Martin Ødegaard, The Creator-in-making

Yang mengikuti tulisan saya sejak lama tentunya tahu persis kalau saya sangat memuja Dennis Bergkamp, dan bahkan alasan awal saya menjadi seorang Gooner. Di blog ini bahkan ada bagian yang dikhususkan untuk-Nya (sayang saya belum sempat menulis lebih banyak lagi mengenai biografinya). Tidak hanya saya, sebagian fans Arsenal yang memuja-Nya memberi Bergkamp nick name God, The Creator (plesetan dari perannya sebagai pembuat peluang utama Arsenal). Bergkamp berada pada level yang berbeda dari para pesepakbola hebat di dunia, dalam hal filosofi sepakbolanya, pandangan hidupnya. Ia melihat sepakbola sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan, sesuatu yang bermakna lebih dalam daripada ketenaran dan harta.

“Arsène Wenger has an interesting view about this. He says: “It is a spiritual thing. I am convinced of that. I believe you have two kinds of players who play football. Those who want to serve football like you serve God, and they put football so high that everything that is not close to what football should be is a little bit non-acceptable. And then you have those who use football to serve their ego. And sometimes the ego can get in the way of the game, because their interest comes before the interest of the game.

Sometimes the big ego is linked with what we call strong personalities, charisma. But most of the time what people call charisma is just big ego. I believe that Dennis was one of those who had such a high idea of the game and such a respect for the game that he wanted that to be above everything. I believe that the real great players are guided by how football should be played and not by how football should serve them. If it becomes spiritual, it’s endless and you’re always driven to going higher and getting closer to what you think football should be.

Then Wenger gives the example of a player who knows he ought to pass but takes a massive gamble and scores. “If he really loves the game he’ll go home and worry about it. He’ll know he really should have passed to set up an easy chance for someone else. But he was selfish and got lucky. If he doesn’t care about the game he’ll go home and think: ‘That was great – I’ll do the same next time.’

And he says that’s the difference. “That’s why you have to teach the kids to respect the game and treat the game a little bit like a religion, that is above you, where you want to serve the game.”

Bergkamp in his biography – Stillness and Speed

Bergkamp memiliki pandangan yang sama dengan Wenger, bahwa the game semestinya berada di atas egomu, yang membuatnya ingin “melayani”-nya bak seorang hamba yang melayani Tuhannya. Becoming the servant of the game. Sementara sebagian besar pesepakbola memiliki apa yang disebut big ego, individualis, bagaimana menjadi yang terbaik di lapangan hijau.

Selama saya mendukung Arsenal, hanya ada satu pemain yang menurut saya layak mewarisi tahta Bergkamp di klub tercinta. Di salah satu artikel di blog lama saya, “Ketika Sang Creator Menemukan Putra-Nya”, saya menuliskan tentang pandangan Bergkamp tentang Mesut Özil.

“Behind every pass there must be a thought.

Özil knows exactly how to control the ball in what kind of space to give himself time. That’s the difference between the players and great players. With his intelligence and his touch and his skills, he is trying to do something right with every ball.”

“With that pass it seems like Özil was already calculating what the next pass should be. So he puts the ball on the side which means Giroud’s only option is to pass it to the third player. The point is that there is a thought behind that pass. You see that with his control and his movement and that’s what I like.

With all the respect to the other Arsenal players, I think he is the one who can make a difference. The other players are good in midfield. But you need someone of a high-level you can be good in all areas of the pitch.”

Dennis Bergkamp on Mesut Özil

Bergkamp bisa melihat kalau Özil memiliki visi yang dapat melihat beberapa langkah ke depan, termasuk pilihan gerakan berikutnya dari rekan se-timnya. Kemudian dengan kontrol yang akurat ia memberikan operan yang “mengatur” gerakan berikutnya dari penerima bola. Ada tujuan di balik setiap operannya. Dan Bergkamp juga menjelaskan mengapa kejeniusan Özil ini akan membawa perubahan pada permainan Arsenal secara keseluruhan:

“It looks like it’s a relief to the other players. ‘Oh yes this is what we want’, ‘Oh this is a great ball’. They are adapting to Özil, and moving into spaces where before maybe they didn’t do that because maybe they weren’t expecting the ball.”

Mesut Özil kemudian membawa Arsenal memenangkan FA Cup sebanyak 3 kali, mengakhiri paceklik trofi selama 9 musim. Namun ia tidak pernah benar-benar berhasil menjadi pengganti Bergkamp dan tidak mengalami happy ending yang sama dengan Bergkamp di penghujung kariernya di Arsenal karena berbagai faktor yang pernah kita kupas di sini.

Sekarang, 8 tahun semenjak Mesut Ozil bergabung dengan Arsenal, kita menemukan kutipan yang hampir mirip dengan apa yang dikatakan Bergkamp mengenai Özil.

“He needs players around him to follow and understand him because the moment he has time on the ball he’s a real threat.

“He glides players together. He attracts players. He’s really confident on the ball. He can take the ball anywhere on the pitch and he gives us that continuity. I think tonight he was really good.”

Mikel Arteta on Martin Ødegaard

Child Prodigy from Drammen

Martin Ødegaard lahir di Drammen, sebuah kota kecil di Norwegia, tidak jauh dari ibukotanya Oslo. Ayahnya Hans Erik Ødegaard juga seorang pesepakbola. Sebagai pengagum John Arne Riise, ia tumbuh menjadi pendukung Liverpool. Kariernya meroket pesat di usia yang sangat muda. Hanya berusia 15 tahun, ia telah memulai debutnya di liga profesional Norwegia, bermain untuk klub Strømsgodset. Di usia yang sama, tepatnya 15 tahun dan 253 hari, ia melakukan debut untuk timnas senior Norwegia melawan UAE. Sebagai perbandingan, Fabregas melakukan debut timnasnya di usia 18 tahun dan Saka di usia 19 tahun. Video di bawah ini menceritakan dengan baik bagaimana Ødegaard mengguncang dunia sepakbola di usianya yang sangat muda dan hype seputar dirinya.

Documentary: The Phenomenon Martin Ødegaard

Semuanya berjalan demikian sempurna untuk Ødegaard. Belum genap 16 tahun, ia diincar tidak kurang dari 30 klub Eropa. Klub pujaannya, Liverpool mengundangnya untuk latihan bersama tim utamanya di awal Desember 2014. Dalam latihan tersebut ia melakukan nutmeg terhadap Joe Allen. Kemudian ia ditemukan sedang makan bersama Coutinho di restoran, bagian dari rayuan Liverpool untuk meyakinkannya bahwa klub itu yang terbaik untuk perkembangan dirinya.

Ødegaard berlatih bersama Liverpool, Des 2014

Tak hanya Liverpool, ia juga mengunjungi Manchester United, bertemu Van Gaal dan melakukan tur seputar Old Trafford dan Carrington, training ground mereka. Kemudian ia mengunjungi Arsenal yang telah memiliki Özil dan Manchester City. Di Jerman, ia diundang ke Bayern Muenchen dan bergabung dalam sesi latihan di bawah Pep Guardiola. Chairman dari Bayern, Karl-Heinz Rummenigge memujinya sebagai talenta yang luar biasa dan berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Ødegaard. Ajax Amsterdam tidak mau ketinggalan. Manager saat itu, Frank de Boer mengatakan kepada media Norwegia, “Sangat luar biasa melihat pemain yang bermain demikian baik di usia demikian muda… Jika ia harus memilih, Ødegaard sebaiknya memilih Ajax.”

Namun tak ada klub yang menyamai apa yang dilakukan Real Madrid untuk memboyongnya. Tak mau kalah dengan Barcelona yang juga mengundangnya ke La Masia, Madrid mengirimkan private jet ke Norwegia untuk menjemputnya untuk melihat kompleks latihan mereka di Valdebebas. Mereka menjanjikannya tempat baginya di tim utama. Seminggu sebelumnya ayahnya telah diundang ke klub sendirian. Ayahnya ditawarkan pekerjaan untuk menjadi pelatih di Madrid sebagai bagian dari charm offensive untuk meyakinkan Odegaard memilih Madrid daripada sekian banyak klub besar Eropa lainnya yang berminat kepadanya.

Akhirnya di bulan Januari 2015, Ødegaard yang baru berusia 16 tahun melakukan lompatan yang hampir tak masuk akal dalam karier seorang pesepakbola, langsung dari Strømsgodset ke klub terbesar di dunia, Real Madrid. Tentunya ia memilih Madrid dengan harapan ia bisa berlatih dengan bintang dunia, didukung oleh fasilitas terbaik, agar bisa berkembang menjadi pemain yang sesuai dengan prediksi media dan banyak scout klub besar Eropa saat itu, the new Lionel Messi. Awal karier yang sempurna, sejauh ini.

Life is not a fairy tale

Apabila babak awal sepakbola pro-nya demikian sempurna, babak berikutnya dalam kehidupan seorang Ødegaard tidaklah seindah itu. Roda kehidupan berputar dan Ødegaard benar-benar mengalami bagaimana berada di atas dan di bawah. Ia tak berhasil menembus tim utama Madrid yang penuh bintang, dan selama 2 tahun hanya bermain di tim cadangan, Real Madrid Castilla. Pemain yang masih sangat muda itu pun mendapatkan kritikan dari media. Banyak berita miring mengenai dirinya yang memilih berlatih dengan Ronaldo daripada tim cadangan Madrid. Banyak pemain muda lainnya yang cemburu dengannya. Hype tentang dirinya pun mulai menurun. Bahkan keraguan mulai muncul, apakah ia memang pemain yang bertalenta hebat?

Demi perkembangan dirinya, dan menjauhkannya dari pusat perhatian media di Madrid, ia kemudian dipinjamkan ke Belanda, klub bernama Heerenveen selama 18 bulan. Di klub ini performanya tidak begitu baik, sehingga loannya dilanjutkan ke Vitesse selama 1 musim penuh. Di Vitesse, Ødegaard mulai menunjukkan mengapa ia disebut pemain berbakat. Tampil sebanyak 39 kali, ia memberikan 11 gol dan 12 assist. Pemberitaan mengenai dirinya kembali mencuat di media dan saat itu ia berusia 20 tahun.

Musim 2019/2020 Ødegaard kembali ke La Liga namun kali ini berbaju Real Sociedad. Awalnya loan di Sociedad direncanakan selama 2 musim penuh (2019-2021), namun karena ia bermain sangat baik di Sociedad di musim loan pertamanya (termasuk saat menang 4-3 lawan Madrid), sampai dinilai sebagai pemain terbaik di La Liga sebelum lock down (karena setelahnya ia mengalami cedera), Real Madrid memutuskan untuk memanggilnya kembali di awal musim 2020/2021. Setelah 5,5 tahun bermain di tim cadangan dan berbagai klub pinjaman, akhirnya Ødegaard dirasakan siap untuk tampil di tim utama Madrid, demikianlah rencananya. Bagi Ødegaard, ini seperti terang yang terlihat di ujung terowongan yang panjang, lima setengah tahun lamanya.

Statistik Progressive Passes Ødegaard saat loan di Sociedad, lihat siapa pemain di sebelahnya

Namun dewi fortuna sepakbola kembali membuat skenario yang berbeda. Cedera dan penampilan yang tidak memuaskan membuat Ødegaard hanya bermain sebanyak 7 pertandingan dan hanya selama 232 menit (2,5 full match) selama separuh musim. Frustrasi, Ødegaard minta ke Madrid untuk dipinjamkan kembali ke Sociedad. Arsenal mencium bau darah… Klub yang sempat tertarik serius dengannya, dan terus mengikuti karier Ødegaard semenjak itu memiliki koneksi yang baik dengan Sociedad, tempat Monreal bermain, yang juga terletak di kampung halaman Arteta. Edu dan Arteta bergerak cepat, tak akan sia-siakan kesempatan emas ini. Dari sekian banyak klub besar yang mengincarnya sejak muda, hanya Arsenal bergerak dahulu untuk mengamankan Ødegaard dengan status pinjaman separuh musim. Ødegaard yang awalnya memilih Sociedad, akhirnya berhasil diyakinkan oleh Arteta dan Edu bahwa masa pinjaman separuh musim di Arsenal ini akan membuatnya menjadi pemain yang lebih baik dan dijamin tidak akan membuang waktu kedua belah pihak.

I spoke to him before coming here, of course. That was very important for me and he seems like a top manager and I really liked his ideas, the way he sees football and also the way he is. He gave me a great feeling and that was important for me to come here. He was crucial.

Ødegaard on Arteta

Yeah I was here. I visited the club and trained a little bit. I had a chat with the club and I had a really good feeling when I was here. I was thinking a lot about it. In the end it wasn’t my decision at that time, but I had a really good time and I remember it well.

When I was here the first time, I had a good feeling and every time I heard about the club, I had a good feeling. Now I’m here, so I think it’s maybe meant to be.

Ødegaard on visiting Arsenal as a 15 years boy

Dari wawancara pertama Ødegaard tersebut, kita bisa merasakan bagaimana ia dengan jujur mengatakan bahwa ia merasakan ada koneksi dengan klub ini, bahkan sejak kunjungan di bulan Desember 2014 itu. Setiap ia mendengar atau membaca berita tentang Arsenal, ia merasakan hal yang baik. Tentu adanya Monreal di Sociedad mungkin juga berpengaruh (we know how f*ckin legend Nacho was), Ødegaard berkesimpulan kalau mungkin inilah Jalannya.

Kita kemudian tahu bagaimana lanjutan ceritanya. Selama masa pinjaman 6 bulan tersebut, Ødegaard menjadi pemain kunci Arsenal yang berhasil memperbaiki form Arsenal (silakan baca ulasan musim tersebut), bersama para pemain muda andalan, Emile Smith Rowe dan Saka. Kehadirannya membuat Arsenal dapat menciptakan peluang-peluang yang lebih berkualitas dan banyak, tidak lagi mengandalkan spamming crossing dari sayap. Ia mampu mengisi ruang kosong kreativitas yang ditinggalkan Özil. Yang mengejutkan dari Ødegaard adalah ia juga mampu melakukan pressing dengan baik, gigih dalam duel, dan vokal di lapangan hijau. Berbeda dengan Özil dan Bergkamp yang lebih diam di lapangan, Ødegaard lebih banyak bersuara. Tak heran dalam usia yang masih muda pula (22 tahun), ia telah diangkat menjadi kapten timnas Norwegia.

Where He Belongs

Setelah selesai masa pinjamannya, Arsenal dan Ødegaard merasakan chemistry yang kuat, dan ingin melanjutkan perjalanan ini bersama. Sayangnya Real Madrid punya rencana lain dan ingin mempertahankan Ødegaard, apalagi karena Ancelotti menggantikan Zidane, pelatih yang tidak cocok dengan Ødegaard. Ia sempat mengutarakan maksudnya untuk bergabung dengan Arsenal namun Madrid tidak senang dengan ide tersebut dan menolaknya. Ødegaard pun menuliskan pesan perpisahan kepada rekan-rekannya dan fans Arsenal yang cukup emosional. Sampai saat itu, saya pribadi masih yakin kisah Arsenal dan Ødegaard ini belum berakhir.

Pre-season dimulai dan saya menonton salah satu match pre-season Real Madrid (demi Ødegaard tentunya) dan di sana bisa terlihat disconnect, tidak nyambungnya Ødegaard dengan rekan-rekan setimnya. Ia tidak menjadi pemain yang kita tonton selama 6 bulan berbaju merah putih. Ia seperti tidak belong ke tim itu. Real Madrid tentunya juga merasakannya dan akhirnya mereka memutuskan untuk cash in pemain yang masih bisa dijual tinggi ini dan untuk membiayai transfer Mbappe yang juga merupakan kesempatan emas bagi mereka. Arsenal tentunya menjadi klub pertama yang diinformasikan Ødegaard dan Madrid mengenai keputusan ini. Kesabaran dan keyakinan yang berbuah manis karena Arsenal akhirnya berhasil membeli permanen target utama kita di transfer window musim ini.

With hindsight, keputusan Arsenal untuk tidak menindaklanjuti bid pertama ke Emi Buendia adalah blessing in disguise. Sekarang kita mendapatkan Ødegaard dengan harga yang kurang lebih sama dengan yang dibayarkan Aston Villa untuk Buendia (30 juta pounds ++). Tanpa bermaksud menghina Buendia, Ødegaard adalah pemain yang berada di level yang sangat berbeda. Bakatnya sejak usia muda tidak akan hilang begitu saja. Dengan kerja keras dan berada di lingkungan yang tepat, Ødegaard yang memenuhi potensinya yang luar biasa dapat menjadi pemain kelas dunia yang setara legenda manapun dalam sejarah sepakbola. Itu adalah tantangan baginya dan Arsenal, untuk ciptakan kondisi baginya untuk memenuhi potensi dirinya, to live up to the hype enam tahun silam.

I said the last time, that you know every time I heard about the club I had a good feeling and I said maybe it was meant to be and I’m here again, so I guess it is.

Ødegaard on his second time joining Arsenal, this time permanently.

The Creator-in-making

Melihat caranya bermain, aksinya di lapangan, ingatan saya kembali kepada sosok pemain legendaris, pemain terbaik Arsenal sepanjang sejarah (subyektif – saya tahu). First touch-nya, gerakannya dengan bola, dribblenya yang simple dan kemudian visinya dalam melihat gerakan rekannya dan untuk menemukan mereka dengan operan akurat. Ødegaard saat ini belum berada pada level Özil apalagi disamakan dengan The Perfect Ten, Dennis Bergkamp. Namun kita bisa melihat potensinya, bayangan DB10 dalam dirinya. Mata yang telah mengikuti Arsenal selama 23 tahun ini tidak akan bohong. We recognize quality. Bagi saya, Martin Ødegaard adalah marquee signing, pembelian terbesar Arsenal di transfer window musim ini. Bahkan bisa dianggap a steal mengingat harga yang mesti dibayarkan Arsenal untuknya (setara dengan Xhaka, Mustafi, 5-6 tahun lalu).

Kita mesti bersyukur akhirnya pemain berbakat ini, walaupun mesti detour selama 6,5 tahun ke Spanyol, Belanda, balik lagi ke Spanyol, sekarang menemukan rumahnya di North London, where he belongs. Bila Dennis Bergkamp bergabung dengan Arsenal di usia 26 tahun, dan menjalani karier di Arsenal selama 11 tahun, Mesut Özil di usia 24 tahun dan menjalani 7,5 tahun kariernya di Arsenal, Martin Ødegaard bergabung dengan Arsenal di usia yang lebih muda lagi, 22 tahun. Ia akan menjalani usia keemasannya bersama Arsenal dan sangat mungkin akan menyamai atau bahkan melebihi lama kariernya Bergkamp di Arsenal. Kita sebagai fans Arsenal akan menikmati 5-10 musim ke depan dengan sepakbola kreatif di mana Ødegaard menjadi technical leader. Disokong dengan Saka dan Emile Smith Rowe yang tidak kalah menariknya. Hanya membayangkan itu saja membuat saya sedikit merinding. We’ve got our Arsenal back!

Saya yakin Martin Ødegaard adalah The Creator-in-making, pewaris tahta sejati The Perfect Ten. Semoga saja takdirnya memang menemukan Jalan melayani Tuhannya (the game) di Arsenal.

Jarak Antara Harapan dan Kenyataan adalah Kekecewaan

Judul di atas adalah pepatah filosofis yang mungkin bisa digunakan untuk panduan kehidupan sehari-hari.

  • Jarak antara harapan dan kenyataan adalah kekecewaan.
  • Semakin tinggi harapan kita, semakin besar kekecewaan kita atas kenyataan yang tidak sesuai harapan.
  • Semakin kita tidak berharap, semakin mudah kita dapat menerima kenyataan. 

Postulat di atas bukan hak paten Jalan Arsenal. Bukan pertama kali dan pasti bukan untuk yang terakhir kalinya postulat di atas mengenai harapan, kenyataan dan kekecawaan akan Anda baca dalam hidup. Selalu ingatlah akan kalimat-kalimat di atas setiap Anda mengalami kekecewaan. Pasti akan berguna.

Pada tulisan terakhir di blog ini, preview pertandingan Manchester United vs Arsenal, Jalan Arsenal meramalkan pertandingan itu akan menjadi panggung untuk Özil. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Serangan virus sebelum pertandingan yang memakan 4 korban (Mertesacker, Rosicky, Gnabry dan Arteta) mengakibatkan Mertesacker dan Rosicky harus dipulangkan lebih awal. Arteta dan Gnabry berhasil mengatasi rasa sakitnya dan akhirnya masuk ke skuad hari itu. Serangan virus itu ternyata tidak terbatas pada keempat pemain tersebut. Özil setelah pertandingan dikabarkan juga mengalami hal yang sama. Mungkin itu salah satu sebab mengapa penampilannya tidak optimal sepanjang pertandingan.

Terlepas dari serangan virus tersebut, Wenger tidak mau mencari kambing hitam di luar penampilan timnya sendiri. Menurut Wenger, para pemain Arsenal tampil agak gugup di babak pertama. Di babak kedua mereka tampil lebih baik walaupun mengejar ketertinggalan dari tim juara bertahan tampaknya lebih berat daripada tugas Arsenal di pertandingan-pertandingan sebelumnya. Kegugupan pemain-pemain Arsenal menurut Wenger disebabkan oleh catatan masa lalu hasil pertandingan Arsenal di Old Trafford. Menang hanya 3 kali selama 15 tahun jelas bukan hasil yang dapat dibanggakan. Masalah psikologis ini ternyata lebih berat daripada yang kita bayangkan.

Dalam tulisan yang lalu, saya menyebutkan beberapa faktor yang mesti diatasi Arsenal untuk dapat menang di kandang MU:

“Selama Arsenal bisa membatasi jumlah tendangan bebas dan sudut untuk MU, menjaga konsentrasi penuh saat bertahan sebagaimana dua pertandingan terakhir, dan tidak memberikan MU respek yang berlebihan, Arsenal mestinya bisa menang malam ini.”

Sayangnya ketiga hal ini tidak dapat dilakukan Arsenal malam itu. Arsenal memberikan mereka tendangan sudut berulang kali dan duo SAS (Shrek and Skunk) memanfaatkannya dengan sangat baik. Tendangan sudut Rooney ke area luar zonal marking Arsenal yang berbuah gol (dicetak oleh pemain yang tak boleh disebut namanya) tentunya adalah hasil latihan mereka yang telah mempelajari pertahanan zonal marking Arsenal terhadap bola-bola mati. Demi mengalahkan Arsenal, Moyes melatih MU bak melatih tim seperti Stoke City. Mereka tahu sulit untuk mengalahkan Arsenal dalam permainan terbuka dan kesempatan terbesar adalah dengan memanfaatkan setplay. Rooney sendiri mengakui hal tersebut setelah pertandingan bahwa kelemahan Arsenal ada pada ukuran tinggi pemainnya. Ketidakhadiran Mertesacker memperbesar kelemahan ini. Stoke City 1 – 0 Arsenal.

Demi mengalahkan Arsenal, Moyes melatih MU bak melatih tim seperti Stoke City…

Setelah gol tersebut, di babak kedua praktis MU bermain bertahan dengan sesekali melakukan serangan balik. Dan mereka bertahan dengan sangat baik. Arsenal bermain lebih buruk daripada dua pertandingan sebelumnya. Faktor kelelahan ditambah serangan virus tersebut tampaknya mulai berdampak di babak kedua. Ramsey melakukan banyak sekali kesalahan dalam operan sehingga persentase keakuratan operannya adalah yang terendah sepanjang musim ini, sekitar 60%. Giroud frustrasi sejak babak pertama karena foul-foul kecil pemain MU tidak mendapatkan perhatian wasit. Özil baru tampak “hidup” di babak kedua, namun sayangnya tidak diimbangi dengan penampilan rekan-rekannya. Sementara itu di sisi kanan, Sagna terus memborbardir pertahanan MU dengan crossing-crossing yang sangat bagus tanpa adanya pemain Arsenal di ujung umpan lambung. Bendtner masuk dan tidak memberikan kontribusi apapun. Gnabry masuk dan membuat serangan Arsenal lebih hidup namun agak terlambat. Mungkin salah satu sebab ia tak masuk lebih awal daripada Bendtner adalah serangan virus yang menimpa dirinya. Di saat-saat seperti ini, kita berharap adanya pemain seperti Podolski dan Walcott yang mampu menambah daya gempur lini depan Arsenal. Sayang kedua pemain tersebut demikian lama absen musim ini. Kembalinya kedua pemain tersebut nantinya akan dirayakan seperti pemain baru, like a new signing.

Vermaelen yang menggantikan Mertesacker bermain cukup baik namun absennya ia dari skuad utama Arsenal dalam waktu yang cukup lama ada dampaknya. Pemain Arsenal lainnya rasanya sedikit kurang percaya dengan pertahanan Arsenal tanpa Mertesacker. Ketidakpercayaan ini berakibat di babak pertama, serangan yang dibangun kurang berani karena terlalu berhati-hati. Ini yang dimaksud Wenger dengan kegugupan. Pemain Arsenal bermain dengan rem tangan yang diaktifkan. Mudah-mudahan penampilan Vermaelan yang cukup baik akan menumbuhkan kepercayaan rekan-rekan terhadap dirinya dan menghilangkan kekhawatiran berlebihan ini di pertandingan-pertandingan berikutnya.

Pendek kata, pertandingan ini adalah pertandingan yang sangat mengecewakan karena hasilnya. Mengecewakan lebih-lebih karena harapan fans dan pemain Arsenal yang semakin percaya diri musim ini adalah tiga poin untuk dibawa pulang. Jarak antara harapan dan kenyataan adalah kekecewaan. Karena harapan 3 poin dan hasilnya pulang tanpa poin, kekecewaan itu makin besar. Bila harapannya hanya 1 poin, mungkin kekecewaan yang terjadi tidak akan begitu besar. Jarak ini subyektif, dan kita tentukan sendiri. Pengaturan ekspektasi konon menjadi cara mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.

Karena harapan 3 poin dan hasilnya pulang tanpa poin, kekecewaan itu makin besar. Bila harapannya hanya 1 poin, mungkin kekecewaan yang terjadi tidak akan begitu besar.

Hal positifnya adalah tim ini memberikan harapan yang lebih besar karena memang kita melihat mereka mampu melakukan itu. Sebuah progress dalam hal relasi dan kepercayaan antara tim dan fans Arsenal, yang dalam beberapa musim ini tidak begitu baik. Datang ke MU dan mengambil maksimal poin mungkin tidak berani dimimpikan fans Arsenal musim lalu. Musim ini beda. Kita yakin menang dan akhirnya harus kalah dengan satu gol dari setplay. Kita membuat duo SAS MU yang katanya lebih dahsyat daripada duo SAS Kw Liverpool itu hanya mampu mengancam lewat bola mati ala Stoke City. Kita menyelesaikan pertandingan itu dalam posisi di atas angin walaupun tanpa hasil. Kebobolan hanya satu gol dalam tiga pertandingan besar berturut-turut (dalam satu minggu) dengan hasil 2 kali menang dan 1 kali kalah mungkin akan memberikan perspektif yang lebih baik. Saya memprediksi hasil ronde pertama November Rain ini adalah 2 seri dan 1 menang, total 5 poin. Arsenal berhasil meraih 6 poin dari 2 menang, 1 kalah. Kenyataan ini sudah melebihi harapan saya, maka semestinya saya happy. Bagaimana dengan Anda?

…duo SAS MU yang katanya lebih dahsyat daripada duo SAS Kw Liverpool itu hanya mampu mengancam lewat bola mati ala Stoke City…

Kekecewaan yang tersisa buat saya pribadi adalah gagalnya pertandingan tersebut menjadi panggung untuk Özil. Mungkin prediksi saya terlalu cepat. Seorang pemain yang baru mencicipi Liga Inggris kurang lebih 2 bulan dibebani tugas memimpin timnya menang atas juara bertahan di kandang mereka, mungkin terlalu cepat. Bergkamp melakukannya di Highbury saat melawan Southampton. Pertandingan berikutnya Arsenal secara kebetulan adalah pertandingan di kandang melawan Southampton. Özil punya kesempatan minggu depan untuk membuktikan dirinya sebagai pewaris resmi mahkota Bergkamp. Kalaupun itu tidak terjadi, masih ada minggu-minggu berikutnya. 🙂

Kegagalan mengakhiri musim United secara dini mungkin sedikit kita sesali, tapi sisi positifnya juga ada. Rasanya kurang seru juga bila juara bertahan tumbang di awal kompetisi. Hadirnya kembali United di persaingan puncak liga akan berdampak bagus juga untuk Arsenal. United akan mampu mencuri poin dari tim-tim seperti Chelsea, Manchester City, Liverpool, para pesaing juara musim ini. Toh kita juga tak mungkin menjadi juara musim ini di Old Trafford karena jadwal pertandingannya di bulan November ini. United kita butuhkan untuk “merampok” beberapa poin dari para pesaing juara liga Inggris di musim ini. Untuk itu, kita butuh mereka tetap kompetitif. Selisih lima poin pas rasanya, tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat. Selisih sebelas poin, Ferguson akan bangkit dari kubur untuk menggantikan Moyes.

Selisih sebelas poin, Ferguson akan bangkit dari kubur untuk menggantikan Moyes.

Untuk menghibur fans Arsenal selama satu minggu ini, Jalan Arsenal akan menampilkan cuplikan-cuplikan dari biografi Dennis Bergkamp, Stillness and Speed, tentunya dalam Bahasa Indonesia. Diawali dengan resensi, beberapa chapter dari biografi tersebut akan ditampilkan di sini. Bagi yang tidak mau kena spoiler, disarankan jangan baca. Namun saya akan sebisa mungkin menulis artikel soal Bergkamp sebagaimana membuat sebuah teaser, trailer fillm. Harapannya dengan adanya artikel-artikel soal Bergkamp yang disadur dari biografinya akan semakin menarik fans Arsenal untuk membeli buku itu sendiri. Toh biografinya bukan seperti cerita fiksi, rasanya tidak ada spoiler yang perlu dikhawatirkan mengingat sebagian besar fans Arsenal pasti mengetahui jalan hidup Bergkamp. Tidak jauh dari Jalan Arsenal.

Saat ini biografi Dennis Bergkamp tersebut hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Mudah-mudahan nanti ada penerbit Indonesia yang tertarik. Siapa yang punya link penerbit? Saya sih siap membantu menerjemahkan bila perlu. Permata yang berharga ini sangat sayang bila “disimpan” oleh kalangan terbatas. Apa yang ada di pikiran Bergkamp wajib diketahui seluruh fans Arsenal, tanpa perlu menguasai bahasa Inggris. Semoga ada penerbit buku Indonesia yang juga menjadi fans Arsenal. Kita boleh berharap, namun ingat jangan kecewa ya. Karena jarak antara harapan dan kenyataan adalah kekecewaan. Be Happy!

Mengapa Arsenal?

Mengapa Arsenal?

Mengapa mendukung klub bola dari sebuah negeri asing yang letaknya 10.000 km lebih dari tempat tinggalmu?

Mengapa mendukung sebuah tim bola yang mungkin seumur hidup pun tak dapat engkau kunjungi, tonton dan support langsung di stadion kandangnya?

Mengapa mencintai sesuatu yang mungkin tidak pernah mengenal dirimu, alih-alih mengharapkannya membalas cintamu?

Mengapa mendukung tim bola yang delapan tahun terakhir ini gagal mendapatkan trofi?

Mengapa tidak mendukung klub bola lokalmu saja?

Berbagai pertanyaan aneh namun relevan di atas sering dilontarkan saudara, teman atau bahkan orang asing yang kita temukan di twitter. Saya sendiri sering mendapatkan pertanyaan serupa, terutama ketika sedang nge-twit soal Arsenal dengan hasrat yang tidak kalahnya dengan hasrat fans JKT48 ketika mereka menonton penampilan idolanya. Istri pun pertama sempat kaget, bingung, lalu komplain karena ia merasa sering “diduakan” setelah Arsenal. Bahkan saat pacaran dulu, malam minggu sering kami isi dengan nobar pertandingan Arsenal. Keributan kecil pun terkadang terjadi, namun karena cintanya, lambat laun pacar yang lalu menjadi istri ini pun akhirnya bisa menerima. Lambat laun, mungkin karena kagum dengan militansi dan hasrat pasangannya ini dalam mendukung tim Merah Putih ini, ia suatu hari menyatakan dirinya “pindah agama”, dari pendukung Manchester United ke Arsenal. Ia akhirnya kembali ke Jalan yang Benar. 🙂

Masing-masing Gooner mungkin punya jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya akan mencoba menceritakan sedikit awal mula kisah cinta saya dengan Arsenal. Tagline “born not as a Gooner but will die as one” dipakai untuk blog ini bukan sebagai pepatah klise tanpa keyakinan nyata. Kemelekatan terhadap klub yang satu ini sudah demikian kuat sehingga sudah menjadi identitas diri. Melebihi tempat asal, suku, ras dan mungkin agama. Bukan suatu hal yang sehat, mungkin. Namun inilah yang saya rasakan dan tidak malu untu mengakuinya. Arsenal menjadi tempat aktualisasi emosi, label jati diri, dan bagian yang kuat dari kehidupan sehari-hari. Lima belas tahun sudah ikatan sepihak diri ini dan Arsenal terjadi, dan makin hari makin kuat, terlepas dari jumlah trofi dan prestasi klub ini.

Sebagaimana semua kisah cinta romantis, kisah ini juga berawal dari jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan objek cinta itu bernama Dennis Bergkamp. Waktu itu saya sudah mulai kuliah di Bandung. Semasa SMP dan SMU olahraga yang saya sukai bukan sepakbola. Kalau bermain sepakbola pun, umumnya menjadi center back karena badan yang cukup tinggi. Larinya kurang cepat untuk menjadi striker maupun winger. Sepakbola juga menjadi olahraga yang “mahal” karena kurangnya lapangan bola beneran di kota asal saya. Kami hanya bisa bermain sepakbola di lapangan rumput sekolah yang ukurannya kurang dari separuh lapangan bola, dengan kaki ayam tanpa sepatu bola (saat itu tergolong mahal). Waktu itu futsal juga belum ada. Kami akhirnya lebih sering bermain basket dan badminton daripada sepakbola. Klub bola lokal juga tidak berkompetisi di liga pro nasional. Demikianlah masa sekolah dilewati tanpa pernah mengenal olahraga terpopuler dunia ini dengan lebih dalam. Siaran langsung liga Italia saat itu juga diikuti selintas saja. Paling yang mash diingat hanyalah nama-nama pemain tim nasional negara-negara terkenal saat Piala Dunia. Seperti Roberto Baggio, yang tampil fenomenal di Piala Dunia 1994.

Tahun 1997, saya ke Bandung untuk kuliah. Saat itu liga Inggris sudah ditayangkan di televisi swasta dan perlahan menggeser dominasi liga Italia. Teman-teman yang merantau bareng dari kampung ada yang sudah menjadi pendukung klub Inggris. Ada yang memilih Liverpool, namun kebanyakan menjadi fans Manchester United (biasa, glory hunter hehe). Saya belum terlalu menyukai liga Inggris, lebih suka menonton turnamen internasional. Maka berlalulah tahun pertama kuliah itu tanpa mengikuti liga Inggris atau liga manapun secara reguler di televisi.

Bulan Juni 1998, Piala Dunia di Perancis dimulai. Pada tahun itu juga game FIFA World Cup 98 dirilis. Saat itu sudah punya Playstation dan hype Piala Dunia 98 membawa kami untuk bermain game FIFA. Entah kenapa, saya sering memilih tim Belanda setiap kali main FIFA. Mungkin karena reputasi Total Football-nya, atau reputasi trio Gullit-Van Basten-Rijkaard yang sudah sangat terkenal di Indonesia di awal tahun 90-an, atau karena suka saja dengan seragam Oranye-nya. Secara otomatis tim jagoan saya di Piala Dunia 98 itu adalah Belanda.

Kebetulan pula Belanda tampil fenomenal di PD 98. Piala Dunia 98 adalah salah satu Piala Dunia terbaik dengan partisipasi tim-tim dengn kekuatan merata dan bintang yang terkenal di setiap tim. Zidane di Perancis, Ronaldo si kuncung di Brasil bersama Rivaldo dan Bebeto, Gabriel Batistuta-nya Argentina, dan Davor Suker Kroasia. Baggio juga masih bermain, namun bintang Italia saat itu adalah Christian Vieri. Pemain-pemain bintang di PD 98 rata-rata bermain di Serie A, liga terbaik dunia saat itu.

Belanda yang tidak diunggulkan karena tampil buruk di Euro 96 ternyata mengejutkan dengn kelahiran kembai Total Football di tangan pelatih Guus Hiddink. Pemain-pemain Belanda tampil menonjol seperti si kembar De Boer, Edgar Davids, Bergkamp, Kluivert dan Overmars dan itu tercetak kuat di ingatan. Dan gaya permainannya sangat menarik di mata. Pemain tengah dan belakang hingga depan saling bertukar posisi, possession football dan overlapping full back. Belanda begitu mendominasi alur permainan setiap pertandingan. Dan yang paling berkesan tentunya adalah gol luar biasa Bergkamp ke gawang Argentina yang mengantarkan Belanda ke semifinal. Menyambut umpan lambung jauh dari Frank De Boer di menit ke-89 saat skor 1-1, Bergkamp dengan first touch-nya menghentikan bola di udara sambil melompat, second touchnya memantulkan bola sambil nutmeg Roberto Ayala, dan third touchnya adalah sontekan ke gawang Argentina. Dengan tiga sentuhan, Bergkamp membawa Belanda ke semifinal Piala Dunia.

Dalam sekejap, nama Bergkamp melompat jauh ke top table pesepakbola favorit saya, menggeser Roberto Baggio yang bertengger di puncak sejak 4 tahun lalu. Bagi saya, Bergkamp adalah pemain terbaik di turnamen itu, melebihi Zidane.

Sayangnya Belanda yang tampil lebih menawan daripada yang kemudian menjadi juara dunia, Perancis, akhirnya mesti puas dihentikan Brasil di semifinal. Walau Belanda kalah, pandangan pertama pada Bergkamp dan golnya membuat saya jatuh cinta. Mulailah mencari tahu ia bermain di klub mana. Ternyata ia bermain untuk Arsenal dan baru saja mengantarkan klub Inggris tersebut menjadi juara musim itu (1997/1998). Walaupun agak terlambat, tidak sempat menyaksikan perjalanan Arsenal menghentikan dominasi Manchester United di musim itu, saya berjanji pada diri sendiri akan selalu mengikuti aksi Bergkamp di liga Inggris. Terlalu sayang untuk dlewatkan.

Musim pertama saya mengikuti Bergkamp yang juga artinya mengikuti Arsenal, Arsenal tidak berhasil menjadi juara. Kalah satu poin dengan Manchester United yang kembali menjadi juara musim itu. Kepahitan di akhir musim ditambah dengan penjualan Anelka ke Real Madrid. Namun Wenger bergerak cepat. Pemain muda Perancis bertalenta luar biasa ini langsung digantikan dengan pemain muda Perancis lainnya yang malah akhirnya menjadi legenda klub, Thierry Henry. Musim kedua saya mendukung Arsenal juga berakhir tanpa gelar. Dan kali ini giliran Overmars dan Petit yang hengkang ke Barcelona. Masuk Robert Pires dan Wiltord. Musim ketiga kembali tanpa gelar juara. Namun menonton aksi Bergkamp dan kali ini dilengkapi dengan Henry, Pires, Vieira, Ljungberg cukup memberikan harapan. Perlahan sepakbola yang mirip dengan Total Football Belanda mulai dimainkan Arsenal. Musim berikutnya Arsenal akhirnya meraih Double kedua di bawah asuhan Wenger. Penantian tiga musim mendukung Arsenal akhirnya berbuah manis. Memang beda rasanya menjadi juara setelah dengan sabar dan setia mendukung selama beberapa tahun. Banter dengan teman-teman saya yang fans MU pun tak terelakkan. Arsenal benar-benar mendominasi musim 2001/2002 itu. Tidak hanya menang, namun menang dengan permainan indah. Seperti kata Bergkamp:

Arsène Wenger’s idea is not only to play good football. It’s to play good football to win. In my day, we knew that with our style we could hurt teams and win trophies too. But we did it our way, with the positional game, passing, movement.

Musim berikutnya Arsenal tetap dominan walaupun akhirnya disalip MU di akhir musim. Gelar FA Cup menjadi penghibur. Wenger yang mengatakan di musim itu (2002/2003) bahwa timnya bisa saja tanpa terkalahkan sampai akhir musim akhirnya diejek media dan lawan. Siapa yang menyangka musim berikutnya (2003/2004) hal yang tidak mungkin tersebut terealisasikan. The Invincibles dengan rekor W 26 D 12 L 0 mencatatkan rekor di liga Inggris sebagai tim satu-satunya yang tidak terkalahkan sejak lebih dari 100 tahun kompetisi liga Inggris. The Invincibles pertama adalah Preston North End dengan rekor W 18 D 4 L 0 di musim 1888/1889. Jumlah pertandingan yang berbeda jauh dan jarak waktu yang lebih dari 100 tahun membuat rekor tak terkalahkan The Gunners saat itu semakin istimewa. Dan rekor ini belum pernah disamakan hingga sekarang.

Arsenal pindah ke Emirates Stadium di awal musim 2006/2007 dan Bergkamp pun memainkan pertandingan terakhirnya sebagai pemain Arsenal dan sebagai pemain profesional, pertandingan testimonial yang sekaligus menjadi pertandingan pertama stadion baru tersebut. Arsenal melawan Ajax, current and legends. Alpha dan Omega, yang pertama dan yang terakhir. Pemain-pemain legenda Belanda/Ajax seperti Cruyff, Rijkaard, Van Basten, dan kembar de Boer ikut bermain. Perpisahan yang mengharukan, tanpa terasa air mata in pun menetes. Namun perpisahan dengan Dennis Bergkamp ini tidak berarti perpisahan dengan Arsenal. Bergkamp yang mengenalkan saya kepada Arsenal. Rasa cinta ini sudah meluas tidak hanya kepada dirinya, tapi juga kepada klub yang dicintainya. Arsene Wenger dengan filosofi hidup dan sepakbolanya menambah kuat kemelekatan ini. Tujuh tahun telah berlalu sejak pertandingan terakhir Bergkamp itu, dan Arsenal belum berhasil mendapatkan trofi apapun sepeninggalnya. Namun hati ini tetap untuk Arsenal. Tak bisa berpaling ke lain hati. Cinta sejati adalah soal selalu bersama baik di saat suka maupun duka, bukan? Soal kesetiaan dan saling pengertian.

Dan sebagai alpha dan omega dari tulisan ini, rasanya tidak ada yang lebih cocok daripada kutipan dari sang legenda, DB10, untuk menutup tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Dennis Bergkamp was asked about the lack of silverware at Arsenal, and the Dutchman was poised with one of the best Arsenal quotes I’ve ever seen.

I really like Arsenal. But you, do you like Arsenal? Or just Arsenal with Trophies?