Specialist in Failure and The Great Arsene Wenger

Menulis tentang Arsenal, sesuatu yang menjadi passion saya, bukanlah hal yang sulit. Menemukan waktu untuk menulis di kala kesibukan untuk mencari sesuap nasi ini yang sulit. Disibukkan oleh kegiatan rutin di proyek, saya coba manfaatkan sedikit waktu dari libur panjang 4 hari ini untuk menuliskan pandangan saya mengenai perkembangan terbaru di Premier League, khususnya tentang Arsenal.

Kejadian spesial di Premier League musim ini yang mendorong saya untuk menulis sebuah artikel adalah ketika si sombong terkena batunya. Jose Mourinho dipecat Chelsea untuk kedua kalinya. Dua kali. Belum pernah seumur hidup saya bertemu dengan orang yang dipecat perusahaan yang sama dua kali. Anda perlu menjadi orang yang sangat-sangat spesial untuk dipecat dua kali oleh employer yang sama. Special One menjadi Specialist in Failure.

thenew specialist in failure

Headline media Inggris di awal Oktober akhirnya menjadi kenyataan

Mourinho dan Chelsea pasti tidak menduga kejadian di tahun 2007 akan terulang sekarang. Saat Mourinho kembali menukangi Chelsea untuk kedua kalinya, ia menyebut dirinya sebagai The Happy One dan ingin membangun dinasti yang berlangsung lama di Chelsea ala Ferguson di MU dan Wenger di Arsenal. Namun apa boleh buat, 2 tahun lebih kemudian, Chelsea menemukan bahwa Mourinho tidak punya daya tahan dan kemampuan manajerial setara Ferguson dan Wenger. Ia tidak mampu mengendalikan pemainnya setelah 2 musim bersama, kehilangan respek para pemainnya dan akhirnya gagal di awal musim ketiganya. Sama dengan kejadian 8 tahun lalu, sama dengan apa yang terjadi di Real Madrid. Mimpi dinasti Mourinho akhirnya buyar.

downrightsizzlingantelope

Gif di atas terjadi tahun lalu, ketika Wenger mendorong Mourinho saat ingin mendatangi Sanchez di pinggir lapangan setelah ditekel keras oleh Gary Cahill. Dari rekaman tersebut, terlihat jelas siapa yang lebih gagah (umur tidak menjadi patokan). Wenger dan Mourinho jelas bukan teman akrab. Mourinho sering memancing Wenger dengan berbagai ejekan: voyeur, specialist in failure, dan berbagai sindiran lain di press conference yang kadang tidak ada hubungannya dengan Arsenal. Dari segala ucapannya untuk Wenger, walaupun Mourinho “sukses” di berbagai liga, tampaknya ia masih menyimpan rasa iri terhadap reputasi dan popularitas Wenger di antara fans Arsenal, mantan pemain Arsenal, para manager sepakbola dan media.

Chelsea memenangkan pertandingan tersebut 2-0. Mourinho won the battle but lost the war. Hanya setahun lebih sejak kejadian tersebut, Mourinho dengan pengecutnya “minta” dipecat oleh Chelsea karena ia tak dapat mengembalikan form Chelsea yang terpuruk di zona relegasi. Ia tak berani menghadapi sisa musim ini, harus berjuang untuk survive di Premier League tanpa kemungkinan berakhir di top four (trofi keempat buat klub Inggris). Sementara itu Arsenal bertengger di dekat puncak klasemen, hanya berjarak 2 poin dari Leicester City, setelah menang dari rival utama, Manchester City. Wawancara-wawancara Mourinho dalam preskon Chelsea satu bulan belakangan ini jelas berupaya mem-provokasi Roman Abramovich untuk memecatnya. Mengatakan pemainnya sebagai pengkhianat, menuduh ada yang membocorkan strateginya, dll, di depan media adalah trik Mourinho untuk “kabur” dari tanggung jawabnya sebagai manager klub. Segala kejelekan Mourinho muncul di musim ketiganya di klub yang sama. Ia membuktikan pendapat umum bahwa ia adalah manager short term, manager yang hanya dapat bertahan 2 musim di satu klub. Alih-alih ingin membangun dinasti, karir Mourinho di satu klub seperti jejak di pasir pantai yang segera hilang disapu ombak. Akhirnya ia dipecat Chelsea, untuk kedua kalinya. Specialist in failure.

Tulisan Jonathan Wilson di Guardian, The devil and José Mourinho, mengulas sosok Mourinho dengan detail. Artikel tersebut menyimpulkan Mourinho membangun karirnya dengan semangat balas dendam (terhadap Barcelona). Ia melatih sepakbola anti-Barcajax (Barcelona-Ajax). Antitesis sepakbola possession ala Total Football, Mourinho menitikberatkan pada sepakbola bertahan yang menitikberatkan pada counter attack. Mourinho punya prinsip: “Whoever has the ball is more likely to make a mistake”. Semakin sering sebuah tim membawa bola, semakin besar kemungkinan ia kehilangan bola. Dan kehilangan bola saat menyerang adalah momen yang paling berbahaya. Counterattack adalah serangan terbaik, dalam waktu cepat menghasilkan peluang yang amat berbahaya (karena bentuk formasi lawan yang terbuka). Artikel itu mengulas dengan sangat baik mengapa hal itu menjadi kesuksesan Mourinho di awal karirnya di Chelsea dan Real Madrid namun juga menjadi sumber kegagalannya di musim ketiga di kedua klub tersebut. Wajib dibaca untuk mengenal lebih jauh sosok manager kontroversial tersebut.

Satu hal lain yang menarik dari artikel tersebut, yang juga membuktikan pandangan saya sebelumnya terhadap Mourinho adalah bahwa pendekatannya dalam me-manage klub adalah menggunakan krisis, menciptakan musuh bersama, selaras dengan taktik sepakbolanya yang reaksioner (counterattack, bertahan). Mourinho adalah ahlinya counter, menerapkan taktik reaksi atas taktik lawan. Untuk sukses, ia menciptakan musuh bersama: Arsenal, Wenger, media, wasit, sepakbola menyerang, dll, dan menggunakannya untuk membangun semangat dan kebersamaan tim. Mourinho kewalahan saat slogan musuh bersama itu menjadi usang, ia tidak mampu memotivasi dengan cara yang lebih positif, menciptakan tujuan bersama. Ia tak dapat memotivasi pemainnya secara positif, tanpa menemukan bahan untuk provokasi dan reaksi.

Ketika pemainnya tidak termotivasi lagi di musim ini, bosan dengan sepakbola bertahannya, ia gagal memutarbalikkan keadaan. Ia mencoba menciptakan musuh baru: wasit. Lalu ia melakukan blunder fatal, musuh baru ciptaannya: Eva Carneiro adalah dokter favoritnya para pemain Chelsea. Sejak kejadian dengan Eva tersebut, Chelsea terus terpuruk dan Mourinho mencari cara untuk kabur, mendesak klub untuk memecatnya, dengan provokasi. Mourinho tidak pernah introspeksi dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia selalu mencari kambing hitam atas kegagalannya: entah itu wasit, media, dokter klub, pemainnya, atau bahkan pemiliknya.

The Great Arsene Wenger

Kegagalan Mourinho semakin membuat saya semakin mengagumi Arsene Wenger. Di musim 2011/2012 Arsenal mengalami krisis yang mirip dengan Chelsea musim ini. Masih ingat kekalahan 8-2 dari MU di pertandingan ketiga awal musim tersebut? Sebelumnya di pertandingan pertama Arsenal seri 0-0 dari Newcastle kemudian di pertandingan kedua kalah 0-2 dari Liverpool. Awal musim yang buruk itu juga dipengaruhi oleh hengkangnya Fabregas dan Nasri, dua pemain tengah inti Arsenal, di bulan Agustus. Sebulan sebelumnya, Clichy juga “terpaksa” dijual ke City. Di last minute transfer window, Arsenal kalap belanja untuk menutupi lubang yang ditinggal 3 pemain intinya. Masuklah Mertesacker, Arteta, Andres Santos, Yossi Benayoun (loan) dan Park Chu-Young (yang sama sekali tidak digunakan) melengkapi Gervinho dan Chamberlain yang dibeli lebih awal.

Badai hilangnya pemain lama dan masa adaptasinya pemain baru membuat Arsenal terpuruk di awal musim. Dalam 6 pertandingan pertama musim itu, Arsenal hanya bisa mendapatkan 7 poin, persis dengan hasil yang didapatkan Chelsea di 6 pertandingan awal musim ini. Grafik di bawah ini menunjukkan kemiripan start buruk Chelsea musim ini dan Arsenal 2011/2012.

Arsenal vs Chelsea

Worst Start of The Season

Dari grafik di atas, bisa dilihat bahwa Arsenal melejit setelah pertandingan ke-7. Arsenal mencetak 5 kemenangan berturut-turut setelahnya dan tidak kalah lagi hingga ke pertandingan ke-16. Sementara itu dalam jangka waktu yang sama, Chelseanya Mourinho kalah sebanyak 6 kali yang diselingi 2 kemenangan dan 1 seri. Berangkat dengan nilai yang sama di pertandingan ke-6, Arsenal musim itu mendapatkan 29 poin dalam 16 pertandingan sementara Chelsea hanya mendapatkan 15 poin sebelum Mourinho dipecat. Dengan rata-rata kurang dari 1 poin per game menjelang paruh musim (untuk menjadi juara liga diperlukan 2,2 – 2,3 poin per game) dan tidak adanya indikasi akan terjadi perubahan radikal, Mourinho memang harus dipecat.

Padahal Mourinho memiliki semua pemain terbaiknya dari musim lalu. Ia tak perlu menjual pemain untuk membiayai keuangan klub. Ia masih punya Hazard, Fabregas, Costa dan Thibaut Courtois (walau sempat cedera). Satu-satunya pemain terbaiknya yang terpaksa ia lepas adalah Petr Cech, kiper kedua, itupun berkat kemurahan hati Roman Abramovich. Ia juga mendapatkan pemain baru tambahan seperti Falcao, Pedro, Begovic dan Baba Rahman. Mourinho tidak merasakan 10% pun dari krisis yang dirasakan Wenger di awal musim 2011/2012. Namun Wenger berhasil membalikkan krisis tersebut menjadi kekuatan. Arsenal berhasil duduk di peringkat ke-3 di musim tersebut. Dengan start awal yang sama buruknya dalam 7 pertandingan pertama, kualitas managerlah yang berbicara. Tidak ada yang menyangka dengan start seburuk itu Arsenal masih bisa finish di peringkat 3 dan lolos ke Liga Champions musim itu. Contoh terbaru dari Chelsea dan Mourinho ini secara tidak langsung menegaskan supremasi daya tahan dan kekuatan magis Arsene Wenger. Inilah salah satu alasan mengapa Wenger mampu bertahan hampir 20 tahun di Arsenal sedangkan Mourinho sulit bertahan lebih dari 3 musim setiap kali ia mencoba.

Keberhasilan itu relatif. Bila Anda sedang bekerja di perusahaan yang menerapkan KPI (key performance indicators), tentunya Anda mengerti kalau di setiap awal tahun antara employee dan employer (atau superior/boss) akan terjadi kesepakatan Sasaran apa yang ingin dicapai tahun ini. Perusahaan ingin menetapkan hasil sebaik mungkin, tapi harus melihat resource, sumber daya perusahaan saat itu. Tidak mungkin semua perusahaan ingin menjadi nomor satu di bidangnya, tanpa sumber daya nomor satu juga. Kita perlu melihat keluar: peluang di market, kompetisi di market itu sendiri, lalu melihat ke dalam: asset, kemampuan manajemen, dan kekuatan organisasi. Dari situ kita menerapkan sasaran yang optimistis namun juga realistis. Selama sasaran yang disepakati bersama itu dapat dicapai di akhir tahun, kedua belah pihak akan puas. Hal yang sama terjadi di semua klub sepakbola. Semua fans inginnya trofi sebagai ukuran kesuksesan, namun manager dan pemilik klub memiliki tolak ukur kesuksesan yang sedikit berbeda. Saya yakin Abramovich tidak menuntut Chelsea untuk selalu juara liga di setiap musim. Namun ia tentunya ingin konsistensi di setiap musimnya. Nah mengukur konsistensi untuk tim elit itu mudah, yaitu selalu lolos ke Liga Champions, artinya selalu minimum di peringkat ketiga atau keempat.

Wenger pernah diledek oleh media dan fans bola karena menyebutkan peringkat keempat sebagai trofi. Itu karena Arsenal sudah lama tidak mendapatkan trofi hingga 2 musim lalu. Wenger dianggap demikian “desperate” hingga delusional menganggap peringkat keempat sebagai trofi.

Wenger akhirnya membocorkan bahwa “KPI” yang disepakatinya bersama board Arsenal selama musim puasa (2005-2014) adalah minimal peringkat keempat setiap musimnya, karena kesulitan keuangan Arsenal sebelum 2014 (baca Model Finansial Arsenal) dan invasi sugar daddy clubs. Saat ini “trofi” peringkat keempat tersebut menjadi tuntutan fans Liverpool, Chelsea dan MU terhadap managernya. Kita masih ingat betapa gembiranya fans United berhasil mendapatkan “trofi” tersebut musim lalu setelah dipimpin oleh Van Gaal. Dan saya juga yakin fans Liverpool tidak akan menolak diberikan “trofi” peringkat keempat di akhir musim. Bahkan mungkin mereka rela untuk ditukar dengan trofi FA Cup ataupun League Cup. Sayangnya fans Chelsea tidak akan mendapatkan “trofi” peringkat keempat tersebut musim ini. Untuk bisa lolos ke peringkat keempat, Chelsea mesti meraih 2,4 hingga 2,5 poin/game, yang amat sangat sulit.

Peringkat keempat, lolos ke Liga Champions adalah bukti konsistensi sebuah klub. Ia menjadi sasaran dalam KPI yang disepakati oleh pemilik klub elit dan managernya. Ia menjadi indikasi supremasi klub elit. Arsene Wenger, dengan budget yang terbatas untuk membeli pemain terbaik, dengan badai krisis yang diciptakan dari hengkangnya pemain-pemain terbaiknya ke klub rivalnya, selama ia memimpin Arsenal, tidak pernah keluar dari peringkat keempat. Tidak ada satupun klub di Eropa selain Real Madrid yang sanggup menyamai konsistensinya. Dalam 5 musim terakhir ini, hanya Manchester City dan Arsenal yang tidak pernah keluar dari top four. Dan dilihat dari klasemen terbaru, hanya Manchester City dan Arsenal yang bisa yakin tetap di top four di akhir musim. Sisa dua tempat akan diperebutkan Leicester City, MU, Liverpool, dan Tottenham.

Karena keberhasilan manager yang ditopang budget tak terbatas, kita sering lupa kehebatan dan konsistensi manager kita sendiri, Arsene Wenger. Mourinho tidak akan bisa sukses bila ia berada dalam situasi yang dihadapi Wenger selama ini. Sekarang terbukti dalam situasi yang relatif lebih mudah, ia gagal. Wenger baru bisa membeli pemain idamannya (Ozil, Sanchez) dan tidak menjual pemain terbaiknya setiap musim (Ramsey, Koscielny) sejak 2 musim lalu. Dua trofi FA Cup hasilnya. Musim ini dia tidak berhasil menggaet Lewandowski maupun Benzema, tapi ia mendapatkan Petr Cech, kiper idamannya sejak 11 tahun silam dan sejauh ini Arsenal memulai musim dengan cukup baik, mengingat kejatuhan rival-rivalnya dan kejutan dari tim seperti Leicester City, Crystal Palace. Arsenal masih menjadi satu-satunya tim yang mengalahkan Leicester City, 5-2, di kandang mereka pula.

Apa bedanya Mourinho dan Wenger?

Mourinho menggunakan motivasi musuh bersama, sedangkan Wenger menggunakan motivasi tujuan bersama.

Mourinho menggunakan setiap kesempatan untuk mengejek rivalnya, sedangkan Wenger melewatkan kesempatan untuk menggarami luka Mourinho (soal etika).

Mourinho meminta pemain Chelsea menang untuk dirinya, sedangkan pemain Arsenal ingin menang untuk Wenger tanpa harus diminta (interview Arteta, Walcott, Ramsey).

Mourinho merengek saat klub tak membelikan pemain idamannya, Wenger menerima keterbatasan budgetnya dan bekerja dengan segala keterbatasannya (selama bertahun-tahun).

Mourinho menerapkan sepakbola reaktif (bertahan, menyesuaikan dengan taktik lawan), Wenger menerapkan sepakbola pro-aktif (menyerang, mendominasi lawan dengan gaya sepakbola sendiri).

Mourinho menginstruksikan secara detail taktik kepada pemainnya (penekanan intelligence pelatih di atas segalanya), Wenger memberikan balance dan shape dan membiarkan pemainnya berkreasi sendiri di lapangan (intelligence pemain lebih penting).

Mourinho mengabdi kepada dirinya (devil di dalam diri), Wenger mengabdi kepada klubnya.

Kesempatan Emas Arsenal

Bila kita melihat start 5 musim terakhir Arsenal, maka musim ini memiliki kemiripan yang sama dengan musim 2013/2014 di mana Arsenal memimpin klasemen terlama di musim itu (dari September hingga Februari) namun gagal di paruh ketiga musim. Kekalahan 1-5 dari Liverpool menjadi awal kejatuhan Arsenal dari puncak klasemen musim itu.

Arsenal 5 seasons.png

Grafik di atas menunjukkan nilai yang sama yang didapatkan Arsenal musim ini dan musim 2013/2014, 36 poin dari 17 pertandingan (2,12 ppg). Ini merupakan hasil terbaik dalam 5 musim terakhir. Bila Arsenal bisa menghindari hasil buruk di Februari sebagaimana 2 tahun lalu, maka musim ini adalah peluang terbesar Arsenal untuk menjadi juara liga.

Ada beberapa perbedaan Arsenal 2 tahun lalu dan Arsenal sekarang:

  1. Arsenal bisa menang melawan tim besar (United, Chelsea, City, Liverpool semua pernah dikalahkan).
  2. Mental juara, Arsenal sudah memenangkan 2 kali FA Cup berturut-turut.
  3. Mesut Ozil dalam kondisi terbaiknya.
  4. Back four yang solid dan dalam performa terbaiknya: Bellerin, Per, Koscielny, Monreal.
  5. Petr Cech.

Bila kelima faktor tersebut belum cukup, Wenger perlu melakukan satu hal lagi untuk menjamin adanya solusi ketika terjadi krisis: membeli pemain di transfer window Januari.

Di musim 2013/2014 Wenger melakukan kesalahan fatal dengan hanya membeli Kim Kallstrom yang kemudian cedera sebelum dimainkan. Walcott juga cedera panjang di paruh musim dan Arsenal praktis hanya mengandalkan Giroud dan Ramsey untuk mencetak gol. Musim ini untuk mengantisipasi cedera Coquelin, posisi DM menjadi sasaran pembelian utama.

Ada satu pemain di posisi tersebut (tidak tepat DM, tapi box to box) yang sangat dikagumi Wenger. Tahun lalu saat diwawancara sebuah stasiun televisi, ini kata Wenger:

‘As a footballer, he has everything. It is difficult to figure out what he doesn’t have.

‘Things happened very quickly. We were interested in him. We tried to get him to come here. But he very quickly signed for Juventus.

‘He has the potential to win the Ballon d’Or.’ 

Nama pemain itu adalah Paul Pogba.

Di masa ketika Wenger mulai punya budget untuk mendapatkan pemain-pemain idamannya yang sempat berlabuh dahulu di klub lain (Ozil, Sanchez, Cech), apakah ia akan mencoba untuk menarik Paul Pogba dari Juventus Januari nanti? Kita boleh mulai bermimpi.

 

 

Advertisement