Transfer Window 2021/2022 – Saatnya Optimis? Part 1

Sebagai fans Arsenal yang cenderung mengerem diri supaya tidak terbuai dengan hype seputar rumor transfer pemain baru di setiap transfer window (TW), sepertinya akan sulit untuk menahan diri kali ini. Bila pada musim-musim sebelumnya fans Arsenal sering merasa kena PHP isu transfer pemain, musim 2021/2022 ini tidak sedikit Arsenal fans mulai merasa optimis dengan TW Arsenal kali ini. Apakah kita sudah boleh optimis? Yuk kita analisa.

Arsenal dikaitkan dengan beberapa nama besar di TW kali ini. Beberapa media sepakbola mainstream dan jurnalis dengan reputasi reliable seperti David Ornstein sendiri sudah mengatakan Arsenal akan belanja besar musim ini walaupun klub tetap harus melakukan penjualan pemain. Ambisi Arsenal musim ini adalah meningkatkan kualitas skuad, membuat tim menjadi lebih seimbang dan sesuai visi sang manager dengan tujuan utama masuk kembali ke top four (Champions League money, baby). Arsenal sadar saat ini (di tengah pandemi Covid-19) adalah momen terbaik untuk investasi besar-besaran di tim atau terancam terus bercokol di papan tengah, turun derajat dari imej big club. Seorang businessman hendaknya tahu pentingnya melindungi nilai asetnya, tidak membiarkan nilainya terus merosot. Kroenke sebagai pebisnis yang memulai dari bisnisnya dari real estate, tentunya sangat paham hal ini.

Akibat hilangnya pemasukan dari stadion, dan banyaknya hak siar TV yang tidak terbayarkan di luar Premier League, banyak klub terpaksa harus menjual pemainnya sedangkan tidak banyak klub yang memiliki kemampuan finansial untuk membeli pemain baru. Kondisi ini menjadikan TW kali ini buyer market. Pembeli menjadi raja. Kita menyaksikan sendiri bagaimana Arsenal bisa membeli Nuno Tavares senilai 8 juta Euro dan Albert Sambi Lokonga senilai 17,5 juta Euro (sebelum adds-on) yang mana di musim normal akan membutuhkan dana 1,5 sampai 2 kali lipat. Setelah mengamankan kedua pemain ini, Arsenal diberitakan akan membeli Ben White dari Brighton & Hove Albion senilai 50 juta pounds (tampaknya pandemic great sale tidak berlaku untuk pemain dari klub Premier League).

Di sisi lain kita juga kesulitan untuk menjual pemain surplus. Mavropanos dan Guendouzi hanya bisa “dijual” dengan sistem loan dahulu di musim ini dan obligation to buy di akhir musim dengan harga yang relatif murah, di bawah ekspektasi Arsenal. Total deal Mavropanos dan Guendouzi jika semua syaratnya terpenuhi adalah masing-masing 5.5 juta pounds dan 10 juta pounds, hanya separuh dari ekspektasi Arsenal.

William Saliba, pemain terfavorit (untuk kategori belum pernah debut) fans Arsenal akhirnya dipinjamkan ke Marseille selama satu musim penuh dengan harapan ia akan berkembang menjadi pemain yang lebih baik dan siap untuk tampil di Premier League musim depan. Dengan 3 pemain keluar dan 2 pemain masuk, plus sejumlah pemain loan dan pemain habis kontrak dirilis akhir musim lalu, seperti inilah skuad Arsenal sekarang.

Tabel 1 – Skuad Arsenal Sekarang

Aturan Home Grown

Dari tabel di atas, bisa dilihat sekarang Arsenal tidak memiliki masalah Home Grown lagi. Tidak seperti musim sebelumnya yang berakibat Mesut Ozil dan Sokratis tidak bisa didaftarkan ke Premier League.

Demikian bunyi aturan Home Grown Premier League:

Each Premier League club have submitted a squad list for the 2020/21 season.

Each squad contains no more than 17 players who do not fulfil the “Home Grown Player” (HGP) criteria.

The rest of the squad, up to a total of 25 players, must be “Home Grown”.

Each club squad list is below as well as an additional list of each club’s registered Under-21 players who are eligible over and above the squad limit of 25 players. 

What is a Home-Grown Player?
A “Home-Grown Player” means a player who, irrespective of nationality or age, has been registered with any club affiliated to The Football Association or the Football Association of Wales for a period, continuous or not, of three entire seasons, or 36 months, before his 21st birthday (or the end of the season during which he turns 21).
Rules on U21 players
Under-21 players are eligible over and above the limit of 25 players per squad. For the 2021/22 campaign Under-21 players will have been born on or after 1 January 2000.

Singkatnya jumlah pemain tim utama max 25 orang dengan syarat Non HG max 17, dan sisanya HG. Bila HG kurang dari 8, artinya pemain tim utama yang bisa didaftarkan menjadi kurang dari 25 orang, tidak termasuk pemain U-21 yang tidak memiliki batasan jumlah.

Tim utama Arsenal saat ini terdiri dari 29 pemain dengan komposisi 16 Non HG, 7 HG dan 6 U-21. Nuno Tavares bisa dikategorikan U-21 hanya untuk musim ini karena ia lahir di tahun 2000. Musim depan, ia akan masuk kategori Non HG. William Saliba bila kembali ke Arsenal musim depan nanti akan masuk kategori HG, karena Arsenal membelinya dan mendaftarkan izin kerjanya di Inggris sebelum ia berusia 18 tahun. Tahun depan, ia akan genap menyelesaikan 3 musim dengan status legal sebagai pemain Arsenal sebelum ia berusia 21 tahun, sehingga memenuhi syarat untuk menjadi pemain Home Grown.

Kesimpulannya, sampai saat ini skuad Arsenal telah memenuhi persyaratan aturan Home Grown.

Surplus Pemain

Di tabel di atas saya juga mewarnai pemain dengan warna merah, kuning dan hijau berdasarkan penampilan mereka musim lalu. Merah itu untuk pemain surplus, yang menurut saya akan dibuang Arteta, hijau untuk pemain yang kelihatannya akan dipakai di musim ini, dan kuning untuk pemain yang mana statusnya belum jelas, bisa dipertahankan, bisa juga dijual atau pinjamkan tergantung dengan penampilan selama pre-season dan tawaran dari klub lain. Anda boleh bikin tabel versi sendiri tapi saya rasa tidak akan berbeda jauh dengan tabel versi saya ini.

Ada 8 pemain merah yang terdiri dari 5 pemain Non HG dan 3 pemain HG. Menjual atau loan out 8 pemain dalam satu transfer window (TW) tentunya hal yang sangat sulit, belum ditambah dengan membeli penggantinya. Saya tidak yakin seluruh 8 pemain surplus ini dapat dikeluarkan dari klub di TW ini. Arsenal juga tidak mau menjual pemainnya terlalu murah di market yang sedang depresi ini. Opsi lain adalah loan out semusim, dengan obligation to buy sebagaimana yang terjadi dengan Dino dan Guen. Dari 8 pemain tersebut hanya Granit Xhaka yang hampir pasti ke Roma. Bellerin masih dirumorkan ke Inter Milan yang hampir bangkrut, yang hanya dapat menawarkan opsi loan tanpa obligation to buy. Runarsson, Kolasinac, Torreira, dan Willian belum memiliki peminat sejauh ini.

Pundi uang Arsenal ada pada para pemain muda Inggrisnya yaitu Nketiah dan Nelson. Joe Willock dan Ainsley Maitlaind-Niles pun bisa dimasukkan dalam daftar jual jika tawaran menarik ada yang masuk. Nketiah hanya punya sisa kontrak setahun sedangkan tiga pemain lainnya masih memiliki sisa kontrak 2 tahun. Arsenal (dan pemain) harus memutuskan apakah memperpanjang kontrak mereka atau menjual mereka berempat di TW ini karena pemain dengan sisa satu tahun kontrak notabene berpeluang besar untuk memilih free transfer, dilema yang dialami Arsenal saat ini untuk Lacazette dan Nketiah.

Perubahan Filosofi

Mari kita sedikit flashback untuk memahami mengapa sebagian pemain Arsenal sekarang dianggap surplus dan perlu diganti. Mengutip kalimat bijak dari Machiavelli:

“Whoever wishes to foresee the future must consult the past; for human events ever resemble those of preceding times. This arises from the fact that they are produced by men who ever have been, and ever shall be, animated by the same passions, and thus they necessarily have the same results.”

Machiavelli

Melihat masa lalu untuk memprediksi masa depan. Saya akan mencoba mengurai langkah-langkah yang diambil manager kita, Mikel Arteta di satu setengah musim yang lalu dan mencoba memprediksi visi sepakbola Arsenalnya di musim ini dan masa mendatang, termasuk tipe pemain yang akan didatangkannya.

Di setengah musim pertama Arteta (2019/2020), begitu menggantikan Ljungberg yang saat itu menjabat sebagai head coach sementara setelah pemecatan Emery di bulan November 2019, ia memiliki satu fokus utama yaitu memperbaiki lini pertahanan. Arsenal kebobolan 27 gol hanya dalam 18 pertandingan (1.5 gol per match) sebelum Arteta bergabung, dengan catatan hasil pertandingan W5 D8 L5. Kebobolan 1.5 gol per match ini jika diekstrapolasi untuk satu musim sama dengan kebobolan 57 gol per musim (standar tim papan tengah). Bandingkan dengan musim lalu di mana Arsenal hanya kebobolan 39 gol (1.03 gol per match).

Menarik sekali melihat kembali statistik dan line-ups Arsenal di musim itu karena apa yang ada di ingatan saya ternyata tidak sesuai dengan fakta sejarah. Arteta masih menggunakan formasi 4-2-3-1 saat ia mulai menukangi Arsenal. Pasangan CB Arsenal utama saat itu di bawah Emery adalah David Luiz dan Sokratis. Pasangan ini tidak bertahan lama di bawah Arteta. Dari 20 Premier League match tersisa yang dipimpin Arteta, David Luiz dan Sokratis hanya diduetkan sebanyak 3 kali. Arteta kemudian lebih banyak memasangkan David Luiz bersama Mustafi. Ketika salah satu cedera, maka Holding atau Mari yang masuk, tapi tidak sering. Jika dijumlahkan, dalam 26 pertandingan tersisa musim itu (20 PL + 6 FA Cup, kompetisi yang lain tidak saya anggap karena faktor tim B), Luiz dan Mustafi berduet selama 12 kali. Luiz sebagai LCB dan Mustafi RCB. Ketika Arteta kemudian mengganti formasi ke 3-4-3, Luiz di tengah dan Mustafi sebagai RCB.

Di posisi fullback, Matiland-Niles menjadi andalan RB Arsenal karena cederanya Bellerin dan Cedric. Ia bermain selama 5x di RB di semua match awal Arteta, kemudian 1x sebagai RWB dan 3x sebagai LWB di 26 pertandingan tersebut. Bellerin kemudian mulai dimainkan ketika ia pulih dari cedera, bergantian dengan Sokratis (terpaksa, Chambers dan Cedric juga masih cedera) di RB. Kemudian di akhir musim Cedric dan Bellerin bergantian mengisi posisi RWB (formasi 3-4-3).

Di tengah, Arsenal memainkan dua pivot bergantian antara Xhaka, Torreira, Guendouzi dan Ceballos. Awalnya Arteta memasang Xhaka-Torreira. Kemudian beberapa kali mencoba Xhaka-Guendouzi dan belakangan ia mempertahankan Xhaka-Ceballos. Urutan kombinasi duo pivot yang tersering dipasang saat itu: Xhaka-Ceballos 11x, Xhaka-Torreira 6x, Xhaka-Guendouzi 4x dan kombinasi lainnya hanya 2x dan 1x.

Kemudian Ozil start sebagai nomor 10 di seluruh 10 pertandingan PL di bawah Arteta saat itu, sebelum kemudian break (Maret – Juni) akibat pandemi Covid-19. Terjadi sesuatu selama masa rehat itu (PR ga dikerjakan, masalah pay cut, fokus di training, dll) yang mengakibatkan Arteta tidak pernah lagi memainkan Ozil semenjak Project Restart, ketika PL kembali bergulir di bulan Juni. Match pertama di bulan Juni tersebut, Manchester City membantai Arsenal 3-0. Di pertandingan berikutnya, Arteta mengganti formasi dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-3, melawan Brighton yang sayangnya juga diakhiri kekalahan 0-1.

Perubahan formasi menjadi 3-4-3 itu tidak hanya terjadi di Premier League tapi juga di FA Cup. Sejak saat itu hingga akhir musim, Arteta menggunakan formasi 3-4-3 selama 11x (8x di PL dan 3x di FA Cup) dan 4-2-3-1 hanya 1x. Perubahan formasi ini membawakan hasil yang lebih baik bagi Arteta. Dalam 11 pertandingan PL dengan formasi 4-2-3-1 (Ozil main di 10 pertandingan tersebut), hasil pertandingan Arsenal adalah W4 D5 L2 dengan point per game (ppg) 1.54. Ketika ia mengganti formasinya menjadi 3-4-3 sampai akhir musim, hasil yang didapatkan membaik, menjadi W5 D1 L3, ppg 1.78. Alhasil rata-rata ppg di bawah Arteta menjadi 1.65. Sebagai perbandingan peringkat keempat musim tersebut memiliki 66 point, yang artinya ppg-nya 1.74. Pergantian formasi ke 3-4-3 tersebut selain memperbaiki hasil Arsenal di PL, juga menjadi kunci untuk Arsenal mengalahkan Manchester City dan Chelsea yang lebih diunggulkan di semifinal dan final FA Cup. Hasil yang berbuah trofi pertama Arteta yang didapatkan hanya dalam separuh musim sejak ia bergabung.

Ada dua faktor yang membuat Arteta mengubah formasi dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-3. Pertama adalah timnya tidak bisa melakukan high pressing sehingga ia menerima fakta tersebut lalu memilih melakukan low block yang dikombinasikan dengan build up play yang cepat dari sayap sehingga ketika lawan stretched akibat terpancing untuk pressing, serangan Arsenal sama efektifnya dengan counter attack yang cepat. Padahal serangan tersebut diawali dari operan kiper ke pemain belakang, bukan dari hasil perebutan bola.

Faktor kedua adalah di-dropnya Mesut Ozil semenjak Project Restart. Tanpa Ozil, 3-4-3 menjadi formasi natural Arsenal karena double pivot akan menyalurkan bola ke sayap dan kedua wing back akan berkombinasi dengan winger serta CF Arsenal. Yang lebih menarik lagi adalah Aubameyang tidak pernah sekalipun dipasang sebagai CF di musim tersebut, ia selalu main sebagai LWF atau terkadang RWF. CF yang dipasang hanya dua, bergantian antara Lacazette dan Nketiah. Kedua striker ini bisa drop deep untuk hold up ball dan link up play dengan pemain tengah dan winger, style yang berbeda dengan Aubameyang yang lebih suka run ins behind.

Timnya tidak bisa melakukan high pressing karena CM yang dimilikinya saat itu termasuk lamban dibandingkan rata-rata tim di PL. Semua CM saat itu baik Xhaka, Ceballos, Torreira, dan Guendouzi bisa dengan mudah dilewati lawan dengan dribbling dan setelah itu kesulitan mengejar lawannya. Karena mobilitas dan akselerasinya yang rendah, otomatis intensitas pressing-nya pun berkurang dan lawan dengan mudah bisa lolos dari pressing CM Arsenal. Ditambah lagi pasangan CB Arsenal saat itu bukanlah CB yang tergolong pemain yang cepat. Mustafi sering salah positioning, terlalu maju sendirian sedangkan David Luiz tidak berani terlalu maju karena ia sadar akan kemampuan larinya kalau di-counter lawan. Akibatnya lahirlah gap yang besar antara lini tengah dan lini belakang, dan juga antara Luiz dan Mustafi ketika Mustafi sedang sok jagoan ke depan (ingat gol lawan gara-gara ini?). Saling menyalahkan dan saling menunjuk ketika Arsenal kebobolan gol (dengan aktor utama Mustafi dan Guendouzi) menjadi pemandangan yang biasa di musim itu.

Untuk membuat tim compact tanpa banyak celah, formasi 3-4-3 dan low block adalah solusi, namun itu juga artinya melupakan agenda high pressing terhadap tim lawan. Di luar kekalahan telak lawan City dan kemudian menyusul kekalahan dari Brighton, formasi 3-4-3 ini berhasil membenahi pertahanan Arsenal sehingga hanya kebobolan 7 gol di 8 pertandingan PL sisa.

Tabel 2 – Hasil Pertandingan di bawah Arteta 2019/2020

Namun formasi 3-4-3 ini juga bukan taktik sempurna. Ada satu kali Arteta mengganti formasi kembali ke 4-2-3-1 musim itu, saat melawan Watford di pertandingan terakhir PL. Di pertandingan sebelumnya 3-4-3 nya Arsenal mengalami kebuntuan melawan low block Aston Villa dan akhirnya harus menderita kekalahan 0-1. Kembali ke formasi 4-2-3-1 dengan Willock bermain sebagai No 10 saat itu akhirnya menghasilkan kemenangan lawan Watford walaupun dengan skor yang tidak begitu meyakinkan (3-2). Arsenal finish di peringkat ke-8 namun tetap lolos ke Europa League berkat trofi FA Cup.

Fakta menarik lainnya adalah apabila di bawah Emery (& Ljungberg) Arsenal kebobolan 27 gol dalam 18 match (1.5 gol pm), Arsenalnya Arteta hanya kebobolan 21 gol dalam 20 match (1.05 gol pm). Angka ini kalau diekstrapolasi ke 38 match akan menjadi 40 gol. Ingat 39 gol kebobolan Arsenal musim lalu? Ternyata itu bukan fluke.

Kesimpulannya, kita semua tahu sebagai mantan muridnya Pep Guardiola dan filosofinya sendiri tentang sepakbola menyerang, formasi favorit Arteta adalah 4-3-3. Namun ia harus pragmatis dengan kualitas skuadnya yang ada saat itu dan target utamanya yaitu membangun kembali kepercayaan diri tim dan lolos ke turnamen Eropa (UEL). Arteta terpaksa mengandalkan formasi 3-4-3, melupakan filosofi sepakbolanya yaitu high pressing dan possession football, namun setidaknya ia masih bisa meminta timnya untuk berani memainkan build up from the back yang bisa dikatakan cukup berhasil di akhir musim tersebut.

Bagaimana dengan musim berikutnya? Ternyata solusi di atas tidak berlangsung lama…

Fun Facts Arsenal 2019/2020

  • Arteta tidak pernah menggunakan Aubameyang sebagai CF, peran tersebut dijalankan Lacazette dan Nketiah bergantian.
  • Emery menggunakan Luiz-Sokratis sebagai duet CB, perlahan duet ini diganti Arteta dengan Luiz-Mustafi dan Sokratis hanya bermain sebagai RB saat Bellerin dan Cedric cedera, bergantian dengan Maitland-Niles .
  • Maitland-Niles mendapat banyak kesempatan sebagai fullback maupun wingback di musim tersebut, total 9x start (PL dan FA). Sementara Nelson start 4x sebelum break pandemi dan hanya 2x setelah break pandemi, di PL dan FA.
  • Arteta say goodbye to Mesut Ozil semenjak PL dimulai kembali setelah break Covid-19. Ia tak pernah dimainkan sama sekali, sementara di 10 pertandingan PL sebelumnya dengan formasi 4-2-3-1, Ozil selalu start.
  • Duo pivot kepercayaan Arteta adalah Xhaka – Ceballos. Torreira mulai di-phase out perlahan seiring dengan berjalannya musim.
  • Poin per game yang diraih Arteta dengan formasi 4-2-3-1 adalah 1.54 sementara dengan formasi 3-4-3 ppg-nya 1.78. Di musim tersebut 1.74 ppg cukup untuk finish top four.
  • Arsenal hanya kebobolan 21 gol selama 20 match PL di bawah Arteta. Kalau diekstrapolasi ke satu musim, ini sama dengan 40 gol. Sounds familiar?

…bersambung ke Part 2

Advertisement

Memahami Artetaball Part 2 – Mencapai Gear 2nd dengan Thomas Partey

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan Memahami Artetaball. Di bagian akhir tulisan yang dimuat 14 September tersebut, saya menyimpulkan:

Sekarang kita mengerti mengapa Arteta sangat menyukai Aouar dan saya yakin ia adalah target nomor satu Arsenal, bukan Partey. Aouar dan Dani bisa menjadi pemain kreatif yang dibutuhkan Arsenal untuk membuat Artetaball juga efektif menghadapi low block lawan.

Setelah Arsenal gagal mendapatkan Aouar dan secara mengejutkan berhasil mendapatkan Thomas Partey di hari terakhir transfer window, ditambah dari jalannya pertandingan vs Sheffield United di babak kedua, saya akhirnya mengubah pendapat saya. Teaser dari opini saya yang berubah tersebut saya twit di akun @JalanArsenal:

Apa dampak Thomas Partey dalam Artetaball akan saya kupas lebih lanjut di sini.

Art of War: Art-eta-ball

Dalam tulisan pertama saya mengenai Artetaball, dapat kita simpulkan kalau Artetaball adalah Positional Play ala Arteta yang membangun serangan dari lini belakang (build-up play from the back), memancing lawan untuk pressing tinggi, dan menyerang secepat counter attack. Berawal dari umpan pendek goal kick, bila semua kondisi terpenuhi, Arsenal bisa mencetak gol 20-30 detik kemudian, lewat serentetan kombinasi operan pendek dan panjang yang tidak terinterupsi oleh lawan.

Artetaball ini sangat efektif karena telah di-drill dalam tim semenjak pertengahan musim lalu. Infografis di bawah ini menggambarkan dengan baik Arsenal yang menjadikan Artetaball sebagai senjata utama dalam menyerang.

Arsenal memimpin dalam jumlah operan di defensive third dengan akurasi yang tinggi dan tidak menghasilkan kesalahan yang menyebabkan terjadinya gol lawan

Saya suka menganalogikan Artetaball ini dengan kutipan dari The Art of War karya Sun Tzu:

The Way of War is a Way of Deception. When able, feign inability. When deploying troops, appear not to be. When near, appear far. When far, appear near. Lure with bait; strike with chaos.

Memancing lawan (pressing ke sepertiga daerah sendiri) untuk kemudian menyerang lawan yang sedang kacau (formasinya). Pemain Arsenal menunggu dengan sabar dan ketika beberapa kondisi terpenuhi (jumlah pemain lawan yang masuk di dalam lapangan kita, jarak antar pemain lawan yang semakin lebar, posisi pemain penyerang Arsenal yang siap maju), maka serangan cepat pun diluncurkan. Taktik ini sudah terbukti efektif saat mengalahkan Manchester City, Chelsea dan Liverpool.

Namun bagaimana kalau lawan tidak mau terpancing untuk pressing tinggi sebagaimana Sheffield United di pertandingan terakhir? Melawan low block, Arteta harus mengubah taktiknya.

Low Block Sheffield United

Di babak pertama, Arsenal stagnan dalam menyerang karena low block lawan. Sheffield United juga bermain berhati-hati sehingga pertandingan menjadi monoton dengan tidak banyak peluang yang tercipta. Saat itu saya memikirkan wah Arsenal saat ini butuh pemain kreatif seperti Aouar untuk membuka kunci low block lawan. Ide yang tidak realistis lagi karena saat itu sudah beredar gossip Aouar akan tinggal di Lyon musim ini (setelah bicara dengan PSG dan Real Madrid tentunya).

Dengan penampilan Eddie yang tidak efektif, saya mengira Arteta akan menggantikannya dengan Lacazette di babak kedua, dan mungkin memainkan Xhaka menggantikan Elneny, agar Ceballos bisa lebih maju. Di luar dugaan, Arteta melakukan hal yang berbeda: Eddie ditarik diganti dengan Pepe. Aubameyang geser ke tengah dan Saka jadi murni LW. Willian geser dari RW ke AMC. Arsenal resmi bermain dengan 4-3-3 dengan Willian di posisi free role saat menyerang.

Perubahan brilliant ini langsung membawakan hasil. Sisi kiri dan kanan Arsenal yang seakan disconnected sekarang terhubung oleh Willian. Pemain Sheffield United pun semakin mundur karena Willian bermain di antara lini pertahanan dan tengah mereka, membuat mereka merapatkan barisan. Saka, Ceballos dan Willian berkombinasi dengan baik di kiri, dan saat Willian ke kanan, ia melakukan kombinasi dengan Pepe dan Bellerin. Gol pertama Arsenal diawali juga dengan operan pendek Leno, tapi lihatlah bagaimana Arsenal menekan low block Sheffield United. Perhatikan pengaruh Willian yang bermain di tengah. Dalam 12 operan menuju gol ini, Willian melakukan dribble, 3x menerima dan memberikan operan, dan menjadi pemain yang terlama menyentuh bola (11 detik) di dalam 35 detik proses terciptanya gol ini.

Gol pertama Arsenal vs Sheffield United oleh Saka

Gol tersebut sangat berbeda dengan Artetaball yang diterapkan terhadap pressing tinggi. Tidak ada operan cepat, tidak ada transisi kilat. Ini lebih soal kombinasi play di daerah pertahanan lawan, namun berhasil membuka low block lawan karena permainan kreatif Arsenal. Mari kita sebut ini Gear Second Artetaball.

Sekarang mari kita lihat gol kedua Arsenal. 19 operan, 55 detik.

Gol kedua Arsenal vs Sheffield United oleh Pepe

Karena tertinggal, Sheffield United terpaksa melakukan pressing tinggi. Melihat prasyarat kondisinya terpenuhi, Arsenal kembali launching Artetaball Gear First, serangan kilat lure with bait, strike with chaos. Overload di kiri dipindahkan ke kanan dengan cepat (oleh Willian) dan kecepatan Pepe serta akurasi operan Bellerin cukup untuk menghasilkan gol kedua ini.

Gear Second

Mari kita kembali mengutip Seni Perang Sun Tzu untuk mengulas Gear Second Artetaball.

Sun Tzu diakui sebagai salah satu ahli perang yang teristimewa dalam sejarah. Yang membuatnya terkenal adalah ia mampu menuliskan strategi perang secara terstruktur yang kemudian menjadi dasar strategi militer yang masih relevan bahkan untuk ribuan tahun setelahnya. Ditulis dalam 13 bab dan dinamakan “Master Sun’s Military Methods” yang kemudian disederhanakan oleh penerjemahnya sebagai The Art of War. Bahkan panglima perang yang terkenal di era Three Kingdom, Cao Cao menggunakan The Art of War dan menulis komentar atas buku tersebut. Saya menemukan beberapa hal menarik di Bab 6 yang berjudul Weak Points and Strong dengan beberapa kutipan berikut:

(2) Therefore the clever combatant imposes his will on the enemy, but does not allow the enemy’s will to be imposed on him.

(5) Appear at points which the enemy must hasten to defend; march swiftly to places where you are not expected.

(7) You can be sure of succeeding in your attacks if you only attack places which are undefended.

(10) You may advance and be absolutely irresistible, if you make for the enemy’s weak points; you may retire and be safe from pursuit if your movements are more rapid than those of the enemy. 

(28) Do not repeat the tactics which have gained you one victory, but let your methods be regulated by the infinite variety of circumstances.

(33) He who can modify his tactics in relation to his opponent and thereby succeed in winning, may be called a heaven-born captain.

Filosofi sepakbola Arteta adalah mendominasi lawan. Baik dengan build-up play dari belakang ataupun dengan dominasi dalam menyerang di lapangan lawan. Binaan dari Barcelona-nya Cruyff, Arsenal-nya Wenger dan kemudian Guardiola, tentunya berambisi memainkan sepakbola menyerang yang dominan. Namun Arteta paham betul skuad yang dimilikinya saat ini belum sanggup mendominasi lawan selama 90 menit penuh. Maka ia melakukan sedikit modifikasi taktik untuk mengoptimalkan kekuatan skuadnya dan juga menutup kelemahannya.

Mengacu pada kutipan Sun Tzu di atas: (5) Hadir (menyerang) di tempat yang tidak diduga, (7) menyerang bagian yang tidak dijaga, (10) serang titik lemah lawan dengan gerakan yang lebih cepat daripada lawan, (28) jangan ulangi taktik yang membuatmu menang, tapi biarkan metodemu ditentukan oleh variasi tak terbatas dari kondisi, (33) modifikasi taktik tergantung dengan lawan dan kemudian berhasil menang, adalah serangkaian taktik yang diterapkan Arsenal di gol pertama tersebut.

Sheffield United jelas tidak menduga perubahan taktik Arteta setelah 15 menit babak kedua tersebut. Perubahan posisi Willian dan Aubameyang dan masuknya Pepe (28) membuat mereka harus menghadapi satu tambahan pemain menyerang lawan (dari 3-4-3 ke 4-3-3) dan di area yang sulit pula (33). Efek kejut (5) dari masuknya Elneny ke kotak penalti lawan dengan cepat (10) juga membuat pemain Sheffield gagap. Saka yang berada di sisi kiri tidak dijaga (7) akibat overload dan fokus di kanan, melakukan heading akurat ke gawang lawan.

Gear Second adalah soal pergeseran build-up play dari belakang (lapangan sendiri) ke depan (lapangan lawan), terutama di depan kotak penalti lawan (Zone 14). Untuk bisa mencapai Gear Second ini, Arsenal butuh pemain kreatif seperti Willian yang mampu berkombinasi dengan pemain tengah ataupun depan lainnya. Formasi Auba-Pepe-Saka-Willian ini seimbang karena adanya 2 finisher dan 2 kreator. Dibutuhkan pemain yang bagus dalam ball rentention dan dribble sehingga high resistance terhadap pressure lawan. Willian, Saka dan juga Ceballos termasuk pemain dalam kategori ini.

Bergabungnya Partey akan semakin memudahkan Arsenal mencapai Gear Second sewaktu-waktu. Partey punya semua skill yang dibutuhkan untuk menjaga lini tengah, ia memiliki kemampuan passing pendek dan panjang yang sangat baik, mampu melakukan take-on (dribble) dengan tingkat kesuksesan yang tinggi, dan kebal pressure lawan karena fisik dan kemampuan teknisnya. Partey akan bisa membebaskan Ceballos dan Willian, memungkinkan Arsenal bermain dengan 4-3-3 dengan double pivot (dua No.6 dengan 1 No.10) ataupun dengan ia sebagai holding midfielder sendirian yang dipasang dengan dua No.8.

Daripada Aouar, kehadiran Partey akan membebaskan Saka, Willian, dan Ceballos dalam menyerang. Adaptasi yang dibutuhkan tim tidak akan terlalu lama, dan kombinasi antara ketiga pemain itu akan lebih efektif daripada menghadirkan Aouar yang masih harus “belajar” bermain di tim ini. Video di bawah ini menggambarkan dengan baik kemampuan Thomas Partey.

Evolusi Berikutnya Artetaball

Bila kita memperhatikan gol-gol Arsenal musim ini, tidak satupun gol tercipta lewat counter attack. Ini hal yang sangat menggelitik mengingat Arsenal era Wenger terutama era Invincibles sangat terkenal dengan counter attack yang mematikan. Tulisan lama saya, Delapan Detik, menguraikan bagaimana Wenger melatih Invincibles untuk melakukan counter attack hanya dalam 8 detik.

Counter attack dimungkinkan ketika terjadi transisi dari bertahan ke menyerang dengan cepat. Umumnya diawali dengan: (1) perebutan bola lewat tackling atau pressing yang memaksa lawan melakukan kesalahan dan akhirnya melepaskan bola, atau (2) interception yang menghentikan operan lawan di tengah jalan. Di skuad Arsenal saat ini, tidak ada midfielder yang memiliki kemampuan elit dalam melakukan kedua hal ini. Kita melihat saat melawan Sheffield, pemain Arsenal tidak mampu merebut bola lawan saat mereka menyerang. Dahulu Arsenal punya Patrick Vieira dan belakangan Francis Coquelin yang jago dalam dua hal ini, tackling maupun interception untuk breaking-up play lawan. Namun hanya Vieira yang bisa memulai serangan dengan membawa bola ke depan (baik lewat dribble maupun operan cepat) sama baiknya dengan break-up play-nya.

Nah Thomas Partey dari pengamatan saya yang terbatas ini adalah sosok pemain yang menyerupai Vieira. Ia mampu break up play lawan lewat positioningnya yang cerdik dalam interception ataupun tackling, tanpa harus menjatuhkan badannya ke tanah. Kemudian ia mampu membawa bola, melakukan twist dan dribble melewati satu-dua pemain lawan sebelum kemudian mengoper dengan akurat. Ia juga mampu melakukan tembakan jarak jauh dari luar kotak penalti lawan. Ia mobile dan cukup cepat (daripada Xhaka dan Ceballos), bertubuh atletis dan tidak mudah dijatuhkan lawan lewat body checking (tidak seperti Torreira).

Thomas Partey adalah midfielder yang mampu melakukan segala hal yang dibutuhkan di lapangan tengah. Tidak seperti anggapan banyak orang, ia bukan DM murni, demikian juga Vieira. Mereka adalah complete midfielder breed yang langka di era sekarang. Thomas Partey adalah pemain yang dibutuhkan Arteta untuk launching Gear Third Artetaball, counter attack kilat yang mematikan.

Mari kita tunggu apakah Partey bisa menjadi Vieira Mk II.

Memahami Artetaball

Tulisan singkat ini akan membahas foto yang satu ini dan sedikit soal Artetaball.

Atas: Gol ketiga Arsenal vs Fulham (Premier League 20/21, Bawah: Gol pertama Arsenal vs Liverpool (Community Shield 2020)

Tidak heran bila salah satu kelebihan Arteta sebagai pelatih sepakbola modern yang mengidolakan Marcelo Bielsa dan mendapatkan bimbingan langsung dari Guardiola adalah penguasaan taktik sepakbola yang dikenal dengan Positional Play (Juego de Posición).

Apa itu Positional Play? Mengutip dari Breakingthelines.com:

Positional Play is a style of play where the football pitch is divided into zones and each player is assigned to a zone. Each zone has a different role which means that each player has a different task to execute. If a player moves into another zone, a teammate has to take his place, which is what we call rotations.

The goal of Juego de Posición is that the zones and the tasks within them can be occupied and used by different players. Styles of play in football are like languages, and positional play, more than any other style of play, must be spoken in the same way by every player on the pitch.

Di artikel yang lain lagi, Positional Play bisa digambarkan dengan pola gerakan dan aksi yang dilakukan secara kolektif baik saat menyerang maupun bertahan, dengan tujuan menciptakan superioritas di lapangan dan kemudian mengeksploitasinya. Bagaimana sebuah tim bisa menguasai ruang yang menghasilkan superioritas di lapangan.

Untuk bisa mencapai superioritas di lapangan itu, semua pemain harus bergerak walaupun sedang tidak memegang bola. Off-the-ball movement menjadi sangat penting. Setiap gerakan akan membantu temannya yang sedang membawa bola ataupun yang akan menerima operan bola. Entah itu sebagai decoy untuk menjauhkan marking lawan, stretching formasi lawan untuk memberikan ruang kepada pembawa bola, positional play menciptakan “ruang” dan dengan sendirinya “waktu” bagi pembawa bola ataupun yang akan menerima bola.

Positional Play ini perlu dilatih sehingga para pemain dalam tim bisa mengerti tugas masing-masing ketika bola memasuki zone tertentu dan opsi-opsi operan yang akan dilakukan. Tentunya tidak mudah karena jarak dengan pemain lawan juga berpengaruh. Namun dari dua gol di bawah ini yang tergambarkan dengan baik dalam foto di atas, kita bisa melihat hasil latihan Positional Play Arsenal yang mulai sekarang kita namakan Artetaball.

Arsenal vs Liverpool – Community Shield, 1-0 gol Aubameyang.

Auba’s goal vs Liverpool

Gol tersebut dimulai dari Goal Kick setelah shoot Liverpool yang off target, melayang di atas gawang. Hanya butuh waktu 20 detik untuk bola meninggalkan kaki Emi dan bersarang di gawang Liverpool. Arsenal “menjebak” Liverpool dengan menarik pressing tinggi mereka ke dalam kotak penalti dan dengan cepat mengoper bola ke sayap kanan, dari Bellerin ke Saka yang kemudian mengumpan cross field ke Aubameyang di kiri yang mendapatkan posisi hotspot untuk melakukan tendangan kaki kanan akurat andalannya. Perhatikan juga gerakan lari Maitland-Niles dan Tierney untuk membingungkan lawan.

Fulham vs Arsenal – Premier League, 3-0 gol Aubameyang

Auba’s goal vs Fulham

Gol ini juga dimulai dari goal kick setelah serangan Fulham yang gagal. Kali ini butuh waktu 32 detik karena butuh waktu lebih lama untuk Fulham terpancing melakukan pressing tinggi di kotak penalti Arsenal. Xhaka memancing mereka dengan gerakan tangan yang mengisyaratkan bola akan dioper ke mana. Kemudian dengan cepat Bellerin mengoper ke Elneny yang first time pass-nya berhasil disambut Lacazette dengan two touches flick yang disamber Willian lagi-lagi dengan umpan cross-field ke Aubameyang di sisi kiri jauh. Perhatikan pergerakan Aubameyang, Maitland-Niles dan Tierney di dua gol yang mirip dalam dua pertandingan yang berbeda. Identik!

Kedua gol ini adalah hasil positional play dengan pola yang sama. Crossfield dari kanan ke kiri dengan target Aubameyang menemukan posisi idealnya untuk mencetak gol tanpa lawan bisa melakukan blok karena terlambat dalam transisi dari pressing tinggi ke bertahan.

Ada satu lagi Positional Play favorit saya yang tidak menghasilkan gol namun layak ditonton berulang kali. Play ini terjadi di menit ke-77. Dalam waktu 22 detik sejak bola meninggalkan Leno, Aubameyang berada di kotak penalti lawan dan mestinya bisa melakukan first time shoot hasil umpan terobosan cantik Bellerin. Sayangnya ia memilih menggiring bola jauh dari kiper tanpa menyadari pemain belakang Fulham telah menjaga di garis gawang. Tembakannya berhasil diblok dengan sundulan lawan.

Auba’s chance vs Fulham

Build-up play kali ini sedikit berbeda. Leno mengoper ke kiri dan setelah beberapa operan di sayap kiri, Lacazette dan Elneny mengubah arah bola ke kanan dan Bellerin yang berlari kencang mampu mengoper bola ke tengah dengan sangat baik ke Auba.

Serangan cepat Arsenal ini bukanlah counter attack karena berawal dari Goal Kick. Namun dengan mengundang pressing tinggi lawan, serangan ini sama efektinya dengan counter attack dan secepat counter attack. Arteta “menemukan” pola serangan ini khusus untuk menghadapi tim-tim di Liga Inggris terutama yang tim besar yang sudah fasih melakukan high pressing. Tim-tim lawan akan menganalisa Artetaball ini dan saya rasa akan merinding dengan ancamannya. Mengapa? Hanya dari goal kick umpan pendek, Arsenal bisa mencetak gol dalam waktu 20-30 detik. Menyeramkan. Siapa yang tidak akan kuatir melawannya?

Bagaimana bila lawan tidak melakukan high pressing dan memilih low block? Nah itu akan menjadi tantangan level berikutnya dari Artetaball.

Datanglah Dani Ceballos. Untuk menghadapi lawan dengan low block, Arsenal gantian yang harus melakukan pressing tinggi dan memiliki pemain kreatif yang nyaman dalam dribbling dan ball retention di final third. Mari kita nikmati cuplikan video dan perhatikan gerakan Dani di rentetan operan di bawah ini.

Dani’s action in final third

Dalam waktu 65 detik semenjak bola di kaki Dani di dekat kotak penalti sendiri, Arsenal menciptakan dua peluang gol. Fulham memilih bertahan (mungkin kapok dengan jebakan Artetaball). Namun pressing tinggi Arsenal dan skill Ceballos yang sama nyamannya dalam mengoper dan men-dribble bola di kotak penalti lawan berhasil menciptakan peluang. Sekarang kita mengerti mengapa Arteta sangat menyukai Aouar dan saya yakin ia adalah target nomor satu Arsenal, bukan Partey. Aouar dan Dani bisa menjadi pemain kreatif yang dibutuhkan Arsenal untuk membuat Artetaball juga efektif menghadapi low block lawan.

Demikian dulu tulisan bagian pertama dari serial memahami Artetaball. Bila ada waktu lagi saya akan menulis bagian kedua dan seterusnya. Untuk sementara ini, silakan berikan komentar Anda, hasil observasi yang mungkin berbeda dari klip-klip di atas?