serangan cepat Arsenal ini bukanlah counter attack karena berawal dari Goal Kick. Namun dengan mengundang pressing tinggi lawan, serangan ini sama efektinya dengan counter attack dan secepat counter attack. Arteta “menemukan” pola serangan ini khusus untuk menghadapi tim-tim di Liga Inggris terutama yang tim besar yang sudah fasih melakukan high pressing. Tim-tim lawan akan menganalisa Artetaball ini dan saya rasa akan merinding dengan ancamannya. Mengapa? Hanya dari goal kick umpan pendek, Arsenal bisa mencetak gol dalam waktu 20-30 detik. Menyeramkan. Siapa yang tidak akan kuatir melawannya?

Bagaimana bila lawan tidak melakukan high pressing dan memilih low block? Nah itu akan menjadi tantangan level berikutnya dari Artetaball.

Datanglah Dani Ceballos. Untuk menghadapi lawan dengan low block, Arsenal gantian yang harus melakukan pressing tinggi dan memiliki pemain kreatif yang nyaman dalam dribbling dan ball retention di final third. Mari kita nikmati cuplikan video dan perhatikan gerakan Dani di rentetan operan di bawah ini.

Dani’s action in final third

Dalam waktu 65 detik semenjak bola di kaki Dani di dekat kotak penalti sendiri, Arsenal menciptakan dua peluang gol. Fulham memilih bertahan (mungkin kapok dengan jebakan Artetaball). Namun pressing tinggi Arsenal dan skill Ceballos yang sama nyamannya dalam mengoper dan men-dribble bola di kotak penalti lawan berhasil menciptakan peluang. Sekarang kita mengerti mengapa Arteta sangat menyukai Aouar dan saya yakin ia adalah target nomor satu Arsenal, bukan Partey. Aouar dan Dani bisa menjadi pemain kreatif yang dibutuhkan Arsenal untuk membuat Artetaball juga efektif menghadapi low block lawan.

Demikian dulu tulisan bagian pertama dari serial memahami Artetaball. Bila ada waktu lagi saya akan menulis bagian kedua dan seterusnya. Untuk sementara ini, silakan berikan komentar Anda, hasil observasi yang mungkin berbeda dari klip-klip di atas?

Arteta Masterclass

FA Cup 2020 Semi Final – Arsenal 2-0 Manchester City – Wembley Stadium, London

Akhirnya setelah 25 pertandingan (14 menang, 6 seri dan 5 kalah) Revolusi Mental Arteta menunjukkan hasilnya. Dalam 4 hari, Arsenalnya Arteta mengalahkan dua tim terbaik di Premier League, Liverpool 2-1 dan Manchester City 2-0. Kedua tim tersebut dikalahkan dengan persiapan taktik yang cemerlang, eksekusi di lapangan yang hampir tanpa cela, dan penampilan tim yang luar biasa. Di atas kertas, kualitas pemain Arsenal jelas masih kalah dari kedua klub tersebut. Karena itu Arteta memilih untuk bermain bertahan sambil mengincar serangan balik yang efektif. Namun, seperti yang telah dirasakan semua tim yang memilih bertahan melawan kedua tim tersebut, kekalahan hampir pasti terjadi tanpa adanya game plan yang jelas untuk menyerang balik.

Arteta sendiri mengakui bahwa masih ada kesenjangan antara kualitas timnya dengan kedua tim tersebut. Namun baginya, dalam hal kepercayaan diri, akuntabilitas, dan gairah bermain sepakbola, timnya telah dapat menutup kesenjangan tersebut. Pemain Arsenal bermain untuk sesama, berjuang untuk setiap bola, menutup celah yang ditinggal rekannya dan terlihat sangat solid dalam bertahan maupun menyerang. Saat Arteta bergabung kembali dengan klub ini sebagai manager baru, ia mengatakan ada empat kualitas yang ia inginkan sebagai pondasi dasar timnya.

The priority, as I said before, is what we are going to transmit on the team, is a reflection of the demands we are going to put on them every day in training. That’s commitment, accountability, aggression and passion to play this sport and to represent this football club.

This is the basic I am going to demand from them, and from there we can start to build things and improve all the things, obviously, that have to be done as quickly as possible, but if we don’t have this in the right manner, I think it will be difficult.

Hanya dalam 25 pertandingan, tim yang dilatihnya ini telah berada dalam jalur yang diinginkannya. Pondasi dasar dari timnya terlihat jelas dan telah membuahkan hasil yang luar biasa. Para pemain mengikuti instruksinya karena mereka bisa merasakan hasilnya. Bak pengikut Messiah yang merasakan langsung kebenaran dari kata-katanya berwujud dalam pengalaman nyata, kepercayaan The Gunners terhadap sang manager pun semakin bertumbuh, begitu pula kepercayaan diri mereka pribadi. Sekarang mereka percaya kalau mereka mampu bersaing dengan tim juara di liga ini, karena telah mencicipi indahnya kemenangan atas tim juara. Mental mereka telah mengalami revolusi di tangan Arteta.

Selain revolusi mental, Arsenal juga memperlihatkan penguasaan taktik yang komplit. Arsenal mencetak gol saat melawan Liverpool lewat high pressing terhadap pemain bertahan dan kiper lawan. Tidak peduli yang dihadapinya adalah dua pemain termahal Liverpool, Lacazette dan Nelson berhasil mencetak gol setelah Van Dijk dan Alisson melakukan kesalahan besar akibat high pressing Arsenal. Lawan City, Arsenal mencetak gol lewat cara lain, build up play sempurna dari belakang. Melibatkan 10 pemain dan 18 operan, Aubameyang mencetak gol pertama Arsenal hasil bola yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan oleh pressing pemain City. Pep Guardiola terpaksa menelan pil pahitnya sendiri, yang ironisnya diberikan oleh mantan asisten manager-nya.

Gol kedua Arsenal melawan City hadir dari counter attack cepat, operan lob cemerlang dari Tierney setelah menerima back pass dari Pepe disambut dengan timing lari yang pas dari Aubameyang yang sekilas memberikan kita bayangan akan Thierry Henry yang lari dari channel kiri ke tengah sebelum kemudian mencetak gol. Aubameyang tidak mengecewakan harapan kita dan berhasil mencetak gol nutmeg salah satu kiper termahal di Premier League dengan santainya. Tim ini telah membuktikan kalau mereka bisa mencetak gol lewat cara apa saja – pressing tinggi, build up play, counter attack dan set piece. Arsenal-nya (perlengkapan senjata) komplit sudah.

Tentunya perjalanan menuju pencapaian saat ini tidaklah mudah. Ada pengorbanan, kerja keras dan konflik. Saya akan mencoba menuliskan beberapa hal berbeda yang dilakukan Arteta terhadap pemainnya yang kemudian berbuah positif dengan makin solidnya tim yang percaya penuh dengan kepemimpinannya.

Man Management Skill

Dalam salah satu ilmu manajemen untuk menciptakan high performance team, pondasi dasar paling penting adalah membangun Trust, kepercayaan. Pemain mesti percaya kepada manager-nya dan kepada rekannya. Dan Trust ini selalu dimulai dari kepemimpinan yang terbuka. Arteta berulang kali menegaskan bahwa ia selalu terbuka terhadap pemainnya. Ia siap bicara dengan lugas dan tidak akan segan dalam menyampaikan pendapatnya terhadap pemainnya. Dengan demikian ia memperlihatkan sikap yang fair dan tidak pilih kasih. Sebaliknya, pemain yang tidak bisa terbuka dengannya, untuk memenuhi standarnya dalam latihan, tidak akan dimainkan. Namun hal itu tidak berlaku untuk selamanya, begitu pemain tersebut berubah dan kemudian memperlihatkan perbedaan di latihan, maka ia dapat masuk kembali ke tim. Arteta tidak takut dengan konflik namun ia tetap berusaha untuk bersikap adil terhadap semua pemain.

Xhaka dan Ceballos menjadi contoh terbaik manajemen personal Arteta. Tidak heran mereka berdua sekarang membentuk partnership yang sangat solid. Setelah mereka berdua, Mustafi yang termarjinalkan juga kembali menunjukkan performa terbaiknya. Demikian juga Pepe yang meningkatkan usahanya dalam latihan dan kembali mendapatkan tempat di starting line up. Lacazette menemukan kembali kepercayaan dirinya. Luiz selalu mendapatkan kepercayaan Arteta walaupun melakukan kesalahan fatal saat restart liga melawan City. Pemain-pemain muda seperti Saka, Nketiah, Willock dan Nelson selalu mendapatkan kesempatan bermain ketika mereka siap. Arteta tidak takut memainkan mereka.

Di sisi lain, Arteta tidak sungkan untuk mengisolasikan pemain jika pemain tersebut tidak 100% dan sikapnya membahayakan kinerja tim. Guendouzi dan Ozil menjadi “korban” dari kebijakan ini. Guendouzi yang keras (dan besar) kepala menolak meminta maaf karena sikapnya setelah game lawan Brighton tidak mendapatkan tempat lagi di tim. Ia lebih mementingkan egonya daripada timnya. Jika situasi ini terus berlanjut, Guendouzi bakal dijual sebelum musim baru dimulai.

Untuk Ozil, semenjak restart liga tampaknya ia belum menampilkan upaya 100% saat latihan. Kata Arteta mengenai Ozil yang absen sejak pertandingan pertama setelah Premier League bergulir kembali:

I have been very open with Mesut from day one.

Since I joined I thought that he was fit and he was willing and he wanted to perform at the level he can do.

The moment I see that he is ready again to do that, I will treat him like anybody else. I think I’ve been more than fair with him and I think he has responded in many games the way I want. That’s it.

Bila Ozil tidak mau berusaha sekeras rekan-rekannya, artinya ia juga lebih mementingkan egonya daripada timnya, dan pasti akan dilepas juga sebelum musim baru dimulai walau tidak mudah karena gaji per minggunya yang telah tinggi. Namun bila Ozil memilih makan gaji buta daripada bermain sepakbola secara konsisten setiap minggu, maka karier sepakbolanya akan berakhir dengan cepat.

Ainsley Maitland-Niles

Sempat diisukan akan hengkang karena tidak nyaman bermain sebagai Right Back, Ainsley Maitland-Niles tidak dimainkan oleh Arteta untuk waktu yang lama. Perlahan, sebagaimana yang terjadi pada pemain lainnya yang ditangani Arteta, ia mulai berubah dalam sesi latihan, dan akhirnya mendapatkan tugas mulia di pertandingan lawan City. Arteta menurunkannya dengan misi menganulir Riyad Mahrez. Karena taktik spesial ini, Tierney terpaksa bermain sebagai LCB dan Maitland-Niles menjadi left wingback. Mahrez mati kutu sepanjang pertandingan ini karena ditempel ketat oleh lawannya. Satu-satunya peluang bersih yang didapatkannya menjadi satu-satunya shot on goal City yang diselamatkan dengan mudah oleh Emi. Mahrez diganti sebelum babak berdua berakhir dan Maitland-Niles bahkan beberapa kali sempat ikut turun menyerang sisi kanan lapangan City. Sayang saja umpan crossingnya tidak seakurat Saka, kalau tidak City bisa menderita kekalahan lebih besar. 2-0 cukup untuk malam itu.

Di akhir pertandingan Maitland-Niles dipeluk erat oleh David Luiz sang motivator. Arteta juga memeluknya dengan erat sambil mengangkatnya, wujud apresiasi ekseskusi misinya yang sukses besar. Maitland-Niles menambah satu lagi dari sekian banyak pemain yang menjadi lebih baik di bawah penanganan Arteta. Entahlah kalau Guendouzi menonton pertandingan ini atau tidak. Kalau ia punya akal sehat, mestinya ia akan terpengaruh untuk mengubah sikapnya, untuk ikut kereta Arteta yang melaju makin cepat.

Lacazette dan Pepe

Aubameyang mencetak dua gol dengan sangat efisien namun penampilan Lacazette tidak bisa dilupakan. Ia bermain sangat baik sebagai hold up player saat serangan balik dan meneruskan bola dengan progresif, atau mengundang foul lawan. Lacazette melakukan high pressing sepanjang pertandingan. Rivalitasi yang dihadirkan Arteta terhadapnya dengan seringnya memainkan Nketiah yang sangat energik berpengaruh positif terhadap Laca. Golnya saat melawan Spurs menunjukkan sinyal ia kembali ke penampilan terbaiknya.

Di sisi kanan, Pepe juga berkontribusi positif. Ia berperan dalam dua gol Aubameyang, sebagai assister dan pre-assister. Dribblingnya lebih bertujuan, gerakannya lebih fokus, dan kombinasinya dengan Bellerin terlihat semakin baik. Ia juga ikut dalam pressing dan tracking back, berubah total dibandingkan gaya permainannya yang lebih individualis saat pertama kali bergabung di awal musim. Sayang sekali hanya tertinggal tiga pertandingan tersisa di musim ini, di saat trio Laca-Auba-Pepe sedang menuju level yang diharapkan fans sejak awal musim.

Lencioni Model

Kembali ke ilmu manajemen soal high performance team. Saya mempelajari hal ini dalam salah satu training project management. Lencioni membuat model piramid berisi 5 unsur / tahapan perubahan perilaku sebuah tim untuk menghasilkan tim dengan kinerja yang lebih baik. Tim yang mana kinerjanya lebih baik dari gabungan kualitas masing-masing individu anggotanya. The whole is greater than the sum of its parts.

Building a high performance team

Setelah membangun Trust, maka yang berikutnya adalah tim harus tidak takut menghadapi konflik. Perdebatan perlu terjadi karena setelah itu, tim harus mencapai kesepakatan dan semua yang berbeda pandangan awalnya akhirnya harus berkomitmen terhadap keputusan yang satu, metode dan tujuan yang sama. Mereka yang tetap tidak sejalan, dengan terpaksa disisihkan (Guendouzi, Ozil). Dengan komitmen tersebutlah, maka akuntabilitas bisa diterapkan. Pemain yang melakukan kesalahan, mengaku salah dan mendapatkan konsekuensinya. Lebih baik lagi, setiap rekannya akan mencoba cover sehingga kesalahan itu tidak berdampak buruk, sebagaimana Xhaka yang meng-cover kesalah Mustafi malam itu. Karena tim yang berfungsi dengan baik percaya bahwa hasil itu sifatnya kolektif.

Trust -> Conflict -> Commitment -> Accountability -> Results.

Mirip bukan dengan 4 fondasi dasarnya Arteta Way? Saya tidak akan kaget kalau Arteta terinspirasi oleh model manajemen Lencioni ini.

Masterclass

Seperti yang diutarakan di awal, sangat sayang musim ini tersisa 3 pertandingan lagi, ketika Arteta mulai menunjukkan Masterclassnya, berkat tim yang sudah sejalan, yang bernafas dengan detak jantung yang sama. Tidak tanggung-tanggung dua pelatih kawakan, Klopp dan Pep dengan tim yang jauh lebih mahal sudah merasakannya. Di final FA Cup dalam 2 minggu mendatang, Arteta akan berhadapan dengan salah satu dari dua pelatih muda mantan pemain sukses lainnya di dalam Lampard dan Solksjaer, pertarungan yang tidak akan kalah serunya. Final FA Cup ini akan sangat berarti bagi Arteta dan Arsenal: mendapatkan tambahan budget untuk belanja musim depan (karena bisa berpartisipasi di Europa League) dan mempertahankan pemain terbaiknya agar tidak hengkang (Aubameyang).

Masterclass yang ditunjukkan Arteta begitu berbeda dengan sepakbola tanpa jati diri di era Emery. Semua orang bisa melihatnya dengan jelas. Berbagai pundit bola yang biasanya menganggap remeh Arsenal bisa merasakan perubahan tim ini di bawah asuhan Arteta. Bila ini baru tahapan basic, sesuai penjelasannya, kita boleh merasa optimis dengan masa depan Arsenal di tangan Arteta. Kita berharap KSE sama optimisnya dalam mendukung Arteta dengan dana yang sepadan, agar kita bisa menyaksikan visi Arteta Way terealisasikan.

Memahami Coquelin, False Six Arsenal

<> at KC Stadium on May 4, 2015 in Hull, England.

Francis Coquelin, Arsenal’s unorthodox DM

Artikel ini adalah soal memahami peran Francis Coquelin, pemain Arsenal yang sedang tidak populer di kalangan Gooners. Bukan salahnya, tapi “salah” Wenger yang membeli Granit Xhaka dengan harga selangit (35 juta poundsterling). Xhaka yang diharapkan fans-fans Arsenal dapat melahirkan kembali peran deep playmaker ala Arteta di musim ini terhalang oleh keras kepalanya Wenger yang terus memainkan Coquelin (dan Cazorla). Coquelin dijadikan kambing hitam oleh Gooners karena sebagian besar Gooners merasa Xhaka jauh lebih baik dan cocok untuk memainkan peran DM sekaligus deep playmaker di skuad Arsenal musim ini. Ia punya tackle keras, long pass dan short pass yang lebih akurat, terakhir punya long shot yang berbuah gol indah, ditambah lebih ganteng dari Coquelin. Kurang apa lagi? Mengapa Wenger demikian keras kepala untuk tidak mengganti Coquelin dengan Xhaka? Apakah Wenger punya misi pribadi untuk tidak menggunakan pemain mahalnya? Apakah transfer Xhaka bukan keputusannya? Berbagai teori konspirasi pun beredar di kalangan fans Arsenal yang menolak untuk memahami peran Coquelin dan isi kepala Wenger.

Tidak heran segala teori konspirasi di atas bisa lahir. Dari sebagian fans Arsenal yang saya follow (di Twitter), kebanyakan yang punya pemikiran anti Coquelin ini juga adalah mereka yang konsisten mengkritik Wenger, terutama soal taktik dan transfer. Mereka yang menolak memahami cara berpikir Wenger tentunya tidak akan paham mengapa Wenger lebih memilih Coquelin daripada Xhaka, untuk saat ini. Buat mereka, Wenger sudah outdated soal taktik, Wenger tidak mengerti bagaimana memainkan Xhaka, Wenger lebih pro ke anak didiknya daripada pemain bintang baru yang mahal. Bias anti-Wenger mereka mempengaruhi pendapat mereka tentang semua hal yang berhubungan dengan Wenger, termasuk tentang peran Coquelin. Jika Anda termasuk yang punya pendapat serupa, saya mohon Anda dapat sabar dan membaca artikel ini sampai selesai dulu sebelum berkomentar. Kolom komentar tersedia di bawah dan saya akan dengan senang hati meladeni keluh kesah Anda tentang Coquelin atau opini yang berseberangan. Artikel ini bertujuan untuk memahami cara pikir Wenger yang saat ini lebih memilih Coquelin daripada Xhaka, terlepas dari itu keputusan yang salah atau benar (yang hanya bisa diketahui di kemudian hari).

Untuk membandingkan peran keduanya maka match melawan Watford (Xhaka main, Arsenal menang 3-1) dan lawan Hull City (Coquelin main, Arsenal menang 4-1) bisa menjadi referensi. Keduanya berpasangan dengan Santi Cazorla dalam dua match itu. Mari kita mulai dengan paparan statistik sebelum saya memasukkan opini pribadi saya. Saya akan menggunakan Stats Zone (FourFourTwo) dan Whoscored yang mudah diakses setiap orang.

Stats Zone Defensive Dashboard

coq-def

Coquelin vs Hull City

xha-def

Xhaka vs Watford

Coquelin membuat 4 tackle, 4 interception dan 1 clearance dalam laga vs Hull City. Xhaka membuat 5 tackle, 2 interception, 3 clearance dalam match vs Watford. Angka yang tidak berbeda banyak. Tapi coba perhatikan posisi di mana aksi defence keduanya terjadi. Coquelin melakukan tackle dan interception lebih banyak di setengah lapangan lawan sementara Xhaka lebih banyak di setengah lapangan sendiri. Coquelin bermain lebih depan daripada Xhaka. Mengapa Coquelin bermain lebih maju? Dalam tiga pertandingan terakhir lawan Soton, PSG dan Hull City, Coquelin beberapa kali bermain lebih maju daripada Cazorla. Apakah ini karena nafsunya menyerang? Ataukah ini karena seringnya ia mengabaikan instruksi pelatih untuk stay di posisi DM?

Satu kali mungkin kebetulan, dua kali artinya kebiasaan buruk, namun kalau sampai tiga kali mengulangi hal yang sama artinya itu sebuah instruksi pelatih. Coquelin awalnya terlihat tidak nyaman dengan instruksi ini. Melawan Soton babak pertama, ia terus maju ke area lawan saat Arsenal menguasai bola. Beberapa kali ia menerima bola di lapangan lawan, namun gagal mengoper ke pemain Arsenal lainnya. Di babak pertama ia bermain buruk. Babak kedua, posisinya tukar dengan Cazorla, dari kiri ke kanan. Ia bermain lebih baik dan Arsenal menguasai bola dengan baik di babak kedua. Saat melawan PSG, Coquelin bermain lebih baik namun penampilan terbaiknya ada pada match lawan Hull City. Ia memainkan peran barunya yang diinstruksikan oleh Wenger dengan amat baik sehingga Arsenal mendominasi total pertandingan tersebut.

False Six 

Anam Hassan (@arsenalcolumn) memiliki teori yang menarik mengenai “instruksi” ini. Dalam tulisannya di arseblog, ia mengupas bahwa Wenger menginstruksikan Coquelin bermain lebih maju dari biasanya dengan dua tujuan (ditambahkan sedikit analisa saya):

  1. Dengan majunya Coquelin ke lapangan lawan, membuat permainan Arsenal tetap di area lawan. Berlawanan dengan Positional Play (Salida Lavolpiana) ala Guardiola yang menggunakan DM sebagai deep playmaker untuk mendistribusi bola ke depan, Wenger memilih menggunakan CB sebagai distributor bola. Coquelin maju ke depan akan menarik marker-nya dan menarik mundur pressing lawan. Bila marker Coquelin ikut mundur, CB Arsenal akan bebas mengoper ke ruang yang terbuka (biasanya diterima Cazorla). Bila lawan memilih maju untuk pressing CB Arsenal yang membawa bola, ruang kosong yang ditinggalkan midfield lawan akan diisi oleh Ozil atau Cazorla untuk menerima bola. Dan karena ruang kosong ini sangat dekat dengan Zone 14 (yang diidentifikasi oleh analis sepakbola sebagai zone paling berbahaya), Arsenal tinggal melakukan satu operan lagi untuk menyerang dari zone yang diidentifikasi sebagai area di mana tingkat keberhasilan serangannya paling tinggi. zone 14 in 18 zones.png
  2.  Apabila Arsenal kehilangan bola di daerah lawan, maka lawan akan melakukan counter attack dengan cepat. Di sini kecepatan fisik Coquelin dan kemampuan hebatnya mengendus bahaya sangat berarti. Coquelin berkali-kali melakukan tackle dan interception di area lawan, saat lawan baru mau melakukan counter attack. Gegenpressing ala Klopp dilakukan oleh Coquelin, sendiri. Bila sukses, counter dari counter attack ini lebih efektif daripada DM yang baru mulai membaca serangan lawan di area sendiri, di Zone 5 dan 8. Dan karena notabene pemain Arsenal masih berada di lapangan lawan saat counter terjadi, probabilitas Arsenal kembali mendapatkan bola sangat tinggi. Permainan dilanjutkan di area lawan.

Sekali tepuk dua lalat. Dengan memainkan Coquelin lebih maju, Wenger membuka ruang untuk Arsenal menyerang dari tengah, dari Zone 14 sekaligus mengatasi masalah counter attack lawan yang menjadi momok Arsenal selama ini.

Hal ini merupakan evolusi taktik Wenger pasca Arteta. Guardiola menganalisa taktik Arsenal di tahun 2014 (saat kita masih menggunakan Arteta sebagai pivot):

Pep explains in detail how Mikel Arteta tries to draw in the opposing pivote in order to create a space in the middle of midfield into which Mesut Özil will try to appear. Pep walks through Arteta’s movements whilst emphasising to his players, who are spread out in front of him: “Özil is the dangerous one – he’s the one we really need to keep the closest eye on. Arteta draws you in, Özil pops up in that zone with Santi] Cazorla and Alex Oxlade-Chamberlain around him and that’s the way that they achieve superiority in a key area. We can’t afford that to happen.”

Saat itu Arteta bermain sebagai DM ala La Volpe. Positional Play yang diinspirasikan oleh Ricardo La Volpe (yang terkenal dengan sebutan Salida Lavolpiana, the way out of La Volpe) dan dikembangkan oleh Guardiola di Barca dan Bayern. Perannya sebagai pembawa bola adalah untuk menarik marker lawan agar tercipta ruang kosong di lapangan tengah untuk Ozil. Musim 2012/2013 setelah kepergian Song dan satu tahun setelah Arteta dibeli Arsenal, fans-fans Arsenal dan pundit bola bingung mengapa Arteta yang notabene pemain kreatif (AM Everton) ditaruh di posisi DM. Saat itu sepakbola Positional Play ala Guardiola belum populer diadopsi tim-tim Inggris. Banyak yang meragukan kemampuan Arteta sebagai DM dan menyayangkan kreativitasnya terbuang di posisi itu. Hasilnya Arteta menjelma menjadi DM tangguh, ahli tactical foul, passer bola terbanyak di tim Arsenal dan sesekali memberikan long ball akurat ke Giroud. Ia menjadi pemain terpenting di tim Arsenal sebelum Ozil bergabung. Masih ingat dulu fans Arsenal selalu khawatir setiap kali Arteta cedera? Bahkan kita punya statistik berapa % kemenangan Arsenal dengan Arteta vs tanpa Arteta. Good old days.

Cedera mengakhiri karir Arteta tapi dampak permainannya begitu membekas di hati Gooners yang berharap kita menemukan pengganti Arteta. Tidak heran kita begitu berharap banyak pada Xhaka. Pemain yang lebih mirip Arteta daripada semua pemain tengah yang kita miliki, termasuk Coquelin. Xhaka bisa mengoper bola dengan baik, long ball-nya akurat, dan rasanya interception serta tacklingnya lebih baik. Ia punya development ceiling yang lebih tinggi daripada Arteta. Kita melihat Xhaka sebagai Arteta Mk II.

Sayangnya fans Arsenal bak jalan di tempat (soal taktik) bila tetap berpikiran begitu. Bahkan Arteta di puncak permainannya sebagai DM tidak mampu membawa kita ke puncak. Wenger yang dikatakan outdated soal taktik sudah memilih untuk maju, evolusi taktik Arsenal untuk sekian kalinya. Memahami keterbatasan Positional Play Arsenal sebelumnya, terutama dengan berkembangnya adopsi transisi cepat di tim-tim lawan (paling jelas Leicester City), Wenger merespon dengan evolusi taktik terbarunya: False Six, atau bisa juga disebut Decoy DM. Istilah ini pertama kali ditulis di sini, jadi jangan lupa mengkreditkan blog ini bila istilah ini lalu populer.

Nomor enam adalah nomor sepakbola modern untuk DM. Coquelin menolak memberikan No 34 miliknya ke Xhaka mungkin karena No 6 ini masih dipakai Koscielny. False Six mengikuti trend False Nine adalah sebutan untuk DM palsu. Pemain yang memulai dengan posisi di DM, namun kemudian bergerak bukan di area operasi DM. Coquelin bermain sangat tinggi di 3 pertandingan terakhir, bahkan sering muncul di kotak penalti lawan. Ia semakin nyaman di posisi ini saat menyerang maupun bertahan. Operannya semakin bagus. Bahkan di pertandingan terakhir ia adalah pengoper ketiga terbanyak setelah Ozil dan Cazorla dengan tingkat kesuksesan tertinggi 98%. Dan operannya saat lawan Hull City kebanyakan terjadi di area lawan.

Coq Passes.png

Passing Coquelin vs Hull City

Namun walau asyik mengoper bola, Coquelin tidak melupakan perannya sebagai DM. Merebut bola secepat mungkin ketika bola berpindah pihak. Ia melakukannya dengan sangat efektif. Coquelin memimpin statistik defence Arsenal musim ini dengan 3.8 tackles dan 3.5 interception (per 90 mins, angka yang masuk 10 besar terbaik di EPL). Bila terjadi di lapangan lawan, statistik ini menjadi berkali lipat lebih berarti. Ia mematikan counter attack lawan sekaligus menjadi trigger serangan baru Arsenal di area berbahaya. Gol pertama Arsenal lawan Hull City terjadi akibat serangan yang dimulai oleh Coquelin (shoot jarak jauh, memantul dari lawan, rebut kembali bola hasil pantulan, oper ke Cazorla – Walcott shoot – Iwobi rebound shoot – Sanchez goal!). Penalti Arsenal juga diberikan karena tendangan keras Coquelin di dalam kotak penalti lawan. Kedua hal ini dimungkinkan karena posisi Coquelin yang demikian maju saat Arsenal menyerang. Dan hanya Coquelin yang bisa melakukan ini sekarang karena kualitasnya (fisik maupun insting) dalam mengendus dan menghentikan serangan lawan di area lawan belum bisa ditandingi CM Arsenal lainnya.

Mencari Duet Midfield Arsenal Terbaik

Mengetahui keras kepalanya Wenger, maka Coquelin dipastikan tidak akan diganti dalam beberapa pertandingan ke depan karena ia sedang mencoba taktik revolusioner False Six barunya ini. Lalu apakah ia akan tetap bertahan dengan duet Coquelin – Cazorla? Bagaimana nasib Xhaka? Kompleksitas ditambah dengan kembalinya Ramsey yang pasti akan menuntut bermain dan Elneny yang lama di bangku cadangan akan ikut panas. Musim ini adalah musim di mana kita memiliki depth terbaik di midfield. 5 pemain berkompetisi di 2 posisi. Hanya posisi Ozil yang tak tergantikan. Bila Coquelin juga tidak tergantikan maka 4 pemain lainnya akan berkompetisi untuk 1 posisi di midfield. Ini menjelaskan mengapa Jack Wilshere cabut duluan.

Menilik dari awal musim ini, Wenger sejauh ini sudah mencoba duet Coquelin-Cazorla (Liverpool, Soton, PSG, Hull), Coquelin-Xhaka (Leicester), dan Xhaka-Cazorla (Watford). Mana duet yang terbaik? Mari kita lihat heatmap dari Whoscored.

heatmap CoqXha LEI.png

Heatmap Xhaka & Coquelin vs Leicester City

Pertama kalinya Xhaka dan Coquelin bermain bersama karena Cazorla main sebagai AM. Xhaka start di DM dan Coquelin sebagai box to box. Heatmap yang biru itu adalah area jelajah Coquelin yang tersebar sedang Xhaka cenderung diam di Zone 7 dan 8. Coquelin mendapatkan MotM dari Whoscored di pertandingan (rating 8.4) ini karena statistik 5 tackle, 5 interceptionnya yang terbukti vital.

heatmap Xhazorla WAT.png

Heatmap Xhaka & Cazorla vs Watford

Di pertandingan ini, Coquelin cedera dan tidak bisa start. Xhaka diberikan kesempatan mendampingi Cazorla karena Ozil sudah kembali bermain. Terlihat heatmap tidak berbeda jauh dengan vs Leicester. Hanya saja kali ini Xhaka mengambil peranan lebih dalam bertahan dengan jumlah tackle dan interception yang lebih banyak (5, 2). Area jelajahnya masih di Zone 8 kiri sedangkan Cazorla beroperasi di kanan agak ke depan. Sekarang kita bandingkan dengan heatmap Coquelin & Cazorla di tiga pertandingan berikutnya (Soton, PSG, Hull):

heatmap Coqzorla SOT.png

heatmap Coqzorla PSG.png

Terlihat perbedaan jelas ketiga heatmap ini dengan dua heatmap sebelumnya: dua CM Arsenal bermain lebih maju. Bahkan saat melawan PSG sekalipun yang memainkan 4-3-3 dengan 3 CM berkualitas. Dalam pertandingan vs Soton dan Hull yang CM-nya tidak sebaik klub Eropa, dua CM Arsenal bermain mayoritas di lapangan lawan. Agenda Wenger untuk memaksakan permainan terjadi di lapangan lawan terwujud. Berkat taktik false six ini, berkat Coquelin. Heatmap lawan Hull City adalah ideal yang diinginkan Wenger. Dua CM-nya konsisten menjelajahi Zone 14, zone di mana serangan efektif dilancarkan.

Tidak hanya berpengaruh terhadap area jelajah CM. Taktik ini juga mengubah pola permainan Arsenal. Di mana CM Arsenal sebagai pemegang bola terbanyak bergerak, maka pemain-pemain yang lain akan mengikuti. Salah satu statistik model baru yang juga saya sukai adalah Positions & Passing Network milik @11tegen11. Saya akan sajikan 6 grafik @11tegen11 untuk Arsenal dan silakan simpulkan sendiri perubahannya.ARS v LIV.jpg

LEI v ARS.jpgWAT v ARS.jpgARS v SOT.jpgPSG v ARS.jpgHUL v ARS.jpg

Grafik di atas dari awal hingga terakhir menggambarkan evolusi taktik Wenger dan juga peran Coquelin. Match lawan Hull City memperlihatkan dominannya serangan Arsenal lewat tengah dan Zone 14. Arsenal menghasilkan goal attempt terbanyak dalam pertandingan tersebut. Arsenal yang biasa mengalirkan bola ke full back lalu cross ke Giroud mengubah gaya permainan dengan kombinasi pendek di tengah lapangan, lewat Zone 14. Sanchez, Ozil, Cazorla dan Coquelin menjadi tulang punggung taktik ini. Untuk melihat perbedaannya dengan Positional Play ala Guardiola, lihat grafik di bawah ini.Cskynq5WIAAUDkm.jpg

Untuk saat ini saya tidak melihat Wenger akan mengganti Coquelin dengan Xhaka. Xhaka tidak memiliki mobilitas ala Coquelin dan lebih condong bermain agak ke belakang. Dalam salah satu interviewnya Wenger mengatakan ia melihat Xhaka lebih cocok sebagai box to box midfielder daripada deep playmaker dan ia ditertawakan seantero jagat Twitter (fans Arsenal). Xhaka kan pengganti Arteta, kok malah mau disulap jadi Box to Box? Wenger buta ya? Sayangnya kebanyakan fans Arsenal merasa sudah paham taktik sepakbola hanya karena membaca artikel Positional Play ala Guardiola. Mereka lupa bahwa Wenger mengalahkan Barca dan Bayern-nya Guardiola, dengan tim yang jauh lebih murah meriah.

“He can of course [impose himself], he has the stature, the power, he has the strength. What we want is for him to use that in a very efficient way.

I personally prefer him as a box-to-box player,” added Wenger, “because he has the engine, the power and he has the long pass. He likes to come deep and distribute the game. I think as well he has the engine to have an impact with his runs.”

Wenger ingin Xhaka lebih banyak berlari seperti Coquelin. Hingga Xhaka siap berubah atau saat Wenger harus mengubah taktiknya untuk menghadapi tim tertentu yang tidak bisa dihadapi dengan False Six, Xhaka tampaknya masih harus duduk di bangku cadangan. Bagaimana dengan Ramsey dan Elneny?

Kelima pemain tengah Arsenal yang berkompetisi untuk 2 spot di CM ini memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda:

  1. Coquelin: sudah dibahas kekuatannya, kelemahannya ada pada akurasi passingnya yang sekarang sedang diasah.
  2. Cazorla: +dribbling, passing, retensi bola dan mobilitas; -fisik, tackling, pertahanan
  3. Elneny: +pass and move, interception, shooting; -sering kurang fokus saat bertahan (vs LIV), tracking back
  4. Xhaka: +long pass, tackling; -mobilitas, interception, off the ball run
  5. Ramsey: +penetrasi ke box, shooting, passing; -defense, slow

Tidak ada midfielder yang sempurna namun pasangan yang balanced bisa saling menguatkan dan kombinasi yang tepat akan menjadi lebih kuat daripada jumlah kekuatan+kelemahan keduanya. Dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan para pemain tengah Arsenal di atas dan taktik yang sedang menjadi fokus Wenger, duet pemain tengah terbaik Arsenal saat ini adalah Coquelin & Cazorla, COQZORLA.

Saya melihat lebih besar kemungkinan Xhaka dipasang dengan Elneny atau Ramsey daripada dengan Cazorla ataupun Coquelin. Maka Wenger bisa punya 2 pasang CM yang bisa ia gonta-ganti tergantung dengan lawan yang dihadapinya. Kalau ia ingin bermain agresif di lapangan lawan maka Coqzorla-lah yang dipasang. Kalau lebih ingin bermain counter attack maka Xhaka-Ramsey/Elneny bisa dipasang. Kita tidak perlu lagi was-was seperti jaman Arteta dulu, di mana tidak ada pengganti yang sepadan.

Menerima Coquelin Apa Adanya

Jadi setelah penjelasan panjang lebar di atas ditambah dengan paparan statistik yang komplet, masihkah Anda berpikir Coquelin adalah pemain yang jelek? Masihkah Anda berpikir Wenger kuno soal taktik? Masihkah Anda sibuk kampanye Xhaka vs Coquelin?

Semua data statistik di atas bisa didapat dengan gratis di internet. Jangan lupa Arsenal punya StatDNA, the world’s most advanced soccer data and analytics (klaim di akun Twitter-nya sebelum dibeli Arsenal). Perusahaan yang diakuisisi oleh Kroenke ini memberikan data statistik per hari ke Wenger. Apabila hanya dengan bekal statistik dari Stats Zone dan Whoscored saya bisa mengambil demikian banyak materi untuk tulisan ini, untuk menjustifikasi pandangan saya, bayangkan banyaknya informasi yang dimiliki Wenger soal pemainnya, soal perkembangan taktik sepakbola untuk kemudian menentukan permainan yang terbaik untuk timnya saat ini.

Bila belum percaya dengan ulasan artikel ini, silakan tonton ulang penampilan Coquelin di tiga pertandingan terakhir Arsenal. Tontonlah tanpa bias anti Coquelin di kepala. Anda akan melihat betapa efektinya peran Coquelin sebagai False Six, sebagai new Decoy DM Arsenal. Saatnya Anda menerima Coquelin apa adanya dan mendukungnya. Ia bisa jadi kunci sukses Arsenal musim ini.