We’ve Got Our Arsenal Back!

NLD Double Winners 2022/2023

Yes, we’ve got our Arsenal back! North London Derby musim ini diakhiri dengan kemenangan tandang 2-0 Arsenal atas Spurs, melengkapi kemenangan di kandang 3-1 di bulan Oktober. Dengan demikian Arsenal melakukan derby league double musim ini atas Tottenham, pertama kalinya sejak 2014, sembilan tahun lalu ketika Mikel Arteta masih bermain untuk Arsenal. Saat itu Arsenal hanya menang 1-0 di kedua pertandingan home and away, dengan gol dari Giroud dan Rosicky.

Dibandingkan musim 2013/14, derby league double atas Spurs musim ini dicapai dengan lebih meyakinkan, lewat permainan yang sangat dominan dari Arsenal. Bila hanya melihat dari statistik jumlah possession dan peluang yang diciptakan, maka terlihat seakan-akan kedua tim bermain imbang. Namun mereka yang menonton penuh pertandingan ini pasti punya satu kesimpulan: “Tottenham get battered (everywhere they go)”. Babak pertama pertandingan ini adalah 45 menit terbaik dari sebuah tim sepakbola di Premier League. Spurs tidak berdaya dikurung Arsenal di paruh lapangannya sendiri, setiap kali tembakan atau operan Arsenal gagal, counterpressing terjadi dan pemain-pemain Arsenal kembali mendapatkan bola entah lewat tackle ataupun interception dan gelombang serangan pun dimulai kembali. Setiap operan Arsenal memiliki tujuan, setiap gerakan pemainnya mengikuti pola tertentu, mengisi ruang yang ditinggal rekannya, dengan jarak antar pemain yang tetap dijaga berdekatan, tak lebih dari 5 meter. Inilah Positional Play ala Pep yang digabung dengan Counterpressing ala Klopp, Artetaball 3 years in the making. Tiga tahun lamanya kita menanti, setelah perombakan skuad besar-besaran yang mengikuti filosofi sepakbola Arteta, akhirnya sekarang kita mulai bisa melihat dengan jelas pantai seberang – destinasi yang diinginkan semua klub sepakbola di Inggris: gelar juara Premier League.

Kunci dalam dominasi Arsenal atas Spurs di malam itu ada pada tiga pemain: Thomas Partey, Martin Odegaard, dan Oleksandr Zinchenko. Ketiga pemain ini menjadi technical leaders Arsenal dalam hal build-up play maupun pressing. Heatmap ketiga pemain tersebut bisa dilihat di grafik di bawah ini.

Zinchenko menjadi pemain build-up fase 1 yang mampu menganulir pressing lawan lewat pergerakan dan operan bolanya yang kreatif, mengejutkan. Menonton bola lewat layar kaca, kita diuntungkan dengan pemahaman posisi-posisi pemain lewat bird-eye view yang tidak dimiliki pemain-pemain di lapangan. Namun Zinchenko tetap dapat mengejutkan penonton dengan operan dengan sudut yang tak terduga. Operan yang hanya bisa dilihat olehnya. Bila penonton saja tidak mampu melihatnya, apalagi pemain lawan. Berulang kali ia melepas bola diagonal, operan ke samping, atau through ball ke depan tanpa bisa diantisipasi lawan. Kemudian ia bergerak ke tengah dari posisi leftback-nya, mengacaukan marking lawan dan sesukanya bergabung dengan pemain-pemain tengah Arsenal untuk mendominasi lapangan tengah (tentunya saat itu terjadi biasanya Xhaka akan mengisi posisi kosongnya, atau Gabriel yang maju ke depan). Bila pemain-pemain City mengatakan Zinchenko adalah pemain dengan technical skill terbaik di tim mereka yang penuh bintang, saya rasa pemahaman taktiknya juga yang terbaik di tim ini. He’s the best inverted fullback cum CM in this league, bar none.

Thomas Partey telah menjadi complete midfielder yang saya bayangkan sejak awal ia bergabung. Dua tahun yang lalu, saya menulis artikel tentang dirinya yang berakhir dengan pernyataan: “Mari kita tunggu apakah Partey bisa menjadi Vieira Mk II.” Thomas Partey menjawab pernyataan/pertanyaan itu musim ini dengan “Yes, I can.” Ia mampu memerankan tugas single pivot di formasi 4-3-3 yang membutuhkan penampilan konsisten dalam hal build-up maupun break-up play. Ia melakukan 92% operan akurat (dan terbanyak di pertandingan ini), memenangkan 83% duel, selalu berada di posisi yang tepat untuk merebut bola kembali (8 recoveries, 2 tackles) dan mendistribusikannya dengan akurat kepada pemain penyerang Arsenal. Gol pertama Arsenal terjadi setelah umpan lambung terobosan Partey kepada Saka. Dan jangan lupa tendangan geledeknya yang sayangnya masih menghantam tiang gawang.

Odegaard, kapten Arsenal yang bagi banyak pengamat saat ini sedang memimpin perebutan gelar Player of The Season, menyumbangkan satu gol lewat tendangan jarak jauh. Aksi yang efektif karena pemain-pemain Spurs bermain sangat dalam. Bersama Saka, Odegaard menjadi pemain Arsenal yang menyumbangkan Goal dan Assist terbanyak di liga (13 G+A). Tinggal 2 gol lagi ia akan mencetak dua digit gol di liga untuk pertama kalinya dalam karier pro-nya. Selain perannya sebagai poros kreativitas Arsenal, Odegaard juga menjadi mesin pressing Arsenal. Pemain ini perlahan-lahan membuktikan dirinya pantas menjadi pewaris tahta sejati The Perfect Ten, walaupun ia mengenakan kostum bernomor 8. Angka delapan bagi saya pribadi adalah angka yang sempurna (kebetulan lahir di tanggal 8), Infinity.

Di babak kedua, Spurs memberikan perlawanan dengan lebih banyak menyerang (kebanyakan lewat umpan crossing). Arsenal sudah mengantisipasi hal itu dan bertahan dengan sangat baik. Gabriel dan Saliba menjadi tembok kokoh di belakang dan ketika bola lolos dari mereka, ada Ramsdale yang telah kembali ke permainan terbaiknya. Selain itu ketiga pemain depan Arsenal: Nketiah, Saka dan Martinelli terus mengancam lewat counterattack yang cukup berbahaya. Nketiah sendiri melakukan tiga tembakan di babak kedua.

Three Years In The Making

Penampilan Arsenal saat melawan Spurs bukan penampilan unik di musim ini. Di semua pertandingan liga musim ini, Arsenal selalu tampil dominan sejak babak pertama. Hanya satu kali Arsenal gagal mencetak gol di liga musim ini, yaitu saat melawan Newcastle. Walaupun demikian di pertandingan tersebut Arsenal mendominasi total pertandingan dan membuat Newcastle terlihat seperti tim papan tengah (walaupun duduk di top four klasemen). Bahkan saat kalah melawan MU sekalipun (damn VAR), pertandingan tetap didominasi oleh Arsenal. Konsistensi inilah yang membawa Arsenal ke puncak klasemen (hampir) paruh musim, memimpin 8 poin di atas Manchester City dengan jumlah pertandingan yang sama.

Tidak ada pundit dan mungkin juga fans Arsenal di awal musim ini yang berani memprediksi Arsenal bisa berada di posisi seperti ini sekarang. Dengan posisi di peringkat lima liga musim lalu, Arsenal yang tidak lolos ke Champions League melompati empat tim di atasnya hanya dalam jangka waktu beberapa bulan. Bagaimana mungkin? Apa sebabanya? Mari kita lakukan flashback sedikit sambil refreshing ingatan kita.

The Light at The End of The Tunnel

Tiga tahun lalu, ketika Arteta ditunjuk menjadi head coach Arsenal (20 Dec 2019), ia menemukan kondisi dressing room yang toxic, stadion yang fans-nya terbelah dan disconnect dari tim, dan value Arsenal yang sedang mengalami tererosi dengan cepat (sudah diingatkan oleh Wenger di perpisahannya). Arsenal mengalami krisis identitas dan kepercayaan diri dan ia mewarisi tim yang sedang terjun bebas ke dasar klasemen (peringkat ke-11 saat itu). Arteta menyadari itu dan hal pertama yang ia katakan di konferensi pers adalah ia ingin menanamkan 4 hal penting sebagai pondasi dasar timnya: komitmen, akuntabilitas, agresi dan gairah untuk bermain sepakbola mewakili klub ini (silakan baca The Arteta Way).

Di 10 match pertamanya, Arteta introduksi ulang Mesut Ozil yang disingkirkan Emery sebelumnya, ke dalam tim. Bermodal hubungannya dengan Ozil sebagai pemain di Arsenal, Arteta mencoba mengembalikan Ozil ke permainan terbaiknya. Penampilan Arsenal menjadi lumayan, mendekati form tim top four (lihat grafik di bawah ini – garis merah adalah semenjak Arteta pegang tim).

Grafik Performa Arsenal 2019/2020

Namun kemudian Covid-19 outbreak melanda Premier League dan liga ditunda selama 3 bulan. Selama break tersebut terjadi clash antara Arteta dan Ozil. Yang kita tahu Ozil tidak mau mengikuti usulan Arteta dan klub untuk memotong gaji pemain sebagai bagian dari program menolong klub untuk dapat melewati masa pandemi karena saat itu penonton dilarang ke stadion sehingga pemasukan klub akan berkurang drastis. Selain itu, selama break Arteta dan coaching staff memberikan tugas khusus yang harus dijalankan oleh semua pemain yang berlatih masing-masing di rumah mereka sendiri dan online meeting reguler untuk mengecek progress latihan mereka. Kemungkinan Ozil juga tidak mengikuti penuh instruksi ini.

Dampaknya, saat Premier League dimulai kembali di bulan Juni, Ozil tidak pernah lagi bermain untuk Arsenal, termasuk ketika Arsenal menang di semua pertandingan sisa di FA Cup. Inilah demonstrasi pertama non-negotiables Arteta, 4 tiang pondasi dasar (komitmen, akuntabilitas, agresi dan gairah) yang dirasakan tidak lagi dimiliki oleh Ozil sehingga ia tidak pantas dimasukkan ke dalam skuad. Absennya Ozil tentunya berdampak terhadap gaya bermain Arsenal. Arteta harus mengubah formasi timnya ke 3-4-3 dan lebih mengandalkan counter attacking football. Arsenal hanya mampu finish di peringkat delapan, padahal sebelum Covid break mampu mendekati form tim top four (lihat grafik performa Arsenal di atas). Trofi FA Cup akhirnya menjadi pelipur lara musim tersebut dan terang di ujung terowongan gelap itu mulai terlihat.

Formasi dan Starting Line Up Arsenal 2019/2020

First Full Season (2020/2021)

Di musim berikutnya, Arsenal memulai dengan mendapatkan trofi lagi, kemenangan penalti atas Liverpool di Community Shield. Ozil tetap dikucilkan dari skuad, Arsenal tidak berhasil menjualnya karena gajinya yang sangat tinggi. Arteta tetap mengandalkan formasi 3-4-3 di pertandingan tersebut dan lanjut di 3 pertandingan pertama liga. Willian, Gabriel dan Partey bergabung di musim tersebut. Liverpool membalas kekalahan di Community Shield dengan kemenangan di kandang Arsenal di GW3 yang membuat Arteta menyadari keterbatasan formasi 3-4-3 nya dan mulai “memaksa” timnya bermain 4-3-3. Eksperimen ini bisa dikatakan gagal karena dalam 11 laga liga berikutnya, Arsenal hanya menang 2 kali, seri 2 kali dan sisanya kalah, total 8 poin dari 11 match – formnya tim degradasi. Dan benar Arsenal jatuh ke peringkat 15 musim itu di GW14, peringkat terendah sepanjang sejarah Arsenal dalam 25 tahun terakhir (musim 1994/95 Arsenal pernah turun ke peringkat ke-15 selama satu minggu). Lini depan yang berisi Aubameyang, Lacazette, Willian dan terkadang Pepe hanya bisa mencetak 6 gol dalam periode 11 match tersebut.

Untuk menambah luka The Gunners, pemain kreatif dengan gaji termahal di Arsenal yang sedang diisolasikan Arteta membuat twit “mockingan” seperti di bawah ini. Dan tentunya Arsenal kemudian kalah 0-2 lawan Spurs di kandang sendiri.

Masuk ke bulan Desember melawan Chelsea-nya Lampard yang sedang naik daun, Arteta tetap tidak mau menggunakan jasa Ozil. Baginya Ozil’s is finished at Arsenal dan seluruh manajemen klub mendukungnya. Ia mengalihkan harapannya pada pemain-pemain muda Arsenal, mencoba formasi baru 4-2-3-1 dan memasang Emile Smith Rowe untuk pertama kalinya di starting line-up bersama Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli di belakang Lacazette.

Siapa sangka pertaruhan inilah yang kemudian membentuk timnya di kemudian hari karena tiga pemain ini menjadi poros utama tim Arsenal sampai sekarang. Arsenal menang 3-1 dengan gol dari Laca, Xhaka dan Saka (it rhymes). Dalam 24 pertandingan berikutnya, tim Arsenal dengan pemain-pemain muda ini meraih 1.96 PPG (point per game), form yang layak masuk ke top four Premier League, bahkan di atas tim peringkat kedua musim tersebut (lihat Grafik Performa Arsenal).

Grafik Performa Arsenal 2020/2021

Faktor penting dalam peningkatan performa ini adalah Arsenal berhasil membersihkan dressing room dari pemain-pemain yang tidak masuk lagi dalam planning Arteta seperti Ozil, Mustafi, Sokratis dan Kolasinac dengan rilis permanen atau loan out ke klub lainnya di bulan Januari. Guendouzi telah disingkirkan sebelumnya di bulan Oktober dengan loan out ke Hertha Berlin. Seluruh manajemen Arsenal all out di belakang Arteta, percaya dengan proses yang sedang dijalankannya, pada tim yang sedang dibangunnya. Bonusnya yang tidak kalah penting saat itu: mereka mendatangkan Martin Odegaard dalam bentuk loan dari Real Madrid.

Sayangnya performa di 14 match awal musim itu demikian buruknya (1.0 PPG) sehingga performa di dua pertiga akhir musim tersebut tidak mampu mengangkat peringkat Arsenal masuk ke zona Eropa, hanya bisa finish di peringkat ke-8, sama dengan musim sebelumnya. Namun, bagi fans Arsenal yang jernih, kita bisa melihat adanya progress dan tanda-tanda positif dari calon tim penantang top four yang sedang dibentuk Arteta. Trust the process, kata Arteta. Yes we do, kata fans yang bergairah terutama dengan penampilan pemain-pemain muda baru Arsenal. Emile Smith Rowe, pahlawan musim itu juga kemudian menandatangani kontrak barunya sebelum musim baru dimulai. Yes, we have a new No.10!

Formasi dan Starting Line Up Arsenal 2020/2021

Second Full Season (2021/2022)

Bila fans Arsenal belum semuanya masuk gerbong Trust The Process, pemilik Arsenal (KSE) telah percaya penuh dengan proses yang sedang dijalan Arteta tanpa ragu sedikitpun. Hal ini karena semua executive dan staff Arsenal bisa melihat dan merasakan proses di balik layar, transformasi tim secara mental maupun teknikal di training ground sehari-hari yang tidak bisa dirasakan fans, dan tentunya ini semua dilaporkan kepada The Kroenkes. Fans Arsenal baru bisa tahu sedikit apa yang terjadi di balik layar dan dressing room setelah menonton serial dokumenter All or Nothing-nya Amazon yang dirilis setelah musim tersebut berakhir.

Bentuk kepercayaan KSE itu diberikan dalam wujud transfer budget yang tidak tanggung-tanggung. Arsenal memecahkan rekor transfer di summer window tersebut (silakan baca series Transfer Window 2021/2022 untuk lebih jelasnya) dengan total pembelanjaan sekitar 145 juta pounds. Padahal Arsenal tidak berkompetisi di Eropa sama sekali yang artinya jumlah pemasukannya jauh lebih sedikit dibanding tim-tim besar lainnya. Manajemen memberikan Arteta semua pemain yang ia inginkan: Ben White, Ramsdale, Odegaard (yeah permanen!), Tomiyasu dan dua pemain muda Sambi Lokonga dan Nuno Tavares. Selain itu pemain-pemain yang tidak diinginkannya berhasil dijual atau dilepas seperti Guendouzi, Torreira, dan Willian. Secara internal, manajemen memasang target musim ini adalah musim di mana Arsenal bisa kembali ke Eropa (minimal top six). Saya menulis harapan saya dalam artikel Rebuilding Arsenal (total ada 3 bagian) dan mengakhirinya dengan kalimat: “Untuk saat ini, mari kita menikmati mendukung Arsenal tanpa beban.”

Namun Arsenal memulai musim tersebut dengan tiga kekalahan beruntun. Kombinasi absennya pemain inti karena kasus Covid, cedera, pemain baru yang belum bergabung dan mesti melawan Man City dan Chelsea dalam tiga match awal. Arsenal langsung terpuruk di dasar klasemen. Dari tanpa beban menjadi tanpa harapan dengan cepatnya… Untungnya ada international break selama 2 minggu yang memungkinkan pemain-pemain Arsenal yang cedera dan positif Covid untuk sembuh, dan pemain-pemain baru untuk berintegrasi dengan tim. Dan yang tak kalah penting, 2 minggu itu sangat berguna untuk Mikel Arteta evaluasi diri dan timnya, melakukan konsolidasi kemudian merencanakan comeback Arsenal ke tempat yang semestinya. Ia mengatakan 2 minggu tersebut adalah 2 minggu terbaik baginya dalam karir sepakbolanya, karena ia kemudian menemukan dukungan sejati di klub dan keluarganya.

Saya menulis bagaimana Arsenal kemudian tampil bak tim top four setelah break tersebut di artikel Race to Top Four ini. Arsenal melaju kencang dan meraih kemenangan demi kemenangan (masih ingat kemenangan 3-1 di kandang atas Spurs?). Chant baru pun berkumandang, Saka and Emile Smith Rowe dan Super Mik Arteta.

Namun ada sedikit setback dalam penampilan Arsenal setelah itu yang disebabkan oleh Aubameyang, sang kapten. Ketika teman-temannya tampil baik, Auba yang menjadi pemain dengan gaji tertinggi tidak mampu memberikan penampilan yang merepresentasikan gajinya itu di lapangan. Auba pun mulai terpinggirkan, ditaruh di bangku cadangan. Puncaknya adalah pelanggaran indisipliner yang kontroversial itu, saat ia telat kembali dari Perancis setelah diberikan izin untuk menjenguk ibunya yang sakit. Mikel Arteta mengeluarkannya dari skuad saat match day dan beberapa hari kemudian mencabut ban kaptennya dan menyuruhnya untuk berlatih sendirian. Non-negotiables yang dilanggar oleh Auba berdampak pada keputusan klub yang diambil tegas: Auba dilepas ke Barca gratis.

Setelah sempat flirting dengan posisi top four sebelum turun performanya, Arsenal post Auba mengalami peningkatan performa hingga masuk ke peringkat empat beneran. Laca menjadi kapten dan striker utama Arsenal di periode ini. Namun performa Laca pun juga menurun (gerakannya yang makin melambat karena faktor usia) dan Arsenal mengalami setback dengan tiga kekalahan beruntun (Crystal Palace, Brighton, Southampton). Nketiah diperkenalkan Arteta ke starting line up menggantikan Laca dan mulai mencetak gol-gol penting. Sayangnya cederanya beberapa pemain inti di penghujung musim dan gap level antara pemain cadangan dan inti Arsenal yang cukup besar, serta tekanan mental terhadap tim muda ini berakibat dua kekalahan Arsenal lawan Spurs dan Newcastle yang artinya Arsenal gagal lolos ke Champions League. Hal yang tentunya mengecewakan ketika Arteta, pemain dan fans sudah memiliki kepercayaan bahwa hal itu bisa dilakukan musim kemarin, terutama setelah sempat berada di zona Top Four (lihat grafik di bawah ini) cukup lama. Saya saat itu memprediksi Arsenal bisa finish dengan 73 poin namun Arsenal hanya bisa finish dengan 69 poin di peringkat lima.

Grafik Performa Arsenal 2021/2022

Blessing in disguise, tidak lolosnya Arsenal ke Champions League ini kemudian menjadi berkah untuk musim ini. Siapa yang menyangka…

Year 3 of Super Mik Arteta (2022/2023)

Top four adalah bonus untuk musim lalu bila tercapai, target utama adalah top six yang mana hal ini dicapai oleh Mikel Arteta dan tim dengan mudah. Setelah menonton All or Nothing Arsenal, kita sebagai fans jadi tahu lebih banyak dengan apa yang terjadi di belakang layar. Betapa kecewanya para pemain dan Arteta ketika mereka kalah tiga kali berturut-turut di periode pre-Nketiah tersebut dan kemudian kalah lagi dua kali lawan Spurs dan Newcastle di akhir musim. Kita juga bisa melihat drama seputar dihukumnya Auba oleh klub dan bagaimana mantan kapten ini mengecewakan manager yang memilihnya. Kita melihat bagaimana Tim Lewis, Vinai, Edu all out mendukung Arteta. Kita melihat proses tersebut dan seluruh supporter Arsenal sekarang percaya. Top four will be ours this season.

Untuk menyuntik mental juara ke dalam tim, Arteta dan Edu beralih pada pemain Man City yang menjuarai 4 gelar liga dalam 5 tahun terakhir ini: Gabriel Jesus dan Oleksandr Zinchenko. Selain itu penderitaan yang dialami tim muda Arsenal karena gagal ke Champions League bukannya mematahkan semangat malah justru memperkuat rasa lapar mereka untuk sukses di musim ini. Jesus dan Zinchenko memberikan contoh dan inspirasi bagaimana pemain dengan mental juara itu mestinya berlatih, mempersiapkan diri sebelum pertandingan, dan sikap tak mau kalah di lapangan. Dengan kualitas tim yang bertambah, skuad muda hanya akan makin membaik. Proyeksi perkembangannya adalah ke atas bukan ke bawah. Dengan pondasi yang kuat, Anda tidak perlu heran kalau struktur atas bangunan akan dibangun jauh lebih cepat (Civil Engineer pasti tahu hal ini).

Musim ini Arteta menyempurnakan formasi 4-3-3 Arsenal dengan Gabriel Jesus yang memerankan false nine dengan sangat baik dan Thomas Partey sebagai single pivot. Xhaka berubah peran menjadi free role left eight yang sering menjadi third runner dan Odegaard memantapkan posisinya sebagai poros kreatif Arsenal. Selain itu Arteta membuang ide left back sebagai bagian dari “5 penyerang” Arsenal dengan adanya Zinchenko yang sangat fasih memainkan peran inverted fullback dan beralih pada Martinelli. Struktur formasi yang disukai Arteta adalah 5 penyerang dan 5 pemain pendukung. Bila sebelumnya “5 penyerang” tersebut adalah LB – LW (drift inside) – CF – AMR – RW maka musim ini berubah menjadi LW – AML – CF – AMR – RW. Kita bisa melihat posisi Saka dan Martinelli yang simetris dan keduanya menjadi isolation player walaupun sedikit berbeda style-nya. Ini dimungkinkan karena peran Xhaka dan Zinchenko tersebut.

Sedangkan “5 pemain pendukung” itu ditempatkan dengan posisi:

LB – DM / LCB – RCB – RB (dengan kebebasan untuk naik ke lini depan untuk overlapping di sayap kanan)

Zinchenko dan Partey menjadi poros build-up Arsenal. Di sisi kiri, ketika Martinelli menusuk ke dalam, maka Gabriel Jesus akan pindah ke sayap. Ketika Zinchenko ke tengah, Xhaka akan cover space left back yang ditinggalinya. Di sisi kanan, ketika Saka masuk ke dalam, Ben White akan melakukan overlapping. Odegaard kemudian akan melakukan kombinasi dengan Saka dan Ben White untuk kemudian memberikan final pass ataupun shoot. Kelima pemain depan ini juga akan melakukan pressing tinggi ketika Arsenal kehilangan bola. Dan ketika pressing lini pertama ini lewat, Partey biasanya akan dapat melakukan tackle ataupun interception. Gabriel dan Saliba bermain dengan lini pertahanan yang tinggi tapi mereka nyaman karena percaya pada kecepatan mereka untuk marking ataupun recovery saat diserang counter attack. Pattern yang sama ini diulang-ulang dengan sedikit variasi taktik lawan tim yang berbeda. Penyederhanaan taktik menjadi sesuatu yang sangat efektif karena tim Arsenal ini menjadi “master” dalam eksekusi pola yang sama ini. Sepakbola protagonist yang dikenalkan oleh Wenger pun tercipta.

Lihatlah Grafik Performa Arsenal di bawah ini dan bandingkan dengan musim sebelumnya. PPG Arsenal musim ini berada di atas PPG juara liga musim lalu, selalu dan tidak pernah di bawahnya. Melampaui zona top four yang bahkan hanya disentuh Arsenal musim lalu sesekali saja. Peningkatan eksponensial ini tentunya mengejutkan semua pengamat sepakbola. Namun Arteta dan pemain-pemainnya percaya hal ini akan datang. Trust the process, katanya dan buah dari proses itu sekarang sedang memasuki masa panen.

Grafik Performa Arsenal 2022/2023

Dan bila kita bandingkan perolehan poin per minggu musim ini dengan 3 musim sebelumnya, maka kita bisa melihat jelas adanya “progress” dan betapa jauh lompatan progress di musim ini.

Grafik Perolehan Poin Arsenal 4 musim terakhir

Lebih impresif lagi bila kita membandingkan performa Arsenal ini dengan performa tim-tim terbaik Arsenal dalam sejarah. Tim dengan perolehan poin tertinggi sejak era Wenger adalah:

  1. Arsenal Invincible (2003/2004) – 90 poin,
  2. The Fab Four, yang berisikan kuartet Fabregas, Flamini, Hleb, Rosicky (2007/2008) – 83 poin,
  3. Mesut Ozil era (2013/2014) – 79 poin.

Tim Arsenal yang musim ini melampaui ketiga tim ini untuk perolehan poin di minggu ke-18 saat ini, dan on the track untuk mencapai lebih dari 90 poin di akhir musim. Musim ini, prediksi saya 90 poin sudah cukup untuk memberikan gelar juara (musim lalu Man City juara dengan 93 poin). Luar biasa bukan? Tim terbaik Wenger dilampaui oleh Mikel Arteta, sejauh ini. Semoga performa yang sama bisa dijaga sampai akhir musim.

Yang tidak boleh diabaikan juga: Arsenal saat ini bersaing dengan tim sepakbola dengan manager-manager sepakbola terbaik di dunia, dengan pemain-pemain kelas dunia yang berkualitas lebih wah dibanding musim-musim sebelumnya. Pep Guardiola, Klopp, Conte dan Ten Hag sudah pernah membawa tim mereka menjadi juara liga di sepanjang karier mereka. Sedangkan Arsenal adalah tim termuda di liga saat ini yang dipimpin oleh manager yang baru memegang tim utama selama 3 tahun. Sebuah tantangan besar tentunya. Apakah Mikel Arteta bisa membawakan gelar juara liga kembali untuk Arsenal setelah 19 tahun lamanya? Saya memilih mengikuti pesan sponsor: game by game, mari menikmati proses ini tanpa beban.

Fans Connection

Pep Guardiola baru-baru ini memberikan interview yang membingungkan pundit namun mencerahkan saya. Ia berkata tim City yang ia tangani sekarang terlalu nyaman. Sebagian besar pemainnya telah mengalami 4 gelar juara liga dalam 5 tahun terakhir dan sedang berada di zona nyaman. Drive, ambisinya sudah berkurang. Maka itu ia mengandalkan pemain-pemain muda yang ingin juara di Premier League seperti Rico Lewis dan Julian Alvarez untuk membangkitkan rasa lapar timnya. Ia bandingkan dengan Arsenal yang sudah dua dekade tidak pernah merasakan gelar juara liga. Ia merasa bila ia tak mampu mengubah mindset timnya, City tidak akan memenangkan apapun musim ini.

Hal ini ada benarnya. Status quo yang kelamaan menghasilkan stagnasi. Rasa lapar itu mendadak hilang karena kekenyangan. Fans menjadi complacent, take it for granted, merasa bahwa kesuksesan adalah milik mereka, dengan sendirinya, tanpa perlu berjuang. Kita saksikan atmosfer stadion di Manchester City yang terasa soulless, beda dengan apa yang sedang terjadi di Emirates Stadium sekarang. Atmosfer terbaik sepanjang sejarah stadion ini, ujar supporter Arsenal di sana. Hal ini bisa menjadi faktor positif Arsenal yang akan mendorong tim ini unggul atas juara bertahan. The fans connection with the team.

Tanpa membuang waktu untuk memanfaatkan euforia tersebut, Arsenal baru saja meluncurkan karya seni baru yang akan menghiasi delapan penjuru Emirates Stadium dalam satu dua minggu mendatang. Delapan artwork baru ini adalah hasil desain bersama artis lokal dan sekitar 100 orang supporter Arsenal (juga termasuk legenda Arsenal), sesuatu yang jarang dilakukan klub sepakbola yang berkompetisi di level elit Eropa. Yang membanggakan saya adalah adanya Indonesia di salah satu artworks stadion ini. Stadion sepakbola mana di Eropa yang seperti ini? Tidak akan ada.

Hari Minggu nanti, menjelang pertandingan melawan Manchester United, supporter Arsenal pasti akan datang lebih awal, mengagumi artwork baru stadion, berkumpul dan berfoto bersama sebelum kemudian bernyanyi bersama di dalam stadion, menyemangati tim yang sedang dalam jalur menjadi yang terbaik di dalam sejarah klub ini. We’re Super Mik Arteta’s Army and we are ready to go to war with him, 100% trusting his leadership.

We’ve got Super Mik Arteta,

He knows exactly what we need,

Kieran at the back, Gabi in attack,

Arsenal on the way to Premier League title.

Tambahan

Masih ada lagi ternyata. Manajemen Arsenal tidak ragu memperkuat tim agar peluang untuk menjadi juara liga ini tidak lepas karena cedera pemain inti. Leandro Trossard menjadi pemain pertama yang bergabung dengan Arsenal di transfer window Januari ini. Ini pemain Brighton yang sangat saya sukai selain Karou Mitoma. Yang bergabung dengan grup Telegram Arsenal Indonesia pasti tahu. Kemudian Jakub Kiwior (CB) dan Ivan Fresneda (RB) akan menyusul. Harga ketiga pemain ini kalau digabung hanya seharga seekor cumi-cumi… 😁

Welcome to North London, The Home of The Arsenal, Leo!

Advertisement

Shrinking to Grow

Rebuilding Arsenal Part 3

Bila di artikel pertama mengenai Rebuilding Arsenal ini saya menuliskan tentang rangkuman strategi transfer Arsenal yang menjadi bagian pertama dari strategi rebuilding tim dengan merekrut dan mengembangkan pemain muda berusia di bawah 23 tahun dengan target panen jangka menengah dan jangka panjang, dan artikel kedua adalah mengenai kemungkinan besar Arsenal finish di top four musim ini, maka tulisan ini adalah tentang bagian ketiga dari strategi tersebut, mengenai formula rahasia dari progress Rebuilding Arsenal sejauh ini, yaitu Shrinking to Grow. Tulisan ini akan agak panjang, so bear with me...

Sometimes you have to shrink to grow. Just as losing fat while building muscle is the key to attaining peak physical fitness, companies need to shed underperforming brands while focusing on more promising ones.

David Harding and Charles Tillen

Strategi “shrink to grow” telah menjadi mantra yang umum di dunia bisnis. Menutup unit bisnis, anak perusahaan yang tidak menghasilkan pendapatan, menjual aset, mengurangi jumlah karyawan dengan tujuan agar kembali profitable adalah aksi yang beresiko, namun memungkinkan perusahaan untuk fokus ulang dan kemudian akselerasi pertumbuhan pendapatan setelahnya. Pendek kata, buang lemak sehingga yang tersisa hanya otot, dan bangun otot itu maka tubuh yang baru ini akan lebih sehat, bisa lari lebih cepat, angkat beban lebih berat.

Saya sendiri pernah menjadi karyawan yang merasakan strategi ini. Perusahaan kami adalah bagian dari grup holding yang cukup besar di Eropa. Sebelum pandemi, beberapa anak perusahaan yang beroperasi di beberapa negara sudah mengalami kerugian terus-menerus. Akibatnya profit yang dihasilkan dari beberapa anak perusahaan tergerus sehingga sebagai sebuah grup, perusahaan ini malah mengalami kerugian. Pandemi mengakselerasi keputusan perusahaan untuk kemudian melepas beberapa anak perusahaannya yang tidak perform, entah dengan dijual atau ditutup. Tentunya hal ini akan berdampak pada sejumlah karyawan yang harus dilepas juga, dan kompensasinya dibayarkan. Keputusan yang tidak mudah. Namun dalam 2 tahun kemudian grup perusahaan tersebut mulai menunjukkan sinyal “kembali sehat” dan laporan keuangannya mulai menunjukkan trend kembali ke “profitable”.

The Fall and Rise of SONY

Hal serupa juga dialami Sony. Siapa yang tidak kenal dengan pencipta Walkman yang terkenal di tahun 80-90-an sebelum kemudian ditaklukkan oleh iPod dan kemudian oleh smartphone. Di era tersebut kita mengenal Sony sebagai perusahaan elektronik besar dengan produk-produk terbaik. Dari televisi Trinitron, video recorder Betacam, CD player, sampai launching PlayStation di tahun 1994. Kemudian di pertengahan 90-an sampai awal 2000-an itu Sony ekspansi ke digital camera dengan produk Cybershot-nya, personal computer dengan VAIO, telekomunikasi dengan Sony Ericsson (handphone pertama saya), bahkan anime dengan Aniplex-nya. Ini melanjuti ekspansi mereka di awal 90-an ke dunia film dengan membeli Columbia Pictures dan di dunia musik dengan Sony Music-nya. Dengan ekspansi bisnis mereka, Sony menjadi grup besar dengan cakupan kelompok unit bisnis Electronics, Game, Pictures, Financial Services, dan Music. Namun unit-unit bisnis ini tidak terkoneksi satu sama lain, memiliki manajemen dan CEO-nya masing-masing.

Tahun 2009, untuk pertama kalinya setelah 14 tahun, Sony mencatatkan kerugian dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Berbagai faktor menjadi penyebab kerugian ini selain resesi ekonomi di tahun 2008: produk elektroniknya yang kehilangan pangsa pasar, TV Sony yang kalah harga dan pemasarannya dengan TV Samsung, demikian juga nasib mobile phone dan music player-nya yang ditaklukkan oleh iPhone dan iPod. PlayStation 3 adalah bisnis yang tidak menghasilkan profit karena harga produksi yang terlalu tinggi, dan untuk pertama kalinya console Sony tidak mendominasi pasar gaming (nomor 3 di bawah Nintendo Wii dan Xbox-360). Penjualan produk elektroniknya mengalami penurunan paling signifikan, dari kamera digital Cybershot, Handycam, sampai pada PC dan laptop VAIO. Sony yang dulunya adalah rajanya elektronik, produknya mulai ditinggalkan konsumer di pasaran, yang mulai mengadopsi produk-produk baru yang lebih murah dan lebih baik dari rivalnya (terdengar seperti Arsenal pasca Invincibles?).

Kerugian Sony tersebut berlangsung selama 4 tahun, lanjut ke 2010, 2011 dan 2012. Kemudian di tahun 2012 Sony mengganti CEO mereka dari Howard Stringer ke Kazuo Hirai (Kaz) yang sebelumnya menjabat sebagai CEO Sony Computer Entertainment Inc., yang mengurus bisnis console gaming Sony, PlayStation. Ia sukses membalikkan kondisi di PlayStation dari unit bisnis yang sangat terpuruk akibat blunder PS3 menjadi kembali profitable. Sebagai CEO Sony, Kaz kemudian bertindak tegas untuk mengembalikan buku Sony dari merah ke hitam dengan menjual aset Sony yang tidak menghasilkan profit, termasuk gedung headquarters mereka di US yang mereka banggakan. Kaz berkesimpulan bahwa untuk transformasi bisnis dan memposisikan Sony untuk pertumbuhan di masa depan, mereka harus bekerja sebagai “One Sony”, yang artinya kolaborasi, sharing aset, teknologi, konten dan pengetahuan di seluruh unit bisnis di dalam grup. Dengan demikian mereka bisa meningkatkan competitive advantage mereka. Hanya dalam setahun, berkat penjualan aset-aset Sony, laporan keuangan mereka yang diterbitkan di tahun 2013 untuk Fiscal Year (FY) 2012 menunjukkan keuntungan, untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir.

Sony operating income dari 2011 hingga 2020

Tentunya semua strategi perlu waktu dalam implementasinya sebelum mencapai sukses besar. Di tahun-tahun berikutnya, Sony kembali berkutat dengan masalah profitabilitas, sebagaimana grafik di atas yang menunjukkan profit minim di FY 2013 dan 2014. Kaz terus melakukan divestasi bisnis yang tidak profitable, re-grouping unit bisnis dalam kelompok yang sama dan fokus investasi di bisnis yang menjadi kekuatan Sony saat itu seperti imaging sensor dan PlayStation. VAIO, merk PC dan laptop mereka yang prestisius akhirnya dijual karena terus-menerus “berdarah-darah”. Pabrik pembuatan smartphone mereka dikurangi dan smartphone Xperia difokuskan ke market higher end. Televisi Sony di-rebranding dengan fokus pada merk Bravia, dengan harga yang lebih kompetitif dan segmentasi pasar yang lebih jelas. Di bidang Music dan Pictures, Sony lebih selektif namun juga agresif dalam mengembangkan bisnis mereka. Lalu sesama bisnis unit internal mereka mulai berkolaborasi. Teknologi Bravia dipakai di Xperia salah satu contohnya. Demikian juga eksploitasi teknologi imaging sensor dan sound mereka di Sony Pictures maupun Sony Music.

Sejak FY 2015, Sony kembali menjadi perusahaan yang profitable, dan kali ini tidak lewat penjualan aset lagi. PlayStation 4 sukses besar, menjadi console nomor satu di dunia, bisnis elektronik mereka kembali menguntungkan. Bravia TV mampu bersaing dengan Samsung, LG TV dan kembali menjadi brand nomor satu di televisi LCD maupun OLED. Image Sensor Sony dipakai di iPhone dan hampir semua smartphone Android premium. Kameranya juga menjadi raja di segmen mirrorles camera (Sony pionir untuk produk ini, mendahului Nikon dan Canon). Dan sejak FY 2017, Sony Pictures dan Sony Music juga memberikan kontribusi fantastis. Sekarang Sony Music adalah publisher musik terbesar di dunia dan demikian juga dengan Sony Pictures yang pendapatannya nomor satu di dunia dalam 2 tahun terakhir ini berkat film Spider-Man, Venom, dan lain-lain mengalahkan studio film besar lainnya.

Empat tahun terakhir ini, Sony mengalami masa kejayaan yang luar biasa, dengan pendapatan dan profit terbesar sepanjang sejarah Sony. Penyumbang terbesar profit dan pendapatan tetap adalah dari Gaming (PlayStation), unit bisnis yang dahulu diselamatkan dan dibesarkan oleh CEO-nya. Kaz Hirai kemudian pensiun di tahun 2019 dengan ukiran tinta emas, ia yakin penerusnya mampu mempertahankan dan terus mengembangkan bisnis Sony. Terakhir, Sony sekarang masuk ke bisnis mobil, memanfaatkan teknologi imaging sensor-nya, mereka akan launching mobil listrik Vision-S. Sungguh sebuah turnaround luar biasa yang menjadi inspirasi di dunia bisnis. Di sini kita saksikan pentingnya peranan seorang pemimpin yang visioner. One Sony tetap menjadi slogan mereka hingga saat ini, di samping Kando (the power of emotional connection) yang juga dipopulerkan oleh Kaz. Strategi Shrinking to Grow Sony berhasil membalikkan keadaan finansial mereka, menjadikan mereka pemimpin di market dengan tetap membangun potensi untuk grow.

Membedah Laporan Keuangan Arsenal

Nah sama dengan apa yang terjadi dengan Sony di tahun 2008-2012, Arsenal semenjak tidak masuk di kompetisi Champions League (2017 sampai sekarang), terus menderita kerugian akibat pendapatan yang menurun sementara biaya klub malah makin membengkak. Biaya bertambah karena pembelian pemain baru yang kemudian diberikan upah tinggi dan perpanjangan kontrak pemain bintang yang juga meminta upah fenomenal (Ozil dan Auba). Mari kita periksa dulu angka-angka finansial yang ditampilkan dengan cantik oleh @SwissRamble.

Arsenal Revenue 2012 – 2021 (click to zoom in)

Angka Tahun di atas mengacu pada tahun di akhir musim, jadi 2021 artinya musim 2020-2021 (musim kemarin). Kita bisa melihat dari grafik di atas bahwa pendapatan Arsenal menurun semenjak tahun 2018 di mana Arsenal tidak lagi bermain di Champions League. Pendapatan Arsenal selama 4 tahun terakhir ini bahkan tidak menyentuh angka 400 juta pounds lagi (mulai saat ini kita menggunakan mata uang poundsterling). Dan dua tahun terakhir ini faktor pandemi membuat Arsenal tidak mendapatkan pemasukan dari tiket di stadion terutama musim kemarin. Musim ini (2021/2022) pendapatan ini akan kembali karena satu musim penuh ada penonton di lapangan. Kita juga bisa melihat bagaimana Europe TV Revenue turun signifikan sejak tidak bermain di Champions League. Musim ini pendapatan ini bahkan akan menjadi nihil. Broadcasting Revenue di musim 2021 naik dibandingkan 2020 ini karena musim 2020 yang menjadi lebih panjang (sampai akhir Juli) sehingga sebagian pembayaran jatuh ke tahun fiskal 2021. Bagaimana kalau kita bandingkan dengan pendapatan klub-klub lain di Premier League di tahun 2021?

Kalau melihat grafik di atas, Anda mungkin melihat suramnya nasib Arsenal, pendapatan masih kalah dengan tetangga dan hanya berada di urutan keenam tertinggi. Sama-sama kena dampak Covid, namun City, United dan Liverpool masih bisa memiliki pendapatan mendekati atau bahkan di atas 500 juta. Hal ini karena broadcasting revenue yang tinggi karena bermain di Champions League dan hadiah finish urutan di atas di PL (selisih 80-100 juta dengan Arsenal) dan juga karena commercial revenue mereka yang lebih tinggi (juga dampak karena bermain di Champions League, lebih banyak sponsor). Daripada melihat ini sebagai hal yang suram, saya justru melihat ini sebagai kesempatan. Artinya Arsenal punya ruang untuk membesarkan pendapatan hingga di level 500 juta per musim. Luar biasa bila bisa direalisasikan.

Bagaimana dengan Biaya Arsenal? Seperti kita ketahui Laba/Rugi ditentukan dengan rumus sederhana Pendapatan dikurangi Biaya. Problem Arsenal adalah Pendapatan yang turun malah didampingi oleh Biaya yang naik. Demi kembali ke UCL dengan cepat, Arsenal membeli pemain-pemain bintang di musim 2017/2018 yaitu Lacazette dan Aubameyang, memberi kontrak baru kepada Ozil. Arsenal gagal lolos ke UCL, Wenger dilengserkan. Tahun berikutnya masih dengan misi yang sama, namun kali ini dengan head coach baru, Unai Emery, tim rekrutmen Arsenal Sven Mislintat dan Raul Sanllehi belanja 5 pemain baru yang tentunya makin membengkakkan biaya upah. Nyaris lolos ke UCL di minggu-minggu terakhir membuat manajemen Arsenal makin penasaran sehingga musim kedua Emery juga sama, dibeli pemain bahkan dengan transfer fantastis dalam bentuk seorang Pepe yang dibanderol 72 juta pounds. Di musim 2020/2021, Emery sudah berganti Arteta, Arsenal hanya menambah Thomas Partey dan Gabriel, namun karena gagal membuang banyak pemain di musim ini, biaya upah Arsenal membengkak hingga ke level 238 juta. Persentase biaya upah terhadap pendapatan Arsenal pun meningkat dari yang level sehat sekitar 60% ke 73% di musim lalu.

Selain upah, komponen biaya lainnya adalah pengeluaran lain-lain (other expenses) bisa berupa pengeluaran untuk logistik, biaya perawatan gedung, biaya operasional, intinya semua yang di luar biaya upah. Setelah itu ada non cash flow expenses berupa amortisasi pemain dan depresiasi (fisik gedung). Dari grafik di bawah ini kita bisa melihat bahwa Other Expenses menurun karena pertandingan di stadion diselenggarakan tanpa penonton, dan biaya amortisasi pemain yang terus naik. Apa itu biaya amortisasi?

Saya pernah bahas di tulisan sebelumnya bahwa prinsipnya amortisasi adalah depresiasi nilai seorang pemain seiring dengan berjalannya kontrak si pemain. Misal kita membeli Pepe 72 juta dengan kontrak 5 tahun. Maka biaya amortisasinya per tahun adalah sebesar 14.4 juta. Jadi angka 117 juta di grafik kanan atas tersebut mengandung 14.4 juta dari Pepe. Ketika pemain tersebut dijual, maka biaya amortisasinya akan di-balance dengan harga jualnya, selisih yang tersisa dimasukkan dalam Profit on Player Sales. Kita bisa melihat biaya amortisasi pemain semakin meninggi sejak 2018. Ini disebabkan Arsenal semakin banyak membeli pemain dengan harga transfer yang tinggi.

Arsenal Cost 2012 – 2021 (click to zoom in)

Ada satu grafik di sebelah kanan bawah yang mungkin mengundang pertanyaan, kenapa interest payable Arsenal meningkat signifikan menjadi 40 juta dari yang sebelumnya 14 juta? Hal ini adalah karena penalti untuk pembayaran utang stadion lebih cepat. KSE meminjamkan Arsenal uang sebesar 202 juta untuk membayar lunas utang stadion, kemudian utang ke parent company Arsenal ini bisa dilunasi kapan-kapan dan dengan bunga yang kecil. Untuk tahun depan, interest payable ini akan menjadi jauh lebih rendah. Dengan Pendapatan dan Biaya di atas, maka di bawah ini adalah Grafik Laba/Rugi Arsenal.

Arsenal Profit/Loss 2012 – 2021 (click to zoom in)

Mungkin Anda sekarang bingung, banyak sekali grafik Laba/Rugi-nya, pakai yang mana? Mudahnya begini:

  1. EBITDA = Revenue – Expenses (Upah + Other Expenses).
  2. Operating Profit = EBITDA – Exceptional Items – Biaya Amortisasi Pemain – Depresiasi
  3. Profit/Loss before Tax = Operating Profit + Profit on Player Sales – Interest Payable
  4. Profit/Loss after Tax = Profit/Loss before Tax + Tax credit (or minus Tax charge)

Kita melihat di tahun 2018 Arsenal mendapatkan Profit on Player Sales yang sangat tinggi sehingga Operating Loss bisa ditutupi dan menghasilkan Profit di akhirnya. Di musim itu Arsenal menjual Ox, Walcott, Giroud, Szczesny, Coquelin, Paulista, Gibbs dan swap Sanchez dengan Mkhitaryan. Dikarenakan sebagian besar pemain-pemain tersebut dibeli dengan harga murah dan sudah bermain lebih lama dari kontrak pertamanya, sehingga biaya amortisasinya bisa dikatakan nol, maka semua angka penjualannya akan dianggap sebagai profit (ingat Profit Player Sales = Sales dikurangi sisa amortisasi). Namun di tahun yang sama kita bisa melihat Arsenal mengalami Operating Loss (grafik kuning) tanpa memperhitungkan player sales tersebut karena pendapatan yang sudah menurun akibat hanya berpartisipasi di UEL.

Jika kita hanya mengambil angka 2 tahun terakhir, maka laporan Laba/Rugi Arsenal secara lengkapnya adalah sebagai berikut:

Arsenal Profit/Loss Account 2020 & 2021

Room to Grow

Kerugian signifikan selama 3 musim terakhir (total 182 juta) menyisakan cash yang hanya tersisa 18.8 juta dari yang sebelumnya 110 juta (akibat kerugian tahun 2021), Arsenal jelas berada di ambang kebangkrutan. Namun di awal musim ini kita belanja untuk transfer senilai 150 juta. Bagaimana mungkin? Ini karena KSE sebagai pemilik Arsenal menyediakan dana talangan dan Arsenal yakin bahwa dengan kembalinya penonton ke stadion musim ini dan cost saving yang dilakukan di musim ini, angka di laporan Laba/Rugi musim ini bisa kembali hitam atau paling tidak mendekati. Kita akan ulas di bawah ini bagaimana caranya.

Pertanyaan jangka panjangnya adalah bagaimana manajemen Arsenal dapat melakukan turn around ala Sony? Untuk Arsenal kembali menjadi klub yang profitable sehingga dapat membayar utang stadion (ke KSE) dan invest lebih banyak di aset fisik maupun skuad. Menumbuhkan pendapatan klub untuk mengejar ketertinggalan dari rival-rivalnya di Inggris. Hal termudah tentunya adalah dengan lolos ke Champions League sesegera mungkin. Pendapatan dari UCL bisa sekitar 80-100 juta semusim, sedangkan UEL sekitar 15-30 juta semusim. Namun seperti kata Per Mertesacker, Arsenal seperti mendapatkan tamparan keras ketika upaya untuk buru-buru kembali ke Champions League itu (dengan merekrut pemain bintang) gagal dalam 4 musim terakhir ini. Strateginya perlu diubah.

Mulai dari pertengahan musim lalu sebenarnya strategi Arsenal yang berbeda sudah dimulai. Seperti yang dilakukan Sony, Arsenal berpikir aset mana yang bisa dilepas? Aset yang membebankan dan tidak memberikan nilai tambah. Arsenal mengadopsi strategi shrinking to grow daripada adding to grow yang diterapkan 3 musim lalu. Perginya Raul (baca: dipecat) di awal musim lalu memudahkan hal itu. Vinai, Edu dan Arteta di bawah supervisi Tim Lewis meracik resep baru. Pertama, mereka mengidentifikasikan pemain (aset) yang bisa dilepas untuk mengurangi beban upah. Muncullah nama-nama seperti Ozil, Kolasinac, Sokratis, Mustafi, Mkhitaryan, Torreira, Guendouzi, Mavropanos. Namun karena masa pandemi dan sulitnya mencari klub yang berminat untuk membayar upah tinggi pemain-pemain tersebut, hanya Mkhitaryan yang berhasil dilepas free, sedangkan Torreira, Guendouzi dan Mavropanos yang ingin dijual hanya dapat loan ke klub lain. Empat pemain lainnya tetap tinggal di klub. Arsenal tidak putus asa, di musim dingin 2020/2021 tersebut, Ozil, Sokratis dan Mustafi dilepas gratis sedangkan Kolasinac dipinjamkan. Sayangnya karena upah Ozil demikian tinggi, Arsenal kabarnya masih harus membayar 90% upahnya hingga habis sisa kontraknya. Total saving upah pemain di musim itu kurang lebih sebesar 27 juta, angka yang cukup signifikan untuk menjaga biaya upah pemain Arsenal mengingat di musim tersebut Arsenal juga mendatangkan pemain baru yaitu Gabriel, Partey dan Willian.

Di awal musim ini, Arsenal lebih agresif lagi dalam strategi lepas asetnya. Willian bersedia dilepas gratis setelah dilobi Edu (puji syukur – alhamdulillah), David Luiz tidak ditawarkan kontrak baru. Willock dijual dan Bellerin, Saliba, Nelson, Torreira, Guendouzi, Runarsson dipinjamkan ke klub lain. Di musim dingin AMN dan Mari dipinjamkan, Chambers, Kolasinac dan Aubameyang dilepas gratis (kasus Auba dengan kompensasi sekitar 5 juta). Aksi agresif ini beserta dengan telah lepasnya Ozil, Sokratis dan Mustafi musim lalu dalam kalkulasi saya berhasil menghemat biaya klub sebesar 51 juta dari biaya upah musim lalu yang sebesar 237.7 juta (sesuai laporan keuangan 2021). Tentunya Arsenal juga mendatangkan 6 pemain baru dengan total upah sekitar 21 juta. Maka biaya net upah yang dapat dikurangi di musim ini dari musim lalu adalah sebesar 30 juta. Kita akan melihat di laporan keuangan 2021/2022 biaya upah Arsenal di kisaran 205-210 juta. Angka yang sangat sehat jika pendapatan Arsenal naik ke kisaran 360-380 juta musim ini (karena tiket stadion). Selain itu, dengan perginya Aubameyang, Kolasinac dan Chambers secara permanen, biaya upah di musim depan akan berkurang otomatis sekitar 18 juta dari musim ini, menyisakan ruang untuk pemain-pemain baru di musim depan.

Tidak hanya dari besaran upah pemain, Arsenal juga mengurangi headcount pemainnya. Dari total 27 pemain first team di awal musim dikurangi menjadi hanya 21 pemain setelah bursa transfer musim dingin. Dengan pemain yang lebih sedikit, Arteta akan lebih mudah menjaga tim agar tetap lebih solid apalagi hanya bermain di Premier League. Pemantauan individual setiap pemain akan lebih mudah dan setiap pemain akan mendapatkan perhatian yang lebih banyak dengan sendirinya. Baik dari sisi biaya maupun jumlah, Arsenal berhasil shrinking the team dalam tiga transfer window. Arsenal yang langsing dan ringan daripada yang gemuk dan berat. Sekarang tinggal masalah build up muscle-nya.

Selain pemain, staff juga dipangkas oleh Edu dan Vinai. Scouting tim yang dipimpin oleh Francis Cagigao yang meneruskan network yang sebelumnya dibangun oleh Steve Rowley dirombak total oleh Edu. Arsenal melepas hampir semua scout lama, kemudian perlahan-lahan membangun networking scout yang baru dengan basis regional, scout generasi baru yang akan dikombinasikan dengan data dan video analisis. Sebelumnya scouting tim Arsenal dan data tim Arsenal (StatDNA) seperti berjalan masing-masing. Hasil sementara perombakan ini sudah terlihat dengan 6 pemain baru musim ini yang semuanya bisa dikatakan sebagai pembelian yang bagus. Kata kuncinya adalah efisiensi dan kolaborasi (mirip dengan kasus Sony kan?). Kembali lagi ke strategi shrinking to grow.

Mari kita kalkulasi sekarang dampak dari strategi shrinking to grow di musim ini. Saya tuliskan angka dalam juta pounds di bawah ini estimasi posisi keuangan Arsenal di tahun 2022.

  • Pendapatan = 380 (328 – 28 (no Europa League) + 80 (tiket stadion))
  • Upah = 205 (hasil saving upah pemain dan scouting team)
  • Other Expenses = 70 (stadion fungsi kembali + biaya lain2)
  • Amortisasi = 117 + 30 (transfer 150 juta musim ini dibagi 5 tahun) – 12 (amortisasi Mustafi, Sokratis habis) = 135
  • Depreciation = 17
  • Profit on Player Sales = 25 (Willock) + 10 (Guendouzi) + 3.5 (Mavropanos)
  • Net Interest = 10 (pinjaman ringan dari KSE + interest loan baru)
  • P/L before tax = 380 – 205 – 70 -135 – 17 + 38.5 – 10 = -18.5 (dengan tax credit ini akan menjadi sekitar -16 juta)
  • Bila Torreira bisa dijual sebelum akhir musim ke Fiorentina sesuai harga option to buy-nya (15 juta euro), maka bisa dikatakan Arsenal break-even musim ini.

Arsenal hampir kembali ke break-even di akhir musim ini dengan kalkulasi di atas. Kita bisa melihat betapa pentingnya penghematan upah pemain dan profit dari penjualan pemain untuk finansial sebuah klub. Dan yang lebih penting lagi, angka-angka di atas tercapai tanpa Arsenal bermain di kompetisi Eropa. Arsenal sekarang menjadi organisasi yang lebih langsing dan ringan, tidak lagi “European League team with a Champions League budget” sebagaimana yang disebutkan Josh Kroenke beberapa tahun lalu.

Tanpa kompetisi Eropa pun di musim mendatang (worst case scenario) Arsenal bisa survive secara finansial sambil menyediakan ruang pertumbuhan yang sangat besar untuk penambahan personil first team, tergantung dari pencapaian Arsenal musim ini (Champions League atau Europa League). Matematika sederhananya, bila Arsenal lolos ke Champions League, tambahan budget sebesar 80 juta pounds bisa untuk membeli 5 pemain top dengan budget transfer 200 juta pounds dengan upah rata-rata 120K/minggu setiap pemainnya dan Arsenal masih tidak mengalami kerugian. Tentunya budget ini tak perlu langsung dihabiskan di satu bursa transfer. Sedangkan kalau lolos ke Europa League, tambahan budget sebesar 25 juta pounds tentunya hanya cukup untuk membeli maksimal 2 pemain baru yang bagus. Jomplang bukan? Tentu budget ini juga ditentukan oleh penjualan aset yang masih dimiliki Arsenal. Nelson, Bellerin, AMN and The Great Cedric Soares bisalah laku masing-masing 50 juta pounds bukan? 😉

bila Arsenal lolos ke Champions League, tambahan budget sebesar 80 juta pounds bisa untuk membeli 5 pemain top dengan budget transfer 200 juta pounds dengan upah rata-rata 120K/minggu setiap pemainnya dan Arsenal masih tidak mengalami kerugian.

@Jalanarsenal

Josh Kroenke’s Formula

Sebelum Super Bowl 2022 dimulai di mana LA Rams, klub American Football-nya Stan Kroenke berlaga untuk kedua kalinya dalam 4 tahun terakhir ini (bukan hal yang mudah), ada sebuah podcast interview menarik yang mendatangkan Josh Kroenke di US. Josh di masa mudanya adalah pemain basket NCAA, kompetisi basketball tingkat universitas di US. Pemain basket NCAA yang bertalenta kemudian akan di-draft untuk kompetisi NBA ketika mereka lulus kuliah. Karena keterlibatannya tersebut dengan basketball, ia memiliki dua sahabat karib yaitu Richard Jefferson dan Channing Frye yang dua-duanya adalah mantan pemain NBA. Mereka berdua juga hadir dalam podcast ini.

Karena keakraban ketiganya, interview berjalan dengan lancar dan Josh yang katanya lebih pendiam itu menjadi lebih terbuka dalam bercerita tentang masa lalunya, yang disambung dengan Super Bowl, LA Rams dan SoFi Stadium-nya yang megah, upaya ayahnya Stan dalam melawan kritik saat memindahkan The Rams dari St.Louis ke LA, hingga tentang Nikola Jokic (Denver Nuggets) yang menjadi MVP NBA musim lalu. Perlu diketahui Josh terlibat langsung dengan 3 tim yang di bawah franchise KSE yaitu Denver Nuggets (NBA), Colorado Avalanche (NHL) dan Arsenal sedangkan Stan lebih fokus ke LA Rams karena pembangunan stadion baru yang memakan sebagian besar kekayaannya dan juga karena ia tak boleh terlibat langsung dengan klub olahraga lainnya di US akibat aturan baru. Josh kemudian mulai membahas Arsenal di menit ke-48, bisa disimak di video di bawah ini.

Josh Kroenke’s Journey with Arsenal

Ada beberapa hal yang menarik dari cerita Josh tentang Arsenal. Pertama, ia menyadari betapa dalamnya perasaan memiliki fans sepakbola di UK terhadap klub bolanya yang sangat berbeda dengan bagaimana keterikatan warga US dengan tim olahraga di sana. Way deeper adalah istilah yang dipakainya. Sebagaimana yang kita ketahui, bagi supporter sepakbola di UK, memilih satu tim itu lebih-lebih daripada memilih istri/suami, satu pilihan untuk seumur hidup dan mereka ga akan berubah. Dan lebih-lebih daripada agama, seorang supporter akan juga “memaksakan” anaknya untuk memilih klub yang sama untuk didukungnya seumur hidup. Sepakbola menjadi bagian besar dari identitas diri. Josh merasakan itu selama ia berada di London, terutama tepat sebelum era pandemi dimulai.

Kemudian ia mengangkat nama Mikel Arteta secara khusus.

Mikel knows the culture that we want to have (as our ex player under The Great Arsene Wenger). He was the assistant manager of Pep Guardiola so Mikel has a very good idea of what elite coaching and culture looks like. But trying to implement it on the fly and getting the rug kind of pulled out from under you with Covid has been challenging.

Ketika Arsenal sedang mengalami transisi pasca Wenger, membuat struktur baru untuk menggantikannya yang memegang segala-galanya sudah merupakan tantangan. Ditambah lagi dengan kasus Covid, yang kemudian menciptakan masalah baru, hilangnya hampir sepertiga pendapatan. Bila di Amerika pendapatan dari sebuah kompetisi akan dibagi merata ke semua klub dan ada sistem yang dikenal sebagai pain/gain sharing sehingga ketika pandemi berdampak pada turunnya pendapatan, otomatis gaji pemain juga akan diturunkan. Demikian juga sebaliknya saat ada kenaikan pendapatan. Hal ini tidak ada di sepakbola Eropa. Mendengar Josh bicara soal ini, saya menduga kebijakan pay cut gaji pemain 12.5% di pertengahan musim 2019/2020 adalah ide darinya dan kita tahu Arteta menjadi pionir dalam menjalankan kebijakan itu kepada pemain-pemain Arsenal (yang kemudian memicu konfliknya dengan Ozil).

Klub-klub olahraga di US baik di NBA, NFL ataupun NHL semua menggunakan sistem salary cap, trade quota dan draft pick dalam kebijakan perekrutan pemain. Jadi setiap tim mendapatkan urutan draft pick untuk mengambil talenta baru yang terbaik yang tersedia di setiap awal musim. Nah urutan draft pick itu juga dapat ditukar dengan jatah trade pemain bintang misalnya. Umumnya draft pick digunakan jika sebuah klub butuh pemain muda dengan ceiling yang tinggi yang bisa mereka kembangkan untuk menuai hasil beberapa tahun kemudian. Sementara klub lainnya mungkin sedang membutuhkan pemain bintang saat ini juga dan bersedia melepas draft pick tersebut. Kebiasaan mem-balance antara pemain muda dan pemain bintang inilah yang menjadi formula KSE dalam menjalankan tim-tim olahraganya. Akhir-akhir ini mereka juga menggunakan formula baru di franchise-nya: mempercayakan pada pelatih muda (Sean McVay pelatih LA Rams direkrut saat ia berusia 30 tahun), membangun culture elite team, dan bergerak cerdas dalam strategi pembangunan tim dengan kombinasi draft pick dan trade, tentunya tanpa melebihi budget yang diizinkan. Saat ini franchise KSE rata-rata berprestasi sangat baik, entah memimpin klasemen (Colorado Rapids dan Avalanche) atau masuk ke playoff seperti Nuggets dan Rams.

Tahu kapan harus mendatangkan dan membuang pemain bintang, kapan harus membina pemain muda ini jugalah yang diterapkan di Arsenal secara efisien di musim ini. Formula KSE dipakai tanpa ragu. Sebanyak 6 pemain baru yang didatangkan Arsenal musim ini semua berusia tidak lebih dari 23 tahun (sebuah hal yang jarang terjadi di PL), sebuah strategi yang meletakkan keyakinan pada kemampuan membangun tim dengan pemain muda bertalenta sebagai porosnya. Arsenal juga tidak ragu untuk spend big money ketika mereka berupaya mendapatkan Vlahovic winter kemarin. Arsenal juga tidak ragu ketika harus melepas Ozil dan Auba karena dirasakan waktu keduanya sudah lewat. Keputusan-keputusan besar ini tentunya diambil bersama dan direstui oleh Josh. Tanpa dukungan owner, tidak ada manager yang berani “menyia-nyiakan” pemain bintang bergaji tertinggi di klub. Kalau melihat cara ia bercerita tentang Nikola Jokic, bagaimana perkembangannya dari pemain yang tidak dilirik di draft pick sampai menjadi MVP NBA, Josh tampaknya adalah tipe owner yang terlibat cukup dalam di klubnya sendiri sampai level memahami pemainnya. Saya yakin Auba yang diisolasikan oleh Arteta dengan tegas sejak kasus disiplinnya itu tentunya juga merupakan hasil konsultasinya dengan Josh.

Unity antara pemilik, Board of Directors, manajemen dan pemain adalah tema yang diusung Arteta musim ini. Terakhir adalah koneksi antara pemain dengan supporter di lapangan. Unity dan Trust The Process menjadi slogan Arsenal dan hal itu penting. Ketika arah sebuah organisasi itu off-track karena satu dan lain hal, slogan misi tersebut akan mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar. Saat Gabriel membuat blunder misalnya, Unity akan mengingatkan pemain-pemain lainnya untuk tidak menyalahkannya dan sebaliknya berusaha keras bersama untuk membalikkan keadaan. Saat Arsenal terpleset dengan kalah di kompetisi Cup domestik misalnya, Trust The Process mengingatkan fans dan pemain untuk lebih melihat big pictures daripada hasil saat itu yang mengecewakan. Melihat progress tim yang nyata telah terjadi dan tidak terlalu memusingkan tersandung batu satu-dua kali dalam perjalanan ini.

Unity dan Trust The Process menjadi slogan Arsenal dan hal itu penting. Ketika arah sebuah organisasi itu off-track karena satu dan lain hal, slogan misi tersebut akan mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar.

@Jalanarsenal

Ahead of Schedule

Dalam artikel pertama serial Rebuilding Arsenal ini, saya menulis tentang bagaimana Arsenal sengaja tidak menyebutkan target musim ini. Belajar dari musim-musim sebelumnya dan karena adopsi strategi shrinking to grow ini, sulit untuk memastikan berapa tahun yang dibutuhkan untuk menuai hasil. Sementara itu tekanan eksternal terhadap tim muda ini karena target yang tinggi tidaklah membantu. Namun dalam hati, saya yakin Arsenal memasang target minimal kembali ke Europa League (peringkat ke-6). Sekarang, tim ini bisa dikatakan ahead of schedule, memimpin persaingan untuk kembali ke Champions League langsung musim depan tanpa lewat jalur Europa League. Keyakinan tim ini dan Arteta semakin jelas bila kita membaca dan menonton wawancara pemain dan Arteta. Target top four sekarang tidak malu-malu lagi diutarakan. Mereka semua bisa merasakan dan melihat target ini sangat nyata saat ini.

Bila Arsenal bisa kembali ke Champions League musim depan, maka potensi grow tim ini sangat besar. Selain garansi pendapatan tambahan senilai 80 juta per musim, Arsenal juga memiliki biaya upah yang jauh lebih kecil daripada tim-tim Champions League sekarang. Lihatlah Grafik di bawah ini.

Dari segi upah, Arsenal masih 100 juta lebih rendah dari klub-klub besar lainnya yang merupakan langganan UCL. Selain itu upah pemain Arsenal tidak akan meningkat drastis dalam tahun-tahun ke depan karena pemainnya masih muda-muda dan dikontrak 5 tahun. Kenaikan gaji untuk pemain baru hanya akan terjadi setelah 3 tahun, saat sisa kontraknya 2 tahun. Menambah 5 pemain baru dengan rata-rata gaji 120K/tahun hanya akan menambah biaya upah Arsenal sebesar 31 juta saja. Dan 5 pemain baru itu bukan jumlah yang sedikit, hampir separuh dari starting line-ups. Bila pendapatan Arsenal bisa mendekati Liverpool dan Chelsea (500-an juta) lewat partisipasi di Champions League dan peningkatan pendapatan komersial, sedangkan biaya upah jauh lebih rendah, maka ruang yang tersisa antara pendapatan dan biaya itu dapat digunakan untuk amortisasi pemain alias transfer pemain baru. Ingat, rumusnya adalah budget transfer = nilai amortisasi per tahun dikali 5 (tahun). Jadi kalau ada ruang amortisasi sebesar 40 juta, sama dengan budget transfer 200 juta.

Namun Arsenal harus disiplin dalam penerapan strategi shrinking to grow ini. Serta merta melupakan prinsip dari strategi ini dan kemudian mengejar Haaland misalnya yang meminta gaji 30 juta per musim dan komisi agent yang gila-gilaan adalah strategi bunuh diri. Demikian juga misalnya Mbappe yang dapat dihadirkan dengan free transfer namun minta gaji 50 juta per musim. Kekuatan shrinking to grow ini ada pada efisiensi budgeting dan kolaborasi yang saling melengkapi, bukan pada fokus ke satu bintang. Pemain bintang bila sampai cedera panjang saja atau turun performanya (seperti Auba) maka uang puluhan juta going down the drain di musim itu juga. Value for money-nya tidak seimbang selain untuk gengsi-gengsian ala Real Madrid dan PSG.

Lebih menarik adalah membangun value dari pemain muda yang dimiliki Arsenal. Bukayo Saka misalnya. Ia sangat berpotensial untuk menjadi pemain pertama Arsenal yang menembus market value 100 juta pounds walaupun tidak untuk dijual. Martinelli adalah pemain lainnya. Emile Smith Rowe, Odegaard, Lokonga, Tomiyasu dan bahkan Tavares adalah pemain-pemain yang berpotensi memiliki market value di atas 50 juta dalam beberapa tahun mendatang. Ben White sudah terlihat jauh lebih berharga daripada Varane dan Ramsdale sudah berharga dua kali lipat dari harga belinya, apalagi saat ia menjadi kiper timnas nomor satu Inggris di Piala Dunia nanti.

Arteta baru saja berujar di wawancara terbarunya, “Every window has to be a way and form for us to take the club to the next level.” Setelah shrinking, kini saatnya Arsenal untuk grow, namun dengan konsistensi strategi yang sama yaitu efisiensi dan kolaborasi.

Up The Arsenal!

Selamat Tinggal, Auba!

Aubameyang at Arsenal (2018-2022)

Pierre-Emerick Aubameyang akhirnya meninggalkan Arsenal, hanya dalam waktu tepat empat tahun sejak bergabung di Januari 2018. Ia mengikuti jejak pemain bintang sebelumnya yang ia gantikan, Alexis Sanchez yang juga hanya menghabiskan kariernya cukup singkat (3,5 tahun) di Arsenal. Bedanya Sanchez tidak memperpanjang kontrak di Arsenal sementara Auba sudah memperpanjang kontraknya 2 tahun di tahun 2020 kemarin (dengan event yang spesial). Kontrak barunya yang masih sisa 1,5 tahun sekarang (berakhir Juni 2023) disepakati untuk diakhiri oleh klub dan dirinya secara konsensual di Transfer Window musim dingin. Aubameyang pun dapat bergabung dengan Barcelona dengan status free transfer (Arsenal tidak mendapatkan transfer fee dari Barcelona).

Saya tidak perlu menulis lagi pencapaian Auba di Arsenal. Ia adalah top skorer kita selama 4 tahun itu (92 gol dalam 163 penampilan di semua kompetisi) dengan rincian sebagai berikut:

  • 2017-18 All Comp.: 14 app 10 goals; PL: 13 app 10 goals
  • 2018-19 All Comp.: 51 app 31 goals; PL: 36 app 22 goals
  • 2019-20 All Comp.: 44 app 29 goals; PL: 36 app 22 goals + 1 FA Cup
  • 2020-21 All Comp.: 39 app 15 goals; PL: 29 app 10 goals
  • 2021-22 All Comp.: 15 app 7 goals; PL: 14 app 4 goals

Dari statistik di atas jelas terlihat 2,5 musim pertama Auba pencapaiannya luar biasa. Dengan rasio gol 0.64 gol per match di periode tersebut, jelas Auba masuk dalam level very elite striker di liga. Penampilan istimewa Aubameyang tersebut menjustifikasi biaya transfernya yang sebesar £56m itu dan ditutup dengan trofi FA Cup 2020 yang hampir bisa dikatakan dimenangkan berkat aksi individualnya di depan gawang yang super cool.

Melihat begitu pentingnya peran Aubameyang bagi tim, tentunya kita semua menginginkan Auba memperpanjang kontraknya yang sisa setahun saat itu (selesai di Juni 2021). Auba ingin gaji yang sesuai dengan perannya di tim saat itu, kurang lebih apa yang didapatkan Ozil, £350K/minggu semusim. Arsenal keberatan, Barca dan klub-klub lainnya menunggu di belakang layar. Arteta pun sampai ikut turun tangan agar tidak terjadi deadlock. Ia melobi Auba pribadi, bertemu dengan ayahnya, meyakinkan mereka bahwa Auba akan menjadi pemain sentral di sisa kontraknya di Arsenal dan meninggalkan “legacy” di klub ini, layaknya pemain legendaris berkostum No.14 sebelumnya. Arteta juga meyakinkan klub bahwa ia butuh Auba saat itu. Akhirnya kontrak baru disepakati dengan gaji dasar sekitar £250K/minggu yang ditambah bonus appearance dan goal bisa mencapai max £350K/minggu.

Video announcement “sign da thing” pun di-upload dengan live streaming. Topeng Black Panther dijadikan petunjuk. Video bertajuk “This is where I belong” pun diputar. Live Streaming Auba dan Laca sahabat baiknya yang membuat semua Gooners tersenyum lebar. Kemudian video wawancaranya bersama Ian Wright di Emirates Stadium di mana ia menyebutkan bahwa alasannya mau memperpanjang kontrak adalah setelah percakapannya yang jujur dengan Arteta.

I had a chat with Mikel. I think he gave me something very clear about the idea of the future of the club and about me.

He was straight and honest and that’s what I like because we are always honest. He said, OK you can maybe leave… I don’t know what your mind is thinking right now, but you can leave and go for trophies at other clubs or you can stay here and have a legacy.

This, for me, was the key word.

Aubameyang to ian wright when he signed the new contract

Aubameyang jelas adalah Hero bagi kita saat itu. Arteta jelas jujur saat mengatakan ia bisa meninggalkan legacy di Arsenal dan Auba percaya hal itu sepenuhnya. Ia siap menjadi leader tim ini dan membawa kembali tim ini kembali ke kejayaan. Semua sepakat meneruskan waktu bersama Aubameyang untuk tiga tahun lagi semenjak tahun 2020 itu adalah yang terbaik untuk semua pihak – baik klub, manager, rekan-rekan setimnya, Auba sendiri dan supporter Arsenal.

Ia menyebutkan bahwa alasannya mau memperpanjang kontrak adalah setelah percakapannya yang jujur dengan Arteta.

Aubameyang ketika perpanjang kontraknya

From Hero to Zero

Siapa yang menyangka hanya dalam waktu satu setengah tahun kurang dari ditandatanganinya kontrak baru tersebut, Auba kemudian diasingkan oleh Arteta dari timnya, dicabut ban kaptennya, berlatih sendiri dan akhirnya dilepas sebagai free agent. Hal yang di luar dugaan semua pihak. Alih-alih meninggalkan legacy di klub tercinta, Aubameyang bahkan tak sempat mengucapkan farewell secara langsung di hadapan supporter Arsenal di stadion, tidak juga kepada rekan-rekannya yang sedang berlatih/ team bonding di Dubai saat itu. Akhir yang sangat “ruthless” untuk seorang pemain terbaik Arsenal di eranya, seorang hero. Hal yang serupa juga terjadi dengan Ozil, yang tak diberikan kesempatan untuk farewell dengan supporter Arsenal. Tentunya mudah untuk sebagian fans menuduh Arteta sebagai sosok yang kejam dalam kedua kejadian ini. Saya mencoba dengan kepala dingin mengurai apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Arteta dan board Arsenal mengambil keputusan demikian. Mencari tahu, apa yang menjadi dasar Arsenal membalikkan keputusan yang mereka ambil satu setengah tahun sebelumnya.

Musim lalu (2020/2021) Aubameyang mengalami banyak masalah. Dari sakit malaria, ibunya yang sakit keras sehingga ia sampai absen beberapa pertandingan untuk pulkam mendampingi ibunya (dan diberikan izin oleh klub). Lalu pelanggaran disiplin yang ia lakukan, terlambat saat North London Derby yang mengakibatkan ia tidak dimasukkan ke dalam tim sama sekali dan mesti menonton pertandingan dari stand (bahkan tidak dari bench). Performa Aubameyang di lapangan juga tidak begitu baik, ia hanya mencetak 10 gol dalam 29 penampilan di liga. Rasio 0.34 gol per match ini jauh dari 2 musim sebelumnya di mana rasionya 0.61 gol per match. Namun Arteta masih membelanya di publik, terlepas dari performanya yang tidak sesuai standar tersebut. Fans Arsenal mulai gelisah karena ada sinyal kalau Auba akan mengikuti jejak Ozil yang turun performanya setelah mendapatkan kontrak baru.

Musim ini (2021/2022) Aubameyang memulainya dengan tidak baik. Kali ini ia positif Covid-19 bersama Laca yang diindikasikan berasal dari pesta ultah anaknya yang digelar di bulan Agustus, Auba tidak tampil di 2 pertandingan pertama liga dan belum fit saat Arsenal melawan City di pertandingan ketiga. Tiga kekalahan beruntun harus diderita Arsenal yang menyebabkan Arsenal berada di posisi terbawah klasemen.

Perlahan Arsenal bangkit. Auba selalu start di musim ini sebagai striker utama saat ia fit, mengorbankan Lacazette yang harus duduk di bangku cadangan. Di pertandingan berikutnya Aubameyang mencetak gol melawan Norwich City. Ia tidak mencetak gol vs Burnley namun tampil baik saat NLD di kandang, mencetak satu gol hasil counter attack cantik bersama Emile Smith Rowe. NLD-gate semusim sebelumnya seakan sudah hilang dari ingatan kita semua.

Lalu saat seri lawan Brighton, Auba tidak tampil baik, diganti oleh Laca di menit ke 72. Lawan Crystal Palace, Auba mencetak gol awal namun Arsenal secara umum kesulitan melawan Crystal Palace, tertinggal 1-2 sebelum akhirnya menyamakan kedudukan lewat gol injury time Laca. Nah di pertandingan berikutnya melawan Aston Villa, Arsenal mulai memberikan penampilan yang meyakinkan, mendominasi lawan dan akhirnya menang 3-1 dengan Auba mencetak satu gol dan memberikan satu assist.

What was good, or very good, two or three years ago, with his role in this team, at this club, it is not enough. He had to take a step forward. I would say the same with Laca, look what he is transmitting, not just doing or playing, what he is transmitting. For me that is really, really important.

They lead by example and not only there but as well at the training ground. Certain things, a role they could have had three years ago in the squad, now it has changed.

MIKel arteta on aubameyang after aston villa match

Arteta mengatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Aubameyang dengan sangat baik selama dua atau tiga tahun sebelumnya di klub ini, belum cukup, mengingat perannya sekarang sebagai kapten dan striker utama. Arteta mengatakan bahwa Auba mesti mengambil satu langkah lebih maju lagi. Ia (bersama Laca) punya tanggung jawab untuk memimpin dengan menjadi role model, tidak hanya di lapangan hijau, tapi juga di training ground. Ia ingin mereka menyampaikan pesan tersebut kepada tim dengan aksi dan sikap mereka. Baginya hal ini sangat penting.

Dan Arteta melihat Auba berubah di pertandingan melawan Aston Villa tersebut. Ia melakukan pressing dengan tujuan yang jelas, cara ia bergerak, link up play-nya, caranya memimpin dalam pertandingan ini sehingga ia berhasil mengubah semuanya (tim). Ia tidak statik sepanjang pertandingan dan kemudian mencetak gol. Arteta memilih Auba versi pekerja keras ini.

Apart from the goals, the celebration when they put the ball in the net, do you see the way he runs? The purpose he has to press the ball, and when he takes it his movement, his link, how is leading the game – that is when he is changing the rest, not when he is static and then he puts the ball in the net. I prefer this Auba.

MIKEL ARTETA

Mudah kita simpulkan bahwa selama ini Arteta terus mendorong Auba dan Laca agar dapat benar-benar menjadi leader di tim ini. Tim muda ini membutuhkan role model dan mereka berdua bisa memikul tanggung jawab extra itu. Dalam pertandingan ini Auba menunjukkannya. Ia berikan satu gol dan satu assist tapi yg lebih mengesankan Arteta adalah kerja kerasnya di lapangan.

Sayangnya setelah itu, demikianlah performa Aubameyang di pertandingan-pertandingan PL berikutnya:

  • Leicester vs Arsenal (0 – 2): Auba missed sitter 2x. Menurut saya mainnya masih OK walaupun akhirnya di match ini yang tampil untuk memberikan perbedaan adalah para pemain muda.
  • Arsenal vs Watford (1 – 0), Auba missed penalty. Emile Smith Rowe menjadi pahlawan dengan solo goalnya.
  • Liverpool vs Arsenal (4 – 0).

Karena penampilannya turun di dua pertandingan sebelumnya, inilah pesan Arteta untuk Auba sebelum pertandingan melawan Liverpool:

…he needs to continue the form that he’s in and the attitude that he’s showing and as well the level of implication that he has, not only around the team but around the club as well.

MIKEL ARTETA on AUbameyang pre-match vs liverpool

Arteta menuntut lebih dari kaptennya. Ia ingin Auba meneruskan performa baiknya dengan sikap dan kerja keras yang telah ia tunjukkan sebelumnya, tidak hanya di sekitar tim tapi juga di sekitar klub. Apa maksudnya? Pendek kata on dan off the pitch, Auba perlu bersikap sebagai seorang pemimpin (kapten) dan bekerja keras. Apakah “pesan” Arteta kepada Auba sebelum pertandingan itu semacam pertanda adanya penurunan upaya dari Auba on dan off the pitch?

Walau Arteta telah mengingatkan, Auba tetap bermain jelek di pertandingan lawan Liverpool tersebut. Arsenal tertekan sepanjang pertandingan dan akhirnya kebobolan di menit terakhir babak pertama lewat set pieces. Di babak kedua ada satu kesempatan saat counterattack Arsenal yang disia-siakan oleh Auba dengan tendangannya yang lemah. Blunder pun akhirnya dilakukan pemain-pemain muda Arsenal saat ingin mengejar ketertinggalan yang mengakibatkan Arsenal kembali terekspos oleh counterattack Liverpool yang berujung dengan kekalahan telak 4-0. Auba bermain penuh selama 90 menit.

Pertandingan berikutnya melawan Newcastle (menang) dan Manchester United (kalah), Auba diganti di menit ke-70-an oleh Laca dan ia tidak mencetak gol. Semenjak dipuji oleh Arteta setelah pertandingan Aston Villa tersebut, ironisnya Auba gagal mencetak gol di lima pertandingan berikutnya.

Arteta akhirnya menyerah dengan Aubameyang dan mencoba hal baru. Melawan Everton dan butuh kemenangan, Auba di-drop ke bench dan diganti Laca di starting lineup. Arsenal kalah 1-2 dan Auba masuk di menit ke-85 menggantikan Laca. Sepanjang pertandingan, saat kamera menyorot Auba, jelas terlihat rasa frustrasinya karena tidak dimainkan sejak awal. Kemudian terjadilah insiden historik tersebut.

Pertandingan melawan Everton itu terjadi di hari Senin. Arsenal akan main lagi lawan Southampton di hari Sabtu. Auba meminta izin ke klub untuk melewatkan training session di hari Rabu dengan alasan untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit dan membawanya ke London. Saat itu kasus Covid-19 lagi tinggi-tingginya di UK. Banyak pesepakbola PL dilarang berpergian keluar kota apalagi keluar negeri saat itu. Auba dikasih dispensasi oleh Arsenal untuk ke Perancis karena alasan ibunya yang sakit namun ia diminta untuk kembali pada hari yang sama ke London agar Kamis bisa ikut sesi latihan. Perlu diketahui saat itu Arteta dan tim sedang berada dalam tekanan tinggi akibat kalah dua kali berturut-turut melawan MU dan Everton. Arsenal harus bangkit dari kekalahan dan menang melawan Southampton.

Protokol Covid-19 saat itu menyatakan siapapun yang tiba di London mesti melakukan PCR test terlebih dahulu dan kalau sudah terbukti negatif baru boleh keluar dari isolasi terlepas orang itu atlet atau bukan. Kita tahu dari skandal False Positives FC bahwa hasil tes ini di Inggris bisa keluar paling cepat 8 jam dan paling lama bisa sampai 24 jam.

Auba kemudian kembali ke London di Kamis pagi hari, bukan Rabu sore atau malam sesuai komitmennya. Kamis pagi itu ia langsung ke training ground London Colney tanpa mengikuti protokol Covid yang berlaku tersebut. Ngakunya Auba: ia tidak tahu ada perubahan aturan protokol Covid. Arsenal terkejut dengan kedatangannya dan juga kecewa dengan Auba yang melanggar komitmen, padahal sudah diberikan dispensasi khusus.

Auba disuruh pulang sesampainya di training ground karena Arsenal tidak mau membahayakan skuad dan training ground yg beresiko untuk ditutup akibat pelanggaran protokol Covid-19 oleh Auba. Ia kemudian isolasi di rumah setelah melakukan tes PCR. Sayangnya di hari yang sama itu, ia ketahuan membuat tato baru yang jelas merupakan pelanggaran aturan isolasi. Foto tersebut di-upload oleh artis tatonya dan menjadi viral di socmed. Hal ini bukan pertama kalinya dilakukan Auba karena tahun lalu di tengah lockdown Covid-19 di UK, insiden serupa terjadi. Artis tato yang sama, Alejandro Nicolas Bernal, posting video ia yang sedang men-tato Aubameyang di tanggal 9 Februari 2021. Hal ini menjadi viral di socmed karena merupakan pelanggaran lockdown yang ketat saat itu di UK dan Arsenal berjanji akan bicara ke Aubameyang untuk mengklarifikasi dan mengingatkannya mengenai tanggung jawabnya di saat pandemi ini.

Flashback ke Awal 2021

Yang lebih menarik lagi, sebelum kejadian tato di bulan Februari itu, Auba juga absen membela tim karena mengunjungi ibunya yang sakit keras. Nah lho? Penasaran mengapa pola yang sama terjadi, saya kemudian mencoba menelusuri ulang apa yang terjadi di awal tahun 2021 itu dan membandingkannya dengan insiden di bulan Desember 2021.

  • 23 Jan 2021 FA Cup – Southampton vs Arsenal (1 – 0): Auba absen. Arteta hanya mengatakan Auba sedang melalui masa sulit tanpa menjelaskan penyebabnya.
  • 26 Jan 2021 PL – Southampton vs Arsenal (1 – 3): Auba kembali absen. Sehari berikutnya Auba menjelaskan ia absen karena ibunya yang sakit. Ia diberikan kesempatan oleh Arsenal untuk personal leave ini dan akan kembali ke London besoknya (28 Jan).
  • 30 Jan 2021 PL – Arsenal vs Man United (0 – 0): Auba belum kelihatan di bangku cadangan. Arteta masih supportive terhadap Auba dan mengatakan klub mendukungnya di masa sulit ini dan ia butuh waktu.
  • 2 Feb 2021 PL – Wolves vs Arsenal (2 – 1): Auba duduk di bangku cadangan, Laca start. Ini adalah pertandingan spesial di mana Craig Pawson memberikan Arsenal dua kartu merah. David Luiz mendapatkan kartu merah di menit ke-45 sehingga Laca terpaksa diganti Gabriel. Kemudian Pepe digantikan Auba di menit ke-61. Leno kena kartu merah di menit ke-72.
  • 6 Feb 2021 PL – Aston Villa vs Arsenal (1 – 0): Auba duduk di bangku cadangan, Laca start. Auba masuk di menit ke-59 menggantikan Laca.
  • 9 Feb 2021 – Video Tato diupload artisnya. Arsenal berjanji akan bicara dengan Auba. Kasus diselesaikan secara internal tanpa diumumkan apa sanksinya.
  • 14 Feb 2021 PL – Arsenal vs Leeds (4 – 2): Auba akhirnya menjadi starter setelah absen 3 pertandingan dan dicadangkan selama 2 pertandingan. Ia tampil gemilang dan mencetak hat-trick di pertandingan ini. Ia bermain full 90 menit.
  • 19 Feb – 12 Mar 2021 – Arsenal melawan Man City, Benfica (UEL), Leicester, Burnley dan Olympiacos (UEL). Auba main full di 4 pertandingan dan menjadi cadangan di match lawan Leicester yang berjarak terlalu dekat dengan Benfica. Ia mencetak 2 gol ke Benfica dan 1 gol ke gawang Burnley.
  • 15 Mar 2021 PL – Arsenal vs Tottenham (2 – 1). Kejadian telatnya Auba sehingga ia tidak dimasukkan ke dalam skuad sama sekali.
  • Sanksi indispliner Auba tidak berlangsung lama karena di pertandingan berikutnya melawan Olympiacos Auba menjadi starter, namun tidak mencetak gol dan Arsenal kalah. Kemudian lawan West Ham ia bermain sebagai RW dan Laca CF, Arsenal seri 3-3, Auba tidak cetak gol. Ia kemudian menjalankan tugas negara membela Gabon, dan di sana ia kena malaria. Pertandingan setelah itu lawan Liverpool dan Slavia Prague, Auba belum mengetahui kalau ia kena malaria, hanya saja badannya terlihat lebih lemas. Setelah itu ia divonis sakit malaria, opname di rumah sakit dan kemudian absen selama tiga minggu.
  • Auba kembali ke bangku cadangan saat semifinal UEL pertama melawan Villarreal, hanya bermain selama 5 menit dan tidak bisa membantu Arsenal yang kalah. Lalu ia start vs Newcastle yang menjadi awal dari rally 5 pertandingan PL terakhir Arsenal untuk menutup musim tersebut dengan sedikit bermartabat. Di pertandingan ini ia mencetak 1 gol dan 1 assist. Kemudian di semifinal UEL kedua, ia juga start tapi Arsenal hanya bisa mendapatkan hasil seri dan harus gugur dari kompetisi ini. Di 4 pertandingan PL terakhir, Auba tidak mencetak gol sama sekali. Auba mengakhiri musim tersebut hanya dengan 10 gol di liga, bisa disebut musim terburuk dari segi produktivitas gol dalam sebelas tahun terakhir kariernya.

Saya mencoba simpulkan serentetan kejadian di atas sebagai berikut: 23 Jan 2021, Auba minta dispensasi personal, diberikan. Kemudian saat ia telah menyelesaikan masalah pribadinya, pelan-pelan ia diintegrasikan kembali ke dalam tim. Arsenal kalah dua kali, ia malah bikin tato melanggar lockdown (9 Feb). Arteta bicara dengannya, kemudian ia tampil sangat baik melawan Leeds, masalah seakan-akan selesai. Namun sebulan kemudian, terjadilah insiden NLD itu. Ia dimaafkan, bermain kembali namun secara mental mungkin berpengaruh. Formnya memburuk dan ditambah ia kena malaria. Sejak NLD-gate tersebut, Auba hanya mencetak 1 gol dalam 10 pertandingan berikutnya. Sebaliknya Arsenal menang dalam 5 pertandingan PL terakhir itu, tanpa terlalu banyak kontribusi darinya.

Sejak NLD-gate tersebut, Auba hanya mencetak 1 gol dalam 10 pertandingan berikutnya. Sebaliknya Arsenal menang dalam 5 pertandingan PL terakhir itu, tanpa terlalu banyak kontribusi darinya.

arsenal di akhir musim 2020-2021

Menurut saya insiden NLD-gate itu cukup berpengaruh terhadap Auba. Karakternya yang extrovert tapi banyak menggunakan perasaan daripada logika (sunshine yellow personality), mudah tersinggung jika dipermalukan seperti itu oleh Arteta di depan rekan-rekan timnya. Bukan kebetulan bahwa semenjak itu form-nya jatuh bebas, dan seperti yang kita ketahui Auba tidak pernah kembali lagi ke form terbaiknya.

Their naturally outgoing, sociable, dynamic energy lifts the energy of the team as they love to provide a bit of a laugh. They worry about the team dynamic and want to ensure that everyone is involved. Their friendly, persuasive and animated behaviour can often help bring the group together.

If they are criticised on an idea, the Sunshine Yellow tends to go into “transmit” mode even harder rather than taking the time to find out where their colleague is coming from.

Sunshine Yellows with low emotional maturity may also avoid receiving critical feedback. They may choose to reject the person or respond in a passive-aggressive way.

Sunshine yellow personality – insights discovery

Not Captain Material

Kembali ke Desember 2021. Auba kemudian ditelepon oleh Arsenal, dikabari bahwa Jumat ia tidak perlu datang ke London Colney karena Sabtu ia tidak akan dimainkan sama sekali. Beberapa hari kemudian ia kembali ke training ground dan berbicara empat mata dengan Arteta dan juga dengan Edu. Arteta menjelaskan kepadanya sanksi yang harus diterimanya, ban kaptennya dicopot dan ia diinstruksikan untuk berlatih sendiri, terisolasi dari rekan-rekan timnya (miris, mengingat ia sering melanggar aturan isolasi) sampai masa waktu yang tidak ditentukan. Dan semenjak itu Arteta tak bicara lagi padanya.

Arteta kecewa karena Auba melanggar komitmen bersama dan terkesan meremehkan apa yang telah disepakati bersama, terutama di tengah kondisi kasus Covid yang memuncak di Inggris. Ia seperti tidak menganggap serius apa yang telah disepakati dengan klub padahal ia telah diberikan kepercayaan dan dispensasi spesial. Dan ini bukan kejadian yang pertama kali, bila kita melihat kronologis di atas. Kesimpulannya ia dianggap “abuse the trust” yang diberikan oleh Arteta dan tidak menjadi contoh kapten yang baik untuk timnya.

Semenjak Arteta menjadi head coach dan kemudian manager Arsenal, ia berulang kali menekankan pentingnya pemain Arsenal untuk merasa bangga dan terhormat, bahkan merasa “privileged” menjadi pemain yang mewakili klub ini. Seyogyanya sebagai pemain Arsenal, kebanggaan itu diaplikasikan dalam bentuk komitmen dan kerja keras baik di lapangan maupun di training ground. Disiplin adalah hal utama bagi Arteta bahkan sejak ia menjadi pemain. Selain itu menurut saya personality Arteta adalah Fiery Red, extrovert namun lebih menggunakan logika daripada perasaan sehingga karakter seperti ini umumnya sangat fokus, driven, tegas dan juga ruthless. Maka ia punya prinsip non-negotiables yang tidak boleh dilanggar semua anggota tim, apalagi oleh seorang kapten.

Menariknya, Auba sendiri seperti belum memahami mengapa ia dihukum demikian keras oleh Arteta. Di dalam preskonnya di Barca, ia menjawab kalau masalahnya ada di Arteta, bukan di dirinya. Ia tidak paham mengapa Arteta tidak senang (dan membesar-besarkan masalah yang mungkin dianggap sepele baginya), sedangkan ia kalem-kalem saja.

My problem was only with Arteta. He wasn’t happy. I can’t tell you more. He wasn’t very happy, I was very calm.

Auba on his broken relationship with arteta

Sementara itu Arteta menjelaskan alasannya mencabut ban kapten dari Auba:

I do not establish my authority by being dictatorial or ruthless,

I just ask for one thing: respect and commitment. At this level, if I don’t get that, I will pack my bags and go somewhere else because that is the minimum I can ask for.

I am going to expect that from everybody who works for the club. First of all from myself, and the day I don’t do that I will walk through that door and go and do something else. It as clear as that.

To be successful you have to be passionate about something and want to represent a club of this size, with its history. That is the minimum standard you have to bring. I am not going to ask anybody to put the ball in the top corner every time they hit it, but I will ask them to do the right things every single day for this club.

Arteta on auba being stripped of captaincy

Kita bisa membaca adanya keyword seperti respect, commitment, represent the club, dan yang terpenting “do the right things every single day for this club.” Dari sini kita bisa menyimpulkan Auba dinilai tidak melakukan hal-hal ini belakangan ini. Tentunya penilaian ini tidak hanya datang dari Auba seorang. Menyia-nyiakan dan kemudian membuang pemain bergaji tertinggi di klub saat ini tentunya tidak dapat dilakukan oleh seorang manager belaka. Board Arsenal tentunya mendukung Arteta 100% dalam hal ini.

Setelah membaca kembali serangkaian kejadian sebelum kasus terakhir ini terjadi, saya menduga setelah match lawan Aston Villa itu, Auba menurun lagi upayanya di training ground. Mungkin ia telat datang latihan, mungkin upayanya turun sekian persen. Implikasinya setelah pertandingan itu ia gagal mencetak gol dalam 5 pertandingan berikutnya dan gagal menginspirasikan tim dalam kapasitasnya sebagai kapten.

Sebelum pertandingan melawan Liverpool, Arteta memberikannya peringatan: tidak mencetak gol tidak masalah selama engkau meningkatkan upaya, melanjutkan aplikasi kerja keras di lapangan maupun training ground, karena ia melihat Auba mulai kendor lagi. Lalu di pertandingan Liverpool tersebut kita bisa melihat di saat tim lagi down, Auba juga tidak mampu menginspirasi rekan-rekan setimnya. Lalu di dua pertandingan berikutnya ia tampil buruk, dan akhirnya di-drop ke bench saat lawan Everton.

Arteta berharap setelah di-bench saat lawan Everton, Auba bisa bereaksi dengan introspeksi dan berusaha keras untuk bisa kembali ke starting lineup. Namun hal sebaliknya yang terjadi. Auba terkesan menganggap remeh dispensasi yang diberikan saat Covid-19, meninggalkan rekan-rekannya yg sedang latihan keras untuk bangkit melawan Southampton setelah dua kekalahan berturut-turut. Ia kembali ke London terlambat, pergi tatoan pula, tidak meminta maaf, dan alasannya: saya tidak tahu ada aturan baru soal isolasi. Pemain yang digaji setinggi itu kita harapkan agent-nya ataupun dirinya untuk melek terhadap aturan isolasi apalagi ketika ia mendapatkan dispensasi khusus. Arteta tidak bisa menerima alasan ini dan memutuskan, OK, you’re out, Auba.

Absennya Auba digantikan oleh Laca, teman baiknya. Dan ternyata dipimpin oleh Laca yg bekerja keras, Arsenal malah menang di 4 match PL berikutnya dan memberikan penampilan terbaik musim ini saat melawan Man City. Laca memberikan kontribusi 2 gol dan 3 assist di 5 match itu. Kehadiran Auba tidak dirindukan Arsenal sama sekali.

Bila Arsenal mampu move on dari Auba, sebaliknya Auba tidak berhasil merehabilitasi nama baiknya ketika diberikan kesempatan untuk membela Gabon di AFCON. Ia memilih party di Dubai tanpa masker bersama beberapa rekannya sebelum AFCON resmi dimulai. Akibatnya ia dan Mario Lemina positif Covid.

Apakah Auba memang tidak sadar pentingnya perannya sebagai kapten timnas di saat itu? Di tengah kritikan terhadapnya yang dianggap gagal sebagai kapten Arsenal? Contoh seperti apa yg dapat ia berikan kepada rekan-rekan setimnya?

Kemudian kembali muncul rumor yang tidak baik, bahwa setelah recover dari Covid-19 di Cameroon ia pulang ke hotel di dini pagi hari bersama Mario Lemina dalam keadaan mabuk. Rumor ini malah dimuat oleh L’Union, koran terkenal di Gabon. Auba membantah hal ini. Kita tidak tahu mana fakta yang benar, namun timnas Gabon memulangkannya ke London, dengan alasan resmi: masalah kesehatan jantung akibat Covid. Arsenal kaget dan bingung. Auba dicek, dan dinyatakan kondisi jantungnya baik-baik saja saja. Artinya alasan itu dibuat-buat oleh timnas Gabon dengan tujuan memulangkan Auba. Tanya kenapa?

Reputasi Aubameyang di Arsenal semakin jatuh. From hero to zero, hanya dalam satu setengah tahun. Arteta membawa timnya ke Dubai untuk training sekaligus team bonding. Auba tidak dibawa sementara pemain yang numpang latihan seperti Jack Wilshere saja dibawa Arsenal. Ini adalah sinyal keras kalau Auba mesti mencari klub baru karena bukan lagi bagian dari masa depan Arsenal. Agent-nya mulai bergerilya mencari klub yang berminat.

Barca The Saviour

Saat tawaran Barca datang, kesempatan emas ini tentunya tidak akan disia-siakan oleh Arsenal. Toh Auba tidak akan dimainkan lagi. Bila ia bisa dilepas di Januari tersebut, maka Arsenal bisa menghemat gaji tingginya selama 1,5 musim (untuk persiapan pembelian striker top di Juni nanti) dan tim bisa fokus di setiap pertandingan tanpa harus menghadapi pertanyaan dari media setiap minggu, “Kapan Auba main lagi?”

Namun misi melepas Auba ke Barca ternyata tidak semudah itu. Arsenal hampir gagal deal dengan Barca karena Barca terikat dengan aturan La Liga soal budget gaji pemain. Mereka hanya mampu membayar Auba sekitar 2,5 juta euro untuk musim ini. Mereka ingin Arsenal membayar sisa gaji Auba dengan status loan 6 bulan dan kemudian di akhir musim ditinjau kembali. Arsenal tidak mau. Hampir deadlock, Arteta akhirnya memutuskan bersama Tim Lewis untuk terminate kontrak Auba saja sehingga ia bisa bergabung dg Barca dengan status free agent. Auba sudah ngebet ke Barca dan sejak siang hari itu sudah terbang ke Barca untuk persiapan tanda tangan kontrak di deadline day transfer window.

Untuk putuskan kontrak Auba dan menghasilkan win-win solution untuk semua pihak, kira-kira begini formula yang diterapkan:

  • Auba basicnya £250K/week di Arsenal, £350K/week kalau ada bonus goal + appearance.
  • Auba terima dari Barca £100K/week sampai akhir musim ini. Namun ia mendapatkan kontrak selama 3,5 musim, 2 tahun extra dari sisa kontraknya di Arsenal.
  • Arsenal membayar ke Auba severance payment untuk pemutusan kontrak, senilai £7 juta. Ini sama dengan £350K/week dikali 20 minggu yang tersisa untuk musim ini. Dengan cara ini Arsenal menghemat gaji Auba full musim depan, senilai £13 juta dari basicnya saja.
  • Barca akan menaikkan gaji Auba di musim depan, mungkin tidak signifikan namun dengan memberikan ia kontrak selama 3,5 musim, dibayar £100K/minggu pun sama nilainya dengan sisa kontraknya yang 1,5 musim di Arsenal. Ada opsi break contract di Juni 2023, yang mana ada kemungkinan Auba akan diputus-kontrak saat itu dan sisa gajinya dibayar penuh oleh Barca karena Auba mungkin tidak akan cukup fit untuk bermain di Barca sampai dengan 2025 (ia akan berusia 36 tahun saat itu). Dengan demikian secara keseluruhan Auba tidak kehilangan potensi pendapatan dari sisa kontraknya di Arsenal.

Dengan solusi di atas, semua pihak mendapatkan solusi yang diinginkan. Arsenal bisa menghemat gaji yang signifikan, Barca bisa mendapatkan pemain bintang yang sudah lama mereka incar walaupun sedang di penghujung kariernya, dengan gaji relatif murah, dan Aubameyang bisa menyelamatkan mukanya, melupakan penderitaan diisolasikan dari tim dan sebaliknya dapat bergabung kembali dengan sohib party-nya, Ousmane Dembele yang ironisnya memilih tinggal hingga akhir musim ini di Barca karena kedatangan Auba (OK, so not really win-win for Barca).

Legacy

Manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan. Rencana Auba untuk mengakhiri karier di Arsenal dan meninggalkan legacy yang harum sebagai legenda Arsenal gagal terlaksana. Tentunya sikap dan aksinya sendiri yang menjadi sebab utama kegagalan tersebut (bila ia mau jujur dengan diri sendiri). Bila dulu percakapannya yang jujur dengan Arteta tentang makna legacy membuatnya memperpanjang kontrak, maka percakapan yang jujur kali ini dengan Arteta mengenai komitmen yang dilanggar dan kekecewaan klub terhadap sikapnya mesti diterima dengan pahit oleh Auba. Sayangnya ia (dan kita) mesti menerima kenyataan bahwa ia gagal menjadi legacy sebagaimana impian semua supporter Arsenal di momen perpanjangan kontrak itu.

Menariknya, tim muda ini tidak merasakan kehilangan dengan kepergiannya. Mereka bermain dengan baik setelah ia di-drop dan berlatih dengan ceria di Dubai tanpa dirinya. Kapten baru lahir di dalam seorang Laca, yang menjalankan perannya dengan sangat baik di periode ini. Sudah bukan rahasia umum kalau Laca adalah figur senior yang dihormati terutama oleh pemain-pemain muda, karena ia sering memberikan mereka bimbingan.

Menariknya lagi, tidak cuma Auba, dari sejumlah pesepakbola yang pernah menjadi kapten Arsenal, sebagian besar tidak memiliki kesempatan mengakhiri kariernya di Arsenal. Setelah Tony Adams yang pensiun di Arsenal, sejumlah pemain seperti Vieira, Henry, Gallas, Fabregas, Van Persie, Vermaelen, Koscielny, dan sekarang Aubameyang meninggalkan Arsenal untuk mengakhiri karier bermain mereka di klub lainnya. Namun ada fakta yang menarik juga, hanya dua kapten Arsenal yang kariernya berakhir di klub ini semenjak Adams, yaitu Mikel Arteta dan Per Mertesacker. Dan mereka berdua sekarang menjadi First Team Manager dan Academy Manager di klub tercinta. Bukan kebetulan kalau mereka berdua inilah yang benar-benar memahami apa artinya kehormatan yang diberikan untuk membela klub ini. Wenger berhasil mendidik keduanya dengan baik untuk mewarisi title Mr. Arsenal berikutnya, setelah Mr. Arsenal orisinal, Tony Adams.

Lembaran Aubameyang di klub ini akhirnya kita tutup. Terima kasih untuk 4 tahun pengabdiannya. Alih-alih meninggalkan legacy, Aubameyang “ditinggalkan” oleh managernya dan timnya. Kita akan mengenang manis video announcement pembelian Auba “Yo Pi’erre, you wanna come out here?” yang sampai saat ini belum bisa tergantikan kerennya. Kita akan mengenang gol-gol indah Aubameyang, trofi FA Cup 2020, dan senyum lebarnya yang affectionate ketika ia sedang happy. Namun kita juga memahami sekarang, mengapa perpisahan ini harus terjadi.

Selamat tinggal Auba, sayang sekali kisahmu dan Arsenal mesti berakhir di sini. Kami akan maju terus, untuk menuju Top Four di akhir musim. Entahlah kalau kita bisa berjumpa lagi di Champions League atau tidak musim depan (tergantung finish-nya Barca juga 😉).

Up The Arsenal!