Sebagai fans Arsenal yang cenderung mengerem diri supaya tidak terbuai dengan hype seputar rumor transfer pemain baru di setiap transfer window (TW), sepertinya akan sulit untuk menahan diri kali ini. Bila pada musim-musim sebelumnya fans Arsenal sering merasa kena PHP isu transfer pemain, musim 2021/2022 ini tidak sedikit Arsenal fans mulai merasa optimis dengan TW Arsenal kali ini. Apakah kita sudah boleh optimis? Yuk kita analisa.
Arsenal dikaitkan dengan beberapa nama besar di TW kali ini. Beberapa media sepakbola mainstream dan jurnalis dengan reputasi reliable seperti David Ornstein sendiri sudah mengatakan Arsenal akan belanja besar musim ini walaupun klub tetap harus melakukan penjualan pemain. Ambisi Arsenal musim ini adalah meningkatkan kualitas skuad, membuat tim menjadi lebih seimbang dan sesuai visi sang manager dengan tujuan utama masuk kembali ke top four (Champions League money, baby). Arsenal sadar saat ini (di tengah pandemi Covid-19) adalah momen terbaik untuk investasi besar-besaran di tim atau terancam terus bercokol di papan tengah, turun derajat dari imej big club. Seorang businessman hendaknya tahu pentingnya melindungi nilai asetnya, tidak membiarkan nilainya terus merosot. Kroenke sebagai pebisnis yang memulai dari bisnisnya dari real estate, tentunya sangat paham hal ini.
Akibat hilangnya pemasukan dari stadion, dan banyaknya hak siar TV yang tidak terbayarkan di luar Premier League, banyak klub terpaksa harus menjual pemainnya sedangkan tidak banyak klub yang memiliki kemampuan finansial untuk membeli pemain baru. Kondisi ini menjadikan TW kali ini buyer market. Pembeli menjadi raja. Kita menyaksikan sendiri bagaimana Arsenal bisa membeli Nuno Tavares senilai 8 juta Euro dan Albert Sambi Lokonga senilai 17,5 juta Euro (sebelum adds-on) yang mana di musim normal akan membutuhkan dana 1,5 sampai 2 kali lipat. Setelah mengamankan kedua pemain ini, Arsenal diberitakan akan membeli Ben White dari Brighton & Hove Albion senilai 50 juta pounds (tampaknya pandemic great sale tidak berlaku untuk pemain dari klub Premier League).
Di sisi lain kita juga kesulitan untuk menjual pemain surplus. Mavropanos dan Guendouzi hanya bisa “dijual” dengan sistem loan dahulu di musim ini dan obligation to buy di akhir musim dengan harga yang relatif murah, di bawah ekspektasi Arsenal. Total deal Mavropanos dan Guendouzi jika semua syaratnya terpenuhi adalah masing-masing 5.5 juta pounds dan 10 juta pounds, hanya separuh dari ekspektasi Arsenal.
William Saliba, pemain terfavorit (untuk kategori belum pernah debut) fans Arsenal akhirnya dipinjamkan ke Marseille selama satu musim penuh dengan harapan ia akan berkembang menjadi pemain yang lebih baik dan siap untuk tampil di Premier League musim depan. Dengan 3 pemain keluar dan 2 pemain masuk, plus sejumlah pemain loan dan pemain habis kontrak dirilis akhir musim lalu, seperti inilah skuad Arsenal sekarang.

Aturan Home Grown
Dari tabel di atas, bisa dilihat sekarang Arsenal tidak memiliki masalah Home Grown lagi. Tidak seperti musim sebelumnya yang berakibat Mesut Ozil dan Sokratis tidak bisa didaftarkan ke Premier League.
Demikian bunyi aturan Home Grown Premier League:
Each Premier League club have submitted a squad list for the 2020/21 season.
Each squad contains no more than 17 players who do not fulfil the “Home Grown Player” (HGP) criteria.
The rest of the squad, up to a total of 25 players, must be “Home Grown”.
Each club squad list is below as well as an additional list of each club’s registered Under-21 players who are eligible over and above the squad limit of 25 players.
What is a Home-Grown Player?
A “Home-Grown Player” means a player who, irrespective of nationality or age, has been registered with any club affiliated to The Football Association or the Football Association of Wales for a period, continuous or not, of three entire seasons, or 36 months, before his 21st birthday (or the end of the season during which he turns 21).
Rules on U21 players
Under-21 players are eligible over and above the limit of 25 players per squad. For the 2021/22 campaign Under-21 players will have been born on or after 1 January 2000.
Singkatnya jumlah pemain tim utama max 25 orang dengan syarat Non HG max 17, dan sisanya HG. Bila HG kurang dari 8, artinya pemain tim utama yang bisa didaftarkan menjadi kurang dari 25 orang, tidak termasuk pemain U-21 yang tidak memiliki batasan jumlah.
Tim utama Arsenal saat ini terdiri dari 29 pemain dengan komposisi 16 Non HG, 7 HG dan 6 U-21. Nuno Tavares bisa dikategorikan U-21 hanya untuk musim ini karena ia lahir di tahun 2000. Musim depan, ia akan masuk kategori Non HG. William Saliba bila kembali ke Arsenal musim depan nanti akan masuk kategori HG, karena Arsenal membelinya dan mendaftarkan izin kerjanya di Inggris sebelum ia berusia 18 tahun. Tahun depan, ia akan genap menyelesaikan 3 musim dengan status legal sebagai pemain Arsenal sebelum ia berusia 21 tahun, sehingga memenuhi syarat untuk menjadi pemain Home Grown.
Kesimpulannya, sampai saat ini skuad Arsenal telah memenuhi persyaratan aturan Home Grown.
Surplus Pemain
Di tabel di atas saya juga mewarnai pemain dengan warna merah, kuning dan hijau berdasarkan penampilan mereka musim lalu. Merah itu untuk pemain surplus, yang menurut saya akan dibuang Arteta, hijau untuk pemain yang kelihatannya akan dipakai di musim ini, dan kuning untuk pemain yang mana statusnya belum jelas, bisa dipertahankan, bisa juga dijual atau pinjamkan tergantung dengan penampilan selama pre-season dan tawaran dari klub lain. Anda boleh bikin tabel versi sendiri tapi saya rasa tidak akan berbeda jauh dengan tabel versi saya ini.
Ada 8 pemain merah yang terdiri dari 5 pemain Non HG dan 3 pemain HG. Menjual atau loan out 8 pemain dalam satu transfer window (TW) tentunya hal yang sangat sulit, belum ditambah dengan membeli penggantinya. Saya tidak yakin seluruh 8 pemain surplus ini dapat dikeluarkan dari klub di TW ini. Arsenal juga tidak mau menjual pemainnya terlalu murah di market yang sedang depresi ini. Opsi lain adalah loan out semusim, dengan obligation to buy sebagaimana yang terjadi dengan Dino dan Guen. Dari 8 pemain tersebut hanya Granit Xhaka yang hampir pasti ke Roma. Bellerin masih dirumorkan ke Inter Milan yang hampir bangkrut, yang hanya dapat menawarkan opsi loan tanpa obligation to buy. Runarsson, Kolasinac, Torreira, dan Willian belum memiliki peminat sejauh ini.
Pundi uang Arsenal ada pada para pemain muda Inggrisnya yaitu Nketiah dan Nelson. Joe Willock dan Ainsley Maitlaind-Niles pun bisa dimasukkan dalam daftar jual jika tawaran menarik ada yang masuk. Nketiah hanya punya sisa kontrak setahun sedangkan tiga pemain lainnya masih memiliki sisa kontrak 2 tahun. Arsenal (dan pemain) harus memutuskan apakah memperpanjang kontrak mereka atau menjual mereka berempat di TW ini karena pemain dengan sisa satu tahun kontrak notabene berpeluang besar untuk memilih free transfer, dilema yang dialami Arsenal saat ini untuk Lacazette dan Nketiah.
Perubahan Filosofi
Mari kita sedikit flashback untuk memahami mengapa sebagian pemain Arsenal sekarang dianggap surplus dan perlu diganti. Mengutip kalimat bijak dari Machiavelli:
“Whoever wishes to foresee the future must consult the past; for human events ever resemble those of preceding times. This arises from the fact that they are produced by men who ever have been, and ever shall be, animated by the same passions, and thus they necessarily have the same results.”
Machiavelli
Melihat masa lalu untuk memprediksi masa depan. Saya akan mencoba mengurai langkah-langkah yang diambil manager kita, Mikel Arteta di satu setengah musim yang lalu dan mencoba memprediksi visi sepakbola Arsenalnya di musim ini dan masa mendatang, termasuk tipe pemain yang akan didatangkannya.
Di setengah musim pertama Arteta (2019/2020), begitu menggantikan Ljungberg yang saat itu menjabat sebagai head coach sementara setelah pemecatan Emery di bulan November 2019, ia memiliki satu fokus utama yaitu memperbaiki lini pertahanan. Arsenal kebobolan 27 gol hanya dalam 18 pertandingan (1.5 gol per match) sebelum Arteta bergabung, dengan catatan hasil pertandingan W5 D8 L5. Kebobolan 1.5 gol per match ini jika diekstrapolasi untuk satu musim sama dengan kebobolan 57 gol per musim (standar tim papan tengah). Bandingkan dengan musim lalu di mana Arsenal hanya kebobolan 39 gol (1.03 gol per match).
Menarik sekali melihat kembali statistik dan line-ups Arsenal di musim itu karena apa yang ada di ingatan saya ternyata tidak sesuai dengan fakta sejarah. Arteta masih menggunakan formasi 4-2-3-1 saat ia mulai menukangi Arsenal. Pasangan CB Arsenal utama saat itu di bawah Emery adalah David Luiz dan Sokratis. Pasangan ini tidak bertahan lama di bawah Arteta. Dari 20 Premier League match tersisa yang dipimpin Arteta, David Luiz dan Sokratis hanya diduetkan sebanyak 3 kali. Arteta kemudian lebih banyak memasangkan David Luiz bersama Mustafi. Ketika salah satu cedera, maka Holding atau Mari yang masuk, tapi tidak sering. Jika dijumlahkan, dalam 26 pertandingan tersisa musim itu (20 PL + 6 FA Cup, kompetisi yang lain tidak saya anggap karena faktor tim B), Luiz dan Mustafi berduet selama 12 kali. Luiz sebagai LCB dan Mustafi RCB. Ketika Arteta kemudian mengganti formasi ke 3-4-3, Luiz di tengah dan Mustafi sebagai RCB.
Di posisi fullback, Matiland-Niles menjadi andalan RB Arsenal karena cederanya Bellerin dan Cedric. Ia bermain selama 5x di RB di semua match awal Arteta, kemudian 1x sebagai RWB dan 3x sebagai LWB di 26 pertandingan tersebut. Bellerin kemudian mulai dimainkan ketika ia pulih dari cedera, bergantian dengan Sokratis (terpaksa, Chambers dan Cedric juga masih cedera) di RB. Kemudian di akhir musim Cedric dan Bellerin bergantian mengisi posisi RWB (formasi 3-4-3).
Di tengah, Arsenal memainkan dua pivot bergantian antara Xhaka, Torreira, Guendouzi dan Ceballos. Awalnya Arteta memasang Xhaka-Torreira. Kemudian beberapa kali mencoba Xhaka-Guendouzi dan belakangan ia mempertahankan Xhaka-Ceballos. Urutan kombinasi duo pivot yang tersering dipasang saat itu: Xhaka-Ceballos 11x, Xhaka-Torreira 6x, Xhaka-Guendouzi 4x dan kombinasi lainnya hanya 2x dan 1x.
Kemudian Ozil start sebagai nomor 10 di seluruh 10 pertandingan PL di bawah Arteta saat itu, sebelum kemudian break (Maret – Juni) akibat pandemi Covid-19. Terjadi sesuatu selama masa rehat itu (PR ga dikerjakan, masalah pay cut, fokus di training, dll) yang mengakibatkan Arteta tidak pernah lagi memainkan Ozil semenjak Project Restart, ketika PL kembali bergulir di bulan Juni. Match pertama di bulan Juni tersebut, Manchester City membantai Arsenal 3-0. Di pertandingan berikutnya, Arteta mengganti formasi dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-3, melawan Brighton yang sayangnya juga diakhiri kekalahan 0-1.
Perubahan formasi menjadi 3-4-3 itu tidak hanya terjadi di Premier League tapi juga di FA Cup. Sejak saat itu hingga akhir musim, Arteta menggunakan formasi 3-4-3 selama 11x (8x di PL dan 3x di FA Cup) dan 4-2-3-1 hanya 1x. Perubahan formasi ini membawakan hasil yang lebih baik bagi Arteta. Dalam 11 pertandingan PL dengan formasi 4-2-3-1 (Ozil main di 10 pertandingan tersebut), hasil pertandingan Arsenal adalah W4 D5 L2 dengan point per game (ppg) 1.54. Ketika ia mengganti formasinya menjadi 3-4-3 sampai akhir musim, hasil yang didapatkan membaik, menjadi W5 D1 L3, ppg 1.78. Alhasil rata-rata ppg di bawah Arteta menjadi 1.65. Sebagai perbandingan peringkat keempat musim tersebut memiliki 66 point, yang artinya ppg-nya 1.74. Pergantian formasi ke 3-4-3 tersebut selain memperbaiki hasil Arsenal di PL, juga menjadi kunci untuk Arsenal mengalahkan Manchester City dan Chelsea yang lebih diunggulkan di semifinal dan final FA Cup. Hasil yang berbuah trofi pertama Arteta yang didapatkan hanya dalam separuh musim sejak ia bergabung.
Ada dua faktor yang membuat Arteta mengubah formasi dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-3. Pertama adalah timnya tidak bisa melakukan high pressing sehingga ia menerima fakta tersebut lalu memilih melakukan low block yang dikombinasikan dengan build up play yang cepat dari sayap sehingga ketika lawan stretched akibat terpancing untuk pressing, serangan Arsenal sama efektifnya dengan counter attack yang cepat. Padahal serangan tersebut diawali dari operan kiper ke pemain belakang, bukan dari hasil perebutan bola.
Faktor kedua adalah di-dropnya Mesut Ozil semenjak Project Restart. Tanpa Ozil, 3-4-3 menjadi formasi natural Arsenal karena double pivot akan menyalurkan bola ke sayap dan kedua wing back akan berkombinasi dengan winger serta CF Arsenal. Yang lebih menarik lagi adalah Aubameyang tidak pernah sekalipun dipasang sebagai CF di musim tersebut, ia selalu main sebagai LWF atau terkadang RWF. CF yang dipasang hanya dua, bergantian antara Lacazette dan Nketiah. Kedua striker ini bisa drop deep untuk hold up ball dan link up play dengan pemain tengah dan winger, style yang berbeda dengan Aubameyang yang lebih suka run ins behind.
Timnya tidak bisa melakukan high pressing karena CM yang dimilikinya saat itu termasuk lamban dibandingkan rata-rata tim di PL. Semua CM saat itu baik Xhaka, Ceballos, Torreira, dan Guendouzi bisa dengan mudah dilewati lawan dengan dribbling dan setelah itu kesulitan mengejar lawannya. Karena mobilitas dan akselerasinya yang rendah, otomatis intensitas pressing-nya pun berkurang dan lawan dengan mudah bisa lolos dari pressing CM Arsenal. Ditambah lagi pasangan CB Arsenal saat itu bukanlah CB yang tergolong pemain yang cepat. Mustafi sering salah positioning, terlalu maju sendirian sedangkan David Luiz tidak berani terlalu maju karena ia sadar akan kemampuan larinya kalau di-counter lawan. Akibatnya lahirlah gap yang besar antara lini tengah dan lini belakang, dan juga antara Luiz dan Mustafi ketika Mustafi sedang sok jagoan ke depan (ingat gol lawan gara-gara ini?). Saling menyalahkan dan saling menunjuk ketika Arsenal kebobolan gol (dengan aktor utama Mustafi dan Guendouzi) menjadi pemandangan yang biasa di musim itu.
Untuk membuat tim compact tanpa banyak celah, formasi 3-4-3 dan low block adalah solusi, namun itu juga artinya melupakan agenda high pressing terhadap tim lawan. Di luar kekalahan telak lawan City dan kemudian menyusul kekalahan dari Brighton, formasi 3-4-3 ini berhasil membenahi pertahanan Arsenal sehingga hanya kebobolan 7 gol di 8 pertandingan PL sisa.

Namun formasi 3-4-3 ini juga bukan taktik sempurna. Ada satu kali Arteta mengganti formasi kembali ke 4-2-3-1 musim itu, saat melawan Watford di pertandingan terakhir PL. Di pertandingan sebelumnya 3-4-3 nya Arsenal mengalami kebuntuan melawan low block Aston Villa dan akhirnya harus menderita kekalahan 0-1. Kembali ke formasi 4-2-3-1 dengan Willock bermain sebagai No 10 saat itu akhirnya menghasilkan kemenangan lawan Watford walaupun dengan skor yang tidak begitu meyakinkan (3-2). Arsenal finish di peringkat ke-8 namun tetap lolos ke Europa League berkat trofi FA Cup.
Fakta menarik lainnya adalah apabila di bawah Emery (& Ljungberg) Arsenal kebobolan 27 gol dalam 18 match (1.5 gol pm), Arsenalnya Arteta hanya kebobolan 21 gol dalam 20 match (1.05 gol pm). Angka ini kalau diekstrapolasi ke 38 match akan menjadi 40 gol. Ingat 39 gol kebobolan Arsenal musim lalu? Ternyata itu bukan fluke.
Kesimpulannya, kita semua tahu sebagai mantan muridnya Pep Guardiola dan filosofinya sendiri tentang sepakbola menyerang, formasi favorit Arteta adalah 4-3-3. Namun ia harus pragmatis dengan kualitas skuadnya yang ada saat itu dan target utamanya yaitu membangun kembali kepercayaan diri tim dan lolos ke turnamen Eropa (UEL). Arteta terpaksa mengandalkan formasi 3-4-3, melupakan filosofi sepakbolanya yaitu high pressing dan possession football, namun setidaknya ia masih bisa meminta timnya untuk berani memainkan build up from the back yang bisa dikatakan cukup berhasil di akhir musim tersebut.
Bagaimana dengan musim berikutnya? Ternyata solusi di atas tidak berlangsung lama…
Fun Facts Arsenal 2019/2020
- Arteta tidak pernah menggunakan Aubameyang sebagai CF, peran tersebut dijalankan Lacazette dan Nketiah bergantian.
- Emery menggunakan Luiz-Sokratis sebagai duet CB, perlahan duet ini diganti Arteta dengan Luiz-Mustafi dan Sokratis hanya bermain sebagai RB saat Bellerin dan Cedric cedera, bergantian dengan Maitland-Niles .
- Maitland-Niles mendapat banyak kesempatan sebagai fullback maupun wingback di musim tersebut, total 9x start (PL dan FA). Sementara Nelson start 4x sebelum break pandemi dan hanya 2x setelah break pandemi, di PL dan FA.
- Arteta say goodbye to Mesut Ozil semenjak PL dimulai kembali setelah break Covid-19. Ia tak pernah dimainkan sama sekali, sementara di 10 pertandingan PL sebelumnya dengan formasi 4-2-3-1, Ozil selalu start.
- Duo pivot kepercayaan Arteta adalah Xhaka – Ceballos. Torreira mulai di-phase out perlahan seiring dengan berjalannya musim.
- Poin per game yang diraih Arteta dengan formasi 4-2-3-1 adalah 1.54 sementara dengan formasi 3-4-3 ppg-nya 1.78. Di musim tersebut 1.74 ppg cukup untuk finish top four.
- Arsenal hanya kebobolan 21 gol selama 20 match PL di bawah Arteta. Kalau diekstrapolasi ke satu musim, ini sama dengan 40 gol. Sounds familiar?